Trading forex di Bali sepertinya tidak seheboh di kota-kota besar lain di tanah air seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung misalnya. Mungkin karena masyarakat di Bali memang sepertinya soal mengais rejeki, masyarakat di Bali lebih fokus pada industri pariwisata yang memang menjadi primadona bahkan sejak sebelum negeri ini merdeka.
Tapi meskipun tidak heboh, tidak berarti trading forex di Bali sama sekali tidak ada. Saya sudah ditawari untuk trading forex dari awal 2000an oleh sales dari PT Monex Investindo Futures yang sekarang lebih dikenal dengan MIFX. Itu jaman sebelum kuda gigit besi. Broker forex memasarkan layanannya layaknya asuransi, dengan sales agent berkeliling door-to-door.
Pada saat itu teknologi belum sebaik sekarang. Kita bisa memantau pergerakan harga lewat terminal komputer yang terhubung melalui internet. Tetapi untuk mengeksekusi transaksi kita harus menelepon ke kantor mereka untuk memberikan instruksi yang baru mereka jalankan setelah divalidasi. Wajar dong, bisa jadi orang lain yang menelepon. Teman jahil misalnya. Hehehe.
Atau mereka juga menawarkan pendekatan yang lebih mudah, mereka yang melototin pergerakan pasar, mereka yang telepon memberi rekomendasi, dan atas persetujuan kita rekomendasi itu dieksekusi.
Ada yang lebih mudah lagi. Kita tutup mata. Mereka yang main. Pokoknya kita tahu-tahu untung … atau rugi.
Salesnya biasa lah ya. Apalagi yang disasar memang kebanyakan Kaum Adam. Sales yang datang ya tidak hanya cantik dan seksi tapi memang sengaja tampil memaksimalkan kedua parameter itu. Untung saja sales yang datang ke saya waktu itu juga membawa parameter lain, cerdas. Dia sangat faham apa yang dia jelaskan, cekatan merespon pertanyaan, sehingga ujung-ujungnya dua parameter yang pertama itu jadi tersamarkan.
Lama bekerja di lingkungan Bank Indonesia di medio 1990-an saya memang tidak asing dengan trading saham. Saya punya teman-teman yang bertugas di “dealing room”. Saya juga punya beberapa kenalan pensiunan yang mengisi hari-harinya dengan trading forex.
Jaman itu mungkin bukan jaman kuda gigit besi. Lebih jadul lagi. Jaman kuda gigit kayu. Mereka yang main forex harus menyewa slot tempat yang suasananya persis seperti bursa saham jaman dulu yang bisa kita lihat kalo nonton film The Wolf of Wall Street-nya Leonardo di Caprio. Dia harus duduk disitu, memantau pergerakan harga, mau transaksi angkat-angkat tangan sambil teriak-teriak.
Teman yang cukup sukses trading forex malah membayar sekretaris seksi untuk duduk di tempat duduknya memantau pasar. Dia? Ngeluyur, jalan-jalan, makan enak, pijet, dan lain-lainnya lah. Tapi kemana-mana dia nenteng ponsel Siemens yang ukurannya kalo disakuin di kantong celana bikin orang melirik dengan pandangan aneh, apalagi kalo yang ngeliriknya cewek.
Setiap pergerakan diilaporkan, dia tinggal perintah. Beli! Jual! Tahan dulu, tar kalo nyampe sekian lepas.
By the way, penawaran trading forex di Bali dari si cewek cantik, seksi, dan cerdas itu tidak saya ambil. Beberapa kali dia bolak balik nelpon terus.
Biasa lah mentalitas sales kan memang harus begitu. Persistence, atau malah insistence. Ulet, bahkan maksa. Dalihnya sih karena aneh aja saya nolak padahal dari obrolan kelihatannya justru saya sangat faham trading forex. Dalih membuka percakapan. Dalih mempertahankan komunikasi. Karena selama komunikasi terbuka, kemungkinan untuk terus “usaha” tetap terbuka.
Meskipun saya resminya bukan sales, nggak pernah jadi sales, tapi pada hakikatnya kita semua ini nyales juga. Bukankah saat interview pekerjaan saja sebetulnya kita sedang menjual jasa kita? Apalagi saya juga belajar manajemen dan hobi nyari buku-buku manajemen. Penjualan adalah bidang yang sangat menarik perhatian saya. Kenapa? Karena saya merasa saya nggak pinter jualan.
Jadi semua strategi itu saya faham banget lah.
Kenapa saya menolak?
Tiga hal. Ini pemikiran saya saat itu lho ya. (1) Terus mantengin grafik akan menyita perhatian sehingga mengganggu fokus kerja saya. Membiarkan orang lain memberi saran atau malah trading dengan akun saya? No way! Menggantungkan keselamatan sama pilot masih lebih masuk akal daripada menggantungkan dompet sama orang yang entah sehebat apa kinerjanya. (2) Trading forex itu terlalu spekulatif. Ada sedikit, atau banyak, aroma judi. (3) Trading forex itu zero-sum-game. Kalau kita untung 100, artinya ada orang lain yang rugi 100 juga.
Trading Forex di Bali 2021
Tapi belasan tahun berlalu dan jelas banyak hal berubah. Pertama situasi dan kondisi saya berubah. Saya menginginkan profesi yang tidak mengikat saya untuk duduk di kantor nine to five or even more. Kedua pemikiran saya berubah. Saat kita memilih membeli apa, melepas apa kapan waktunya, trading melibatkan analisa statistik yang sangat canggih. Nggak kaya togel yang bahkan ayam berkokok aja bisa jadi pertanda. Ketiga, anything in life itu nyatanya ya tetep zero-sum-game. Bukankah kalo kita buka Indomaret artinya sebagian besar konsumen warung kita sedot?
Hal-hal lain yang juga sangat mendukung trading forex masa kini adalah teknologi yang memungkinkan kita memantau pasar dan bertransaksi kapan saja dan dimana saja. Bisa di kantor atau rumah lewat komputer dengan layar-layar besar. Bisa di hotel atau cafe lewat laptop, atau bahkan di mobil bahkan di pesawat lewat handphone atau tablet. Jaman sudah berubah. Ini jaman kuda gigit silikon.
Lanjutan dari ketersediaan teknologi ini adalah globalisasi yang membuat pasar forex buka nyaris 24 jam per hari. Kita bisa trading kapan saja. Kalau siang hari kita sibuk, entah sibuk dengan pekerjaan lain atau sibuk rebahan, kita bisa trading sore atau malam. Kalau malam juga sibuk, entah entertain client atau kelonan, kita bisa trading subuh.
Trading menjadi profesi yang sangat cocok bagi mereka yang tidak ingin terikat ruang dan waktu, mereka yang bergaya hidup nomaden yang dihubungkan dengan ketersediaan teknologi kemudian sekarang mendapat label “digital nomad”.
Gak heran banyak digital nomad di Bali. Memang surganya!
Sebetulnya sih trading di Bali buat komoditas apa aja ya cocok-cocok aja ya. Trading crypto, trading saham, komoditas, dll. Hanya saja kalau saham waktunya agak terbatas. Masing-masing perusahaan biasanya terlisting di satu bursa, dan bursa itu buka pada jam kerja normal. Perusahaan Indonesia yang terdaftar di Indonesia Stock Exchange misalnya, hanya bisa ditransaksikan pada jam kerja normal di Indonesia, pagi sampai sore. Malem? Nggak bisa. Subuh? Nggak bisa juga.
Bisa bayangkan nggak … Pagi jogging di pantai atau bisa juga trekking di pedesaan, sawah, bahkan hutan mangrove. Sarapan lalu ngambil papan selancar ngejar ombak. Siang makan terus tidur siang. Sorenya ngebir sambil menikmati sunset. Lepas sunset makan malam barulah trading sampe ngantuk.
Gimana? Cocok kan trading forex di Bali?