Untuk pertama kali sejak begitu lama tim bulu tangkis Indonesia pulang dengan kepala tegak membawa Piala Thomas kembali ke tanah air. Belakangan baru saya tahu kalu ternyata penantian yang saya sebut begitu lama itu memang lama banget, 19 tahun. 8 seri berlalu, 6 diantaranya dimenangkan tim bulu tangkis China.

Konon waktu bisa membuat sesuatu yang sebenarnya nggak nyaman menjadi terasa biasa. Sepertinya mendengar tim bulu tangkis Indonesia yang dulu demikian perkasa itu lebih sering pulang dengan tangan hampa menjadi sesuatu yang biasa.

Sisi baiknya kita belajar bersyukur, berterima kasih, menghargai perjuangan mereka yang demikian gigih berjuang untuk memberi kebanggan, bukan hanya pada dirinya sendiri tapi juga pada ratusan juta anak bangsa. Karena dulu hampir semua piala bulu tangkis dunia paling prestisius hampir tidak pernah keluar dari tanah air.

Kemenangan itu terasa lebih lengkap karena di final Piala Thomas tadi tim yang ditaklukkan oleh tim Indonesia merupakan tim terkuat untuk waktu yang sangat lama. Tercatat selain Indonesia yang sepanjang sejarah Piala Thomas 14 kali menang, China 10 kali menang. Negara-negara lain jauh di bawah itu. Itu baru Piala Thomas saja.

Lebih lengkap lagi karena tim Indonesia menang telak 3-0 atas tim China. Tanpa balas! Bukan 3-2, bukan pula 3-0.

Terima kasih tim bulu tangkis Indonesia!

Bulu tangkis memang pernah menjadi salah satu – kalau bukan satu-satunya – cabang olah raga dimana Bangsa Indonesia memiliki kebanggaan di mata dunia. Kebanggaan yang tidak hanya dirasakan mereka yang tinggal di perkotaan tapi juga sampai ke plosok desa. Termasuk desa dimana dulu saya dibesarkan.

Moment gelaran kejuaraan Pala Thomas / Piala Uber dan All England dimana pemain- pemain Indonesia selalu menjadi kuda hitam yang tidak pernah absen disiarkan langsung melalui satu-satunya saluran TV yang ada, TVRI, selalu ditunggu-tunggu, dari jauh-jauh hari sebelumnya.

Ruang tengah rumah saya – ah tepatnya rumah orang tua saya – akan disulap menjadi tempat Nobar. Kusi dijejer di belakang untuk orang dewasa, sementara tikar digelar di depan untuk anak-anak. Seingat saya saat itu hanya ada 3 TV di satu kecamatan. Satu TV umum di depan kecamatan, dua lagi dimiliki perorangan, salah satunya orang tua saya.

Jauh sebelum mulai para tetangga mulai berdatangan. Para bapak asyik bercengkrama dengan rokok ditangan sebelum satu-persatu mengambil tempat duduk. Anak-anak duduk tertib, terpaksa meredam gerakan lincah dan teriakan ceriwisnya, karena kalau tidak, ayahnya yang duduk di belakang akan langsung memarahinya. Malu oleh bapak-bapak lain karena anaknya kurang sopan.

Semua larut dalam ketegangan, sambil menikmati kopi dan cemilan yang dibuat ibu saya dibantu ibu-ibu tetangga. Waktu itu saya nggak habis mengerti kenapa mereka seperti tidak tertaik menonton. Setelah selesai memasak dan menyuguhkan, biasanya mereka memilih ngerumpi di teras.

Mungkin masyarakat kala itu menganggap bulu tangkis sebagai bagian dari dunia para pria. Mungkin itu yang membuat prestasi pra pemain bulu tangkis putra lebih moncer dari putri. Buktinya Piala Thomas hampir selalu diboyong pulang Tim Indonesia, tapi tidak dengan Piala Uber.

Hasil pertandingan akan menjadi buah bibir sampai berminggu-minggu sesudahnya. Mereka yang berkesempatan menonton akan dengan fasih menceritakan jalannya masing-masing partai kepada mereka yang tidak sempat menonton. Sementara yang mendengarkan akan larut dalam imaji seperti “menonton” pertandingan lewat radio.

Bulu tangkis di Indonesia saat itu mungkin seperti sepak bola di Brazil. Mendarah daging sampai ke pelosok desa.

Di waktu luang anak-anak akan bermain bulu tangkis dengan apapun yang bisa digunakan. Kok yang bulunya sudah gundul semua dipukul dengan potongan kayu yang dibentuk mirip raket, jadilah. Kalaupun tidak mereka akan menggunakan apapun yang bisa digunakan, dari tutup panci sampai piring kaleng.

Saya sedikit lebih beruntung. Di depan rumah ayah saya membuat lapangan bulu tangkis berlantai semen satu-satunya di seantero kecamatan. Sejak kecil saya sudah dibelikan raket sendiri. Seluruh keluarga saya, ayah, ibu, kakak, adik, punya raket sendiri. Bulu tangkis mengisi sore-sore menyenangkan di masa kecil saya.

Kalau kebanyakan orang bermain bulu tangkis hanya untuk bersenang-senang, saya sedikit lebih serius. Bersama sahabat sepermainan saya merupakan ganda putra terkuat di kecamatan.

Berjalan pulang menyandang raket saat dari sekolah setelah mengikuti pertandingan itu bangganya bukan main.

Semoga keberhasilan Tim Bulu Tangkis Indonesia membawa pulang Piala Thomas bukan hanya sekedar “kebetulan” tapi menjadi momentum kebangkitan bulu tangkis Indonesia.

Kami anak bangsa merindukan kebanggaan seperti ini.