Indonesia itu juara dalam banyak hal. Dengan 272 juta lebih, Indonesia menempati urutan ke-4 dalam daftar negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar. Dari segi luas wilayah, Indonesia berada di urutan ke-14. Sementara dari sisi perekonomian Indonesia saat ini merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke-16.
Tapi sebangga-bangganya kita dengan tanah air kita memang harus jujur mengakui kalau untuk urusan sepak bola Indonesia bukanlah sebuah kekuatan yang layak diperhitungkan. Jadi wajarlah kalau kemenangan-kemenangan dalam lingkup yang jauh lebih kecilpun membuat saya sebagai satu dari sekian ratus juta anak bangsa ini berbunga-bunga.
Sebagai bagian dari dunia, secara berkala Indonesia mengikuti kompetisi-kompetisi sepak bola. Ya nggak jauh-jauh sih ya. Cuman lawan tetangga-tetangga aja. Ya mau apa lagi. Jangankan berlaga di tingkat yang lebih besar seperti putaran final Piala Dunia, lha lawan tetangga-tetangga terdekat saja kita lebih banyak kalahnya.
Eh … lebih banyak kalah ato kalah terus sih?
Buat urusan yang satu ini every now and then emosi kita sebagai anak bangsa kayak diaduk-aduk. Dilambungkan harapan lalu dihempaskan kenyataan. Ada waktunya kita sekali-sekali memenangkan pertandingan, terutama saat berhadapan dengan tetangga-tetangga yang lebih lemah. Tapi pada akhirnya satu dua kemenangan itu tidak cukup membawa Tim Nasional Indonesia keluar sebagai juara dari turnamen yang diikutinya.
Salah satu kompetisi sepak bola bergengsi yang secara reguler diikuti Timnas kita adalah Piala AFF. Itu singkatan dari ASEAN Football Federation, bukan Asian, jadi pesetanya hanya negara-negara di kawasan Asia Tenggara saja.
Dan kenyataan pahit yang mau tidak mau harus kita telan adalah dari 13 kali gelaran kompetisi piala AFF ini (diselenggarakan setiap 2 tahun mulai 1996) Timnas Indonesia belum pernah membawa pulang gelar juara.
Artinya jangankan bicara di tingkat dunia atau Asia, lawan negara-negara tetangga terdekat yang memang rata-rata di lingkup yang lebih besar tidak ada yang termasuk tin-tim papan ataspun kita ini masih (maaf) anak bawang. Catatan dari 13 kali gelaran piala AFF, 5 kali dimenangkan Thailand, 4 kali dimenangkan Singapura, 2 kali dimenangkan Vietnam, dan sekali dimenangkan Malaysia.
Indonesia? 5 kali jadi runner-up.
Jadi sebetulnya menghadapi Singapura di semi-final Piala AFF tahun ini bukanlah sesuatu yang ringan. Karena kalau kita melihatnya menggunakan statistik Piala AFF, Timnas negara kecil berpenduduk hanya lima jutaan jiwa itu merupakan tim kedua terkuat yang ikut serta dalam kejuaraan itu.
Bagi Timnas Indonesia, mengalahkan Timnas Singapura bisa dikatakan sebuah prestasi yang cukup gemilang.
Kalau kemenangan itu diraih dengan susah payah, wajar saja.
Tapi yang jelas nyatanya menang.
Hore!
Tapi ya itu tadi. Kemenangan Timnas Indonesia atas Timnas Singapura itu baru menjamin posisi runner-up yang kalau dihitung-hitung berdasarkan sejarah akan menjadi yang ke-6. Akankan kali ini Timnas Indonesia akan sanggup memecahkan telur dengan mencatatkan gelar juara untuk pertama kalinya?
Mudah-mudahan. Tapi lawan yang akan dihadapi juga bukanlah tim yang bisa dikalahkan dengan mudah. Malah kalau bicara statistik mungkin sebaliknya, mereka akan dengan mudah mengalahkan Timnas Indonesia. Catet, itu berdasarkan statistik lho ya. Karena pertandingan semi-final satunya lagi yang menghadapkan Thailand lawan Vietnam akhirnya secara agregat dimenangkan Thailand, kolektor gelar juara AFF terbanyak, 5 kali.
Memang mengalahkan Timnas Singapura yang merupakan kolektor 4 gelar juara AFF, hanya terpaut satu dari Timnas Thailand memberi kita sedikit optimisme. Bukankah lawan Thailand di laga semi finalnya adalah Vietnam yang koleksi gelar juara AFF-nya hanya dua, separuh koleksi gelar Singapura?
Tapi tidak berarti kemudian perjuangan akan mudah.
11 Lawan 8
Wacana yang cukup hangat berkembang dalam obrolan disela-sela kopi di lingkungan pertemanan saja adalah kemampuan Timnas Indonesia untuk menaklukkan Timnas Thailand di pertandingan final nanti. Dasar yang paling banyak digunakan sebagai pijakan ya apalagi kalau bukan pertandingan antara Timnas Indonesia melawan Timnas Singapura, khususnya pertandingan leg kedua dimana Indonesia berhasil merebut tiket partai puncak dengan kemenangan cukup meyakinkan, 4-2.
Kubu pesimis menyorot kenyataan bahwa Timnas Indonesia lama tertahan pada skor 2-2 saat Timnas Malaysia hanya memiliki 9 orang pemain akibat dua pemainnya terpaksa meninggalkan lapangan akibat kartu merah. Apalagi kemudian Timnas Singapura justru mendapat peluang emas 24 karat saat dihadiahi penalti saat waktu normal hanya tersisa beberapa menit saja.
Semua pemain pasti sangat sadar resiko melakukan pelanggaran di kotak penalti. Pemain profesional tidak akan melakukannya hanya karena emosi. Hanya kondisi yang sangat kritis yang bisa memaksa mereka melakukannya. Kalau ternyata pemain Timnas Indonesia melakukannya, artinya memang kondisinya kritis, sangat terdesak. Dan memang nampak jelas dari dinamika serangan pasukan Timnas Singapura yang berujung pelanggaran berbuah penalti itu, situasinya memang sangat kritis.
Jadi dengan jumlah pemain yang sudah berkurang dua itu, Timnas Singapura tidak hanya mampu mempertahankan kedudukan 2-2 tetapi membangun serangan yang memaksa pemain Timnas Indonesia mengambil resiko demikian besar.
Artinya apa?
Tapi entah karena logika atau karena asa, saya menanggapinya dengan pendekatan yang berbeda. Sama seperti logika bagaimana pemain menggunakan aksi yang masuk pada kategori pelanggaran itu sebagai tindakan terukur untuk menyelamatkan situasi, pemain-pemain Timnas Singapura tidak akan cukup bodoh mengambil resiko besar diganjar kartu merah kalau situasinya memang tidak sangat kritis.
Artinya memang tekanan pemain-pemain Timnas Indonesia luar biasa besar. Hanya saja mungkin konversi serangan itu menjadi gol yang masih mandek.
Kenyataanya sepertinya kegagalan eksekusi penalti Timnas Singapura seperti kembali menggelorakan asa para pemain Timnas Indonesia untuk berjuang habis-habisan.
Bisa dibayangkan. Kalau eksekutor Timnas Singapura itu sukses melaksanakan tugasnya, Timnas Singapura akan mendapat keunggulan skor 3-2 pada saat waktu normal hanya tersisa beberapa menit saja, sehingga kemungkinan pemain-pemain Timnas Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya jadi sangat-sangat kecil. Hampir tidak mungkin.
Dengan asa yang kembali bergelora, pemain-pemain Timnas Indonesia bisa mengemas dua gol tambahanhanya dalam satu babak perpanjangan. Memang salah satunya dikategorikan sebagai gol bunuh diri, tapi itupun karena serangan jarak pendek.
Artinya dengan motivasi penuh Timnas Indonesia yang belum pernah menjadi juara AFF itu sebetulnya mampu mengatasi permainan Timnas Singapura yang mengoleksi 4 gelar juara.
Kalau mereka menggunakan semangat juang yang sama, menaklukkan Timnas Thailand di babak final bukanlah sesuatu yang mustahil.