Tidak perlu bahasan panjang lebar untuk menggambarkan bagaimana Bali yang sebagian besar perekonomiannya dimotori oleh sektor pariwisata paling berdarah-darah akibat pandemi Covid-19 yang sudah hampi dua tahun melanda dunia.

Banyak pelaku usaha di industri pariwisata Bali saat ini sudah tidak lagi berada pada posisi “survival mode” alias berjuang untuk bertahan hidup karena kehidupannya memang tidak ada lagi. Tutup.

Jalan-jalan di seputaran kawasan wisata Kuta seperti Jalan Raya Legian, Jalan Pantai Kuta, Jalan Kartika Plaza, dan sebagainya, sampai ke dalam gang-gang kecil seperti Gang Poppies misalnya, seolah tidak pernah tidur. Seperti jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, setiap hari 24 jam terus berdenyut.

Coba susuri jalan-jalan itu sekarang. Hampir semua toko yang berjejer sepanjang jalan tutup. Banyak hotel juga tutup. Satu-dua hotel yang masih bukapun tidak terlalu menunjukkan tanda-tanda kehidupan, sepi. Paling hanya satu dua mobil tamu terparkir di depannya.

Penurunan kasus Covid-19 di seluruh tanah air termasuk Bali yang diiringi pelonggaran pembatasan sedikit memberi angin segar. Aktivitas mulai nampak. Meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit dibandingkan kondisi normal, sejumlah wisatawan domestik mulai berdatangan.

Sayangnya pembukaan pintu kedatangan untuk wisatawan asing yang masih diwarnai sejumlah aturan belum bisa membuat Bali kembali dikunjungi wisatawan asing.

Kembali meningkatnya penyebaran Covid-19 di sejumlah negara nampaknya membuat pemerintah sangat hati-hati.

Ancaman gelombang Covid-19 masih membayang.

Tapi buat saya kondisi saat ini sudah cukup untuk setidaknya kembali membangkitkan optimisme.

Kasus Covid sejauh ini sudah turun drastis dan sejauh ini tetap terkendali. Dari hari ke hari jumlah pasien sembuh selalu lebih tinggi dari kasus baru. Angka kematian sudaj jaih lebih rendah. Rumah sakit dan tempat karantina sudah hampir kosong. Masyarakat, setidaknya di Bali, sudah hampir seluruhnya tervaksin.

Konon kalau sudah divaksin, kalaupun sampai terinveksi, tidak akan parah apalagi sampai menimbulkan kematian.

Pergantian tahun memang biasa diwarnai dengan perayaan besar-besaran dimana banyak orang berkumpul dalam jumlah besar sehingga penerapan protokol kesehatan jadi sulit untuk diterapkan. Wajar kalau kemudian pemerintah mengambil langkah pencegahan dengan kembali mengetatkan pembatasan, khusus untuk masa liburan Natal dan Tahun Baru.

Tapi setelah itu saya yakin kondisi akan terus berangsur membaik. Pembatasan akan terus berkurang. Kita bisa kembali beraktivitas normal hanya dengan menjalankan protokol kesehatan seperti mengenakan masker, menjaga jarak, dan menjaga kebersihan.

Penggunakan aplikasi PeduliLindungi hanya akan berperan sebagai instrumen pemantauan, bukan pembatasan.

Beberapa orang bahkan menyuarakan optimisme yang lebih besar. Industri pariwisata Bali bukan hanya akan berangsur membaik tetapi akan meledak karena adanya efek balas dendam. Begitu merasa cukup aman, mereka yang sudah bertahun-tahun terkurung akan balas dendam beramai-ramai berwisata.

Jadi untuk para pelaku industri pariwisata di Bali, saya fikir sudah waktunya kembali memanaskan mesin.

Memang setelah hampir dua tahun tanpa pendapatan, menghidupkan kembali usaha bukan hal yang mudah. Hotel yang sudah lama tutup perlu biaya besar untuk menghidupkannya lagi. Usaha-usaha lain perlu biaya besar untuk kembali menyewa kantor, menyewa toko, menata lagi, dan mengisinya dengan barang dagangan baru.

Mereka yang masih sanggup untuk kembali memutar usahanya kemudian juga akan berhadapan dengan kebutuhan biaya pemasaran yang juga tidak kecil.

Digital Marketing

Disinilah pemanfaatan digital marketing menjadi sangat esensial. Karena jika dijalankan dengan tepat, digital marketing bisa memberikan hasil maksimal dengan biaya minimal.

Memang selama ini, setidaknya sebelum pandemi, para pelaku usaha masih banyak yang memandang digital marketing sebelah mata. Pada saat itu banyak usaha yang bahkan tanpa upaya pemasaran apapun saja sudah laku keras.

Lihat saja Pia Legong misalnya. Nggak pernah keliatan masang iklan. Tapi setiap hari pembelinya mengular antri sampai ke jalanan. Lihat Pie Susu Asli Enaaak. Meskipun tokonya jauh dari pusat pariwisata, wisatawan sengaja jauh-jauh pergi ke tokonya. Lihat Joger. Ngilkan nggak, digital marketing nggak, tapi lapangan parkirnya yang demikian luas itu selalu meluber.

Sementara usaha yang menggunakan instrumen-instrumen pemasaran untuk menjaring konsumen, punya cukup banyak uang untuk membayar metode-metode pemasaran berbiaya mahal sekalipun.

Misalnya hotel-hotel bisa memasang iklan di majalah-majalah elite atau mengikuti pameran-pameran bergengsi di berbagai belahan dunia. Restoran dan cafe bisa memasang iklan di bilboard dan videotron raksasa yang biayanya juga tidak murah.

Saya yakin semua akan semakin serius memilih instrumen-instrumen pemasaran yang lebih efektif. Low cost high impact. Melirik digital marketing akan menjadi pilihan yang tidak terelakkan.

Digital marketing sendiri merupakan dunia yang dinamis dimana ada banyak instrumen yang bisa dipergunakan.

Dalam pemanfaatan ssearch engine saja setidaknya ada SEO organik, SEO lokal, dan periklanan berbayar. Media sosial juga tidak kalah dinamis dan potensial digunakan sebagai instrumen pemasaran. Masing-masing portal media sosial punya dinamika sendiri.

Itu kita baru bicara dua, search engine dan media sosial. Yang lain ya silahkan eksplorasi sendiri lah.

backtobali.id

Nah lalu bagaimana dengan keterbatasan sumber daya dan waktu kita bisa mulai memanfaatkan digital marketing supaya usaha kita bisa mulai bergeliat?

Tidak perlu faham social media marketing untuk membuat produk anda dipasarkan secara luas melalui viralitas media sosial. Anda hanya perlu bergabung dengan backtobali.id.

Daftarkan usaha anda, pajang produk anda, dan puluhan ribu social seller akan mulai memasarkan produk anda.