Rasa-rasanya saya pernah mendengar kata-kata bijak yang bunyinya kuring lebih “sekalu ada berkah di balik musibah”. Dalam buku-buku bisnis dan motivasi asing ada juga kalimat yang rasa-rasanya memiliki makna yang sama. “there is an opportunity behind every problem” atau “in every crisis lies opportunity”. Tokoh spiritual Dalai Lama bahkan punya kalimat yang lebih panjang lagi untuk mengelaborasikan pesan yang sama “whenever there is a challenge, there is also an opportunity to face it, do demonstrate and develop our will and determination”.
Lalu apa berkah dibalik musibah pandemi Covid-19 yang sudah hampir dua tahun berlangsung, meluluh-lantakan banyak sektor ekonomi, menjungkirbalikkan periuk nasi jutaan rumah tangga, bahkan merenggut nyawa ribuan orang di tanah air?
Karena perjalanan orang dibatasi bahkan dilarang, seluruh aktivitas perekonomian yang melibatkan perjalanan luluh lantak, salah satunya sektor pariwisata. Konsekuensi logis dari berhentinya pergerakan manusia, tidak ada wisatawan datang, terhentilah denyut nadi industri pariwisata. Di mana-mana. Bukan hanya di seluruh tanah air tapi juga diseluruh belahan dunia. Nggak cuman belahannya doang, bahkan nyelip-nyelip sampe ke pelosok-pelosoknya. Tapi di Bali sebagai sebuah propinsi, sebuah pulau, yang tingkat ketergantungan perekonomiannya terhadap pariwisata demikian tinggi, efek pandemi terhadap perekonomian demikian terasa dan menjalar pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Sosial, keagamaan, budaya, dan entah apa lagi.
Menurut berita, per pertengahan tahun 2021 ini 3.000. hampir 80.000 pekerja dirumahkan. Entah seakurat apa data itu, tapi saya sendiri meyakini angka yang sebenarnya jauh di atas itu. Karyawan hotel yang di-PHK atau dirumhakan mungkin mudah dicari datanya. Lalu bagai mana dengan mereka yang bergerak di sektor informal? Guide dan sopir freelance, pemilik dan pekerja toko cindera mata, sampai pedagang kecil dan pedagang asong di tempat-tempat wisata. Jumlahnya jelas jauh lebih besar.
Lalu kemana mereka saat pandemi melanda?
Dari yang saya amati di sekitar saya sih setidaknya mereka terdiri dari dua golonagan. Ada yang tetap bertahan di Bali dan mencari penghidupan dengan cara yang berbeda. Ada yang memilih meninggalkan Bali, entah pulang ke kampung halaman atau mungkin mencari penghidupan di tempat lain.
Yang sepertinya luput dari perhatian kebanyakan orang, mereka yang tinggal ini banyak yang menjelma menjadi pengusaha. Okelah usaha kecil. Saking kecilnya malah pemerintah memberikan istilah yang berbeda. Mikro. Singkatan UKM yang merupakan singkatan dari Usaha Kecil dan Menengah itu bertambah panjang jadi UMKM, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Tapi ya tetap saja. Lupakan ukurannya. Mereka tetap saja pengusaha.
Cerita Kewirausahaan
Seorang yang saya kenal baik memiliki karir yang lumayan di sektor pariwisata. Jabatan cukup strategis di sebuah perusahaan yang lumayan besar. Keleluasaan finansialnya nampak jelas dari rumah, mobil, dan bagaimana dia mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sama sekali tidak esensial, dari membiayai hobi sampai memanjakan keluarga.
Saat pandemi melanda, perlahan dia kehilangan hampir semua. Dari usahanya yang gulung tikar, mobil, sampai barang-barang lumayan mahal yang merupakan bagian dari hobi-hobinya berangsur menghilang, bertukar uang yang tidak seberapa dibandingkan dengan harga saat dia membelinya.
Istrinya yang tadinya berusaha membantu suaminya menopang kebutuhan keluarga dengan berjualan di depan sekolahan terpaksa menutup usahanya karena selama PPKM berjilid-jilid dan berlevel-level itu aktivitas belajar mengajar berpindah ke dunia maya. Anak-anak bertatap muka dengan gurunya dari rumah melaui media internet. Karena mereka tidak pergi ke sekolah, tidak ada lagi anak-anak sekolah yang jajan di lapaknya.
Akhirnya mereka menemukan cara baru mengais rupiah diatas puing-puing “kerajaan” yang mereka bangun.
Mereka berjualan makanan dari rumah. “Duitnya darimana?”, ucapnya sederhana saat ditanya kenapa tidak menyewa tempat yang lebih strategis untuk berjualan.
Lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan pembeli sementara lokasi rumahnya agak tersembunyi dan dia sendiri juga sama sekali tidak memberi tanda-tanda keberadaan usaha di rumahnya itu. Tidak ada merk terpasang, apalagi meja-kursi seperti biasanya kita lihat di lapak penjaja makanan, entah restoran atau warung tenda sekalipun.
Jawabannya online. Internet membuat lokasi fisik tidak lagi memiliki peran dalam memudahkan calon pembeli menemukan tempat usahanya. Dia memanfaatkan platform-platform angkutan online seperti Gofood dan Grabfood. Disanalah para calon pembeli menemukan dagangannya. Dengan platform yang sama juga mereka membeli dagangannya.
Saat saya berkunjung ke rumahnya, hanya sedikit waktu dia sempat duduk ngobrol. Dia dan istrinya sibuk menyiapkan pesanan agar siap saat driver ojek online datang menjemputnya sehingga mereka tidak harus menunggu lama. Sampai menjelang tengah malam masih terus ada motor-motor dengan penunggang berjaket hijau bolak balik menyambangi rumahnya.
Berkah Kewirausahaan Di Tengah Pandemi
Pandemi Melahirkan Wirausaha Baru
Jadi ungkapan “ada hikmah di balik setiap musibah” itu benar-benar terjadi. Memang tidak terjadi pada semua orang. Hanya para pekerja keras berjiwa pantang menyerah yang bisa menemukannya.
Sebetulnya minat untuk berwirausaha itu ada di benak demikian banyak orang. Tidak terkecuali orang-orang yang punya pekerjaan. Buruh, karyawan, pegawai, sebut sajalah apa label yang mau disematkan pada mereka. Termasuk mereka yang bekerja di sektor pariwisata, industri yang demikian cemerlang di Bali yang menjadi magnet yang sanggup memberi penghidupan demikian banyak pekerja dan mengerakan perekonomian masyarakat aecara keseluruhan.
Tapi kenyamanan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari yang lumayan nyaman memaksa mereka menyimpan impian untuk berwirausaha itu dalam-dalam. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan fenomena ini adalah “enggan meninggalkan zona nyaman”.
Pandemi merenggut zona nyaman itu.
Pandemi memaksa mereka meninggalkan zona nyamannya. Tepatnya mungkin bukan meninggalkan juga ya, karena memang zona nyaman itu hilang. Banyak diantara usaha-usaha mentereng pada industri pariwisata, hotel, travel agent, operator aktivitas wisata, tranportasi, restoran, cafe, dan banyak lagi jenisnya itu terpaksa tutup. Yang masih jalan meminimlakan operasinya untuk menghemat biaya.
Tapi ujungnya sama, karyawannya kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, dan terpaksa memutar otak mencari cara untuk mendapat penghasilan agar bisa bertahan hidup.
Banyak diantaranya menemukan kewirausahaan sebagai jalan keluar.
Dukungan untuk Tumbuh
Wirausaha baru ini harus mendapat dukungan untuk tumbuh dan berkembang. Kalau usaha mereka sanggup memberikan penghasilan yang lebih baik dari gaji yang mereka dapatkan sebagai karyawan, bahkan saat pandemi berakhir dan tempat kerjanya kembali beroperasi mereka akan lebih memilih untuk tetap menjadi pengusaha alih-alih kembali menjadi pegawai.
Saat pandemi berakhir, landscape perekonomian Bali akan berubah. Ketergantungan perekonomian Bali terhadap industri pariwisata akan berkurang.