Posting lama di social media saya dikomentari seorang teman lama yang sudah lama sekali nggak ketemu. Postingnya sudah lebih dari setahun lalu. Entah dari mana teman saya yang satu ini koq tiba-tiba muncul ngomentarin postingan saya. Mungkin dia tiba-tiba nemu akun social media saya lalu kepo bukain postingan-postingan lama.
Kamu masih baca buku?
What?
Ya jelas masih lah.
Memang ada banyak kebiasaan lama saya yang saya fikir dia tahu dan sudah tidak saya lakukan lagi. Rokok, alkohol, kebut-kebutan, bilyard, naik gunung, begadang, entah apa lagi. Rasanya memang hampir semua kebiasaan-kebiasaan itu memang biasa saya lakukan sama dia.
Maklumlah sebagai introvert sejati saya memang nggak punya banyak teman. Jumlah teman saya mungkin bisa dihitung jari. Tapi intensitas pertemanan itu cerita lain.
Kabur dari kelas cuma untuk sekedar main bilyard ato nongkrong di toko kaset, ya sama dia itu.
Tapi kalo baca buku sampe sekarang jelas masih.
Saya kutu buku sejak lahir.
Buat saya yang memang menganggap buku itu lebih penting dari games, film, sex, atau mungkin bahkan makan, pertanyaan itu pertanyaan yang luar biasa bodoh. Dan itu pula reaksi pertama saya atas pertanyaan dia.
“Gak punya pertanyaan lain yang lebih bodoh dari itu Lu?”
Entah dari mana sumbernya tapi ternyata dia cukup fasih memahami perjalanan saya yang melanjutkan ketertarikan saya dengan komputer dari sejak SMA dengan kuliah, bekerja, berbisnis, bersosialisasi, di dunia digital. Dunia yang ternyata menurut dia adalah dunia ultra-modern dan hanya sedikit orang yang benar-benar bisa hidup di dalamnya dengan itensitas setinggi saya.
Menurut dia dunia yang demikian modern ini memberikan banyak cara yang lebih praktis, mudah, dan nyaman untuk menyerap ilmu. Bisa nonton video, bisa dengerin podcast, atau kalaupun sumbernya memang harus buku, kan ada audiobook yang memungkinkan kita mengkonsumsinya tanpa harus membaca.
“Ya kalaupun tetep mau baca, kan ada ebook yang bisa lo baca pake hape, tab, ato Kindle keq”, ucapnya membela diri dari vonis bodoh yang saya sematkan pada pertanyaannya.
Saya Sudah Coba Semua
Dengan tingkat adiksi saya terhadap membaca yang memang agak berlebihan, tentu saja semua yang dia sebut itu sudah pernah saya coba. Pada jamannya, saya sempat punya beberapa model Kindle. Yang item putih, yang berwarna, yang layarnya lebih lebar, dan entah model yang kayak gimana lagi.
Saat pertama kali Apple memperkenalkan iPad, saya sengaja titip seorang teman untuk membelikannya dari Hongkong.
Tapi pada akhirnya saya memang selalu punya alasan untuk memvalidasi kenyataan bahwa saya jauh lebih nyaman membaca buku konvensional. Ink on paper. Bahkan kalaupun saya hanya mendapat versi ebook dari buku tertentu saya akan cenderung untuk mencetaknya dulu. Thanks God sekarang semakin banyak tukang print ebook.
Saya mendengarkan podcast. Saya lebih memilih mendengarkan podcast saat berkendara daripada memutar musik. Saya nonton Youtube. TV saya hampir nggak pernah saya pake buat nonton TV. Nonton Netflix-pun hanya sekali-sekali saja. Saya kira lebih dari 90% dari jam hidup TV saya ya dipake nonton Youtube.
Cuma podcast dan Youtube itu bukan sesuatu yang bisa secara langsung dibandingkan dengan buku. Buku 500 halaman kalau di-podcast-kan atau di-Youtube-kan jadi berapa lama coba?
Ada banyak podcast dan video Youtube yang menawarkan ringkasan buku. Tapi kalau buat saya salah satu faktor yang saya nikmati dari membaca itu adalah detailnya. Kalau diringkas, entah jadi podcast atau Youtube, justru detailnya itu yang hilang.
Saya Akan Tetap Baca Buku
Jadi ya entah perkembangan teknologi akan bergerak ke arah mana tapi sepertinya selama masih ada yang jual saya akan tetap lebih memilih membaca buku.
Sampai nggak ada lagi yang jual buku?
Ya nggak juga. Saya sudah membuktikannya. Ketika saya hanya dapat ebook, tidak bisa mendapatkan versi buku konvensionalnya, saya cenderung akan print dulu sebelum dibaca.
Mungkin kalau sudah nggak ada kertas lagi.
Beberapa kali kebiasaan saya membaca dihubung-hubungkan dengan isu lingkungan. Saya dikatakan nggak peduli dengan lingkungan karena kertas yang digunakan untuk buku yang saya baca itu diproduksi dengan bahan baku kayu. Artinya ada pohon yang ditebang untuk lembaran-lembaran halaman buku yang saya baca.
Nggak selebay itu juga kali.
Kayu yang digunakan sebagai bahan kertas itu bukan kayu hutan yang sebiji aja ditebang akan membuat pergeseran keseimbangan ekosistem. Kayu yang digunakan sebagai bahan kertas itu sengaja ditanam seperti layaknya perkebunan. Ditanam, dipanen, ditanam lagi, dipanen lagi, ditanam lagi, dipanen lagi, ditanam lagi.
Apakah tanahnya kemudian jadi rusak dan kehilangan kesuburannya?
Nggak juga lah Ferguso! Kesuburan tanah yang digunakan sebagai perkebunan kayu bahan kertas itu justru kesuburannya tetap terjaga. Kenapa? Karena sejak ditanam sampai dipanen itu daunnya tumbuh dan gugur menjadi pupuk alami secara terus menerus. Saat dipanen, kayunya diambil, ranting dan daunnya juga ditinggal, membusuk, dan jadi pupuk alami lagi.