Saya termasuk cukup adaptif dengan perubahan. Saya bisa menyesuaikan diri dan padak ahkhirnya membangun kenyamanan dalam situasi baru meskipun itu sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, atau bahkan kalau saya bayangkan sebelumnya saya jelas-jelas meyakini kalau saya tidak menyukainya.
Itu soal menyesuaikan diri dengan perubahan. Tetapi mengambil keputusan untuk nyemplung dalam situasi yang baru itu urusan lain. Saya termasuk orang yang bersedia menerima ketidaknyamnan berkepanjangan daripada loncat to embrace perubahan. Bahkan kalaupun saya sangat tahu kalau situasi yang baru akan jauh lebih baik dari situasi yang saya hadapi saat itu.
All in all, saya cenderung tidak akan berubah dengan keinginan sendiri meskipun logika saya mengkonfirmasi dengan tingkat keyakinan 110% bahwa perubahan itu harus saya ambil. Saya akan punya 1001 alasan untuk menolak. Kalau 1001 alasan itu tidak cukup, saya akan membuat 1001 alasan baru. Kalau 2002 itu nggak cukup saya akan membuat 1001 alasan yang baru lagi.
Alasan buat siapa?
Ya buat diri saya sendiri.
For whatever reasons, situasi keuangan saya tidak memungkinkan saya untuk membeli buku, untuk memanjakan hasrat saya untuk membaca. Dan itu membuat saya sangat tertekan. Saya bisa menyesuaikan diri kalau kemana-mana harus berpanas-panas naik motor. Saya nggak terlalu merasakan masalah saat saya harus membiasakan diri makan dengan menu yang harganya mungkin kurang dari separuh bahkan seperempat biasanya. Saya bisa tetap produktif bekerja dengan laptop yang umurnya sudah lebih dari 8 tahun.
Tapi buku itu urusan lain.
Saya harus makan, bengong, tidur, nyetir, bahkan buang air dengan buku. Bahkan ketika saya bekerja dengan laptop saya, saya akan lebih merasa nyaman kalau dikelilingi buku, meskipun tidak saya baca karena saya sedang mengerjakan hal lain.
Jadi saya mulai mencari alternatif lain selain membeli buku seperti yang biasa saya lakukan, yang bisa dihitung jari sebelah tangan juga sih caranya. Dalam kondisi normal, yang paling sering, beli di Periplus. Kadang ke salah satu tokonya, kadang beli online. Dengan frekuensi belanja saya yang cukup tinggi rasanya semua pegawai Periplus di semua gerai mereka di Bali hafal muka saya. Opsi lain, kalau kebetulan ke luar negeri, Kinokuniya. Kalau terpaksa, order di Amazon.
Opsi pertama yang saya coba adalah beli buku reproduksi. Ini sejenis bajakan sebetulnya kalau menurut saya sih. Di marketplace banyak. Sepertinya dia mencetak dari e-book. Jadi harganya jauh lebih murah karena mereka tidak lagi menghitung biaya hak cipta tetapi hanya biaya cetak. Buku-buku yang harganya 300-400 ribu bisa didapat dengan harga 80-100 ribu saja.
Tapi saya nggak merasa nyaman. Saya selalu punya alasan untuk mengeluh. Entah soal jilidnya, entah soal cetakannya, entah soal ukuran hurufnya, entah soal warna kertasnya, dan entah apalagi alasan yang muncul di otak saya yang memerintahkan mata menolak.
Tapi by-the-way, 80-100 ribu itu juga lumayan mahal sih. Apalagi kalau dihubungkan dengan perasaan bersalah karena membeli bajakan.
Opsi berikutnya bajakan juga. Tapi saya lebih mudah menerima karena harganya jauh lebih murah. Otak saya kemudian mengirim signal-nya “Ya karo semurah itu gak apa-apalah bajakan …”
He he he.
Ini beli ebook bajakan dengan harga sangat murah. Cuma cuma lima ribu perak aja per ebook. Ada yang lebih mahal sih, entah 10 ribu atau ada juga yang sampe 25 ribu. Tapi ya tetep murah pake banget lah. Ada beberapa format. Mostly pdf tapi ada juga yang epub dan yang lain.
Dulu saya pernah coba beli ebook original dari Amazon yang bisa dibaca pake kindle. Saya pernah punya beberapa versi kindle. Yang hitam putih, yang berwarna. Bahkan pertama kali iPad muncul saya titip beli dari Hong Kong biar bisa baca ebook yang pdf.
Tapi kemudian saya terbentur dengan ketidaknyamanan membaca dalam waktu lama dengan perangkat digital. Memang ada positifnya, bisa membaca dalam gelap, tapi sinar layar itu dalam waktu lama melelahkan sekali.
Ya plus ada beberapa alasan lain sih. Pertama formatnya banyak yang nggak beneran nyaman dibuka di perangkat digital. Kedua rasa bersalah soal bajakan itu. Yang ketiga dan paling penting, bukunya agak jadul. Ya nggak jadul-jadul amat sih benernya, mungkin 1-2 tahun dari terbit lah. Tapi buat saya segitu itu udah outdated sih. Way outdated.
Scribd
Dan baru-baru ini saya melirik Scribd. Setelah menimbang-nimbang, baca review sana sini, akhirnya saya membeli akun bootleg dari platform marketplace untuk uji coba.
Enak sih.
Bukunya yang baru-barupun ada. Formatnya terstandarisasi, seragam sama semua, jauh lebih nyaman dibaca. Beli akun bootlegnya murah banget juga. 40 ribuan lifetime. Wow banget dong, daripada beli 5, 10, 20 ribu per biji ebook bajakan. Saya harus menyisihkan ketidaknyamanan membaca di perangkat digital yang buat mata saya yang sudah mulai menua ini agak berat sih.
Tapi dengan berbagai pertimbangan, termasuk harga dan kemudahan mengelola, nggak perlu mikir rak buku dll. ya sudahlah.
Akhirnya saya berlangganan. Nggak mahal-mahal amat sih. 70 ribu per bulan ya lumayan affordable lah dengan jumlah buku yang hampir tak terbatas itu. Alasan kenapa saya nggak pake yang bootleg-nya itu lagi adalah karena saya ingin mengelola library sendiri. Bisa nyimpen buku-buku yang pernah dibaca. Bisa baca beberapa buku secara simultan dan terdata masing-masing sampe halaman berapa. Stabilonya bisa tersimpan terus.