Orang-orang seumuran saya pasti pernah sangat sering berurusan dengan “rewind”. Kalaupun bisa jadi nggak beneran tahu artinya dalam Bahasa Inggris, tapi yang jelas kalau lihat tombol bertuliskan rewind dia tahu apa fungsinya. Meskipun nggak selalu, biasanya rewind berpasangan dengan “fast forward”, yang lagi-lagi, orang seumuran saya pasti tahu persis fungsinya meskipun sedikit lebih jarang dipakai daripada rewind.

Rewind dan fast forward, yang belakangan ini sering disingkat “FF” saja, merupakan fungsi untuk memutar mundur atau mempercepat putaran maju dari dari pita musik yang dikemas dalam “casette” alias “kaset”.

Teknologi pita sebagai media penyimpanan data memang jalannya satu arah, nggak bisa loncat-loncat seperti CD apalagi flashdisk. Saat digunakan untuk menyimpan data suara, kaset berisi musik atau lagu, pita di dalam kaset itu akan diputar dan dimainkan secara berurut. Kalau isinya 10 lagu, ya dari lagu pertama sampai lagu ke 10.

Kalau kita nggak suka lagu kedua sehingga setelah selesai lagu pertama kita ingin langsung mendengarkan lagu ketiga saja, kita gunakan fungsi fast forward untuk mempercepat perputaran pitanya. Kalau kita suka banget lagu kedua sehingga setelah lagunya selesai, alih-alih mendengarkan lagu ketiga kita ingin kembali mengulang lagu kedua, kita gunakan fungsi rewind untuk memutar balik pergerakan pitanya.

Belakangan selain digunakan untuk musik dan lagu, pita lebih lebar yang dikemas dalam kaset yang lebih besar juga digunakan untuk menyimpan gambar bergerak alias video, tentu dengan suaranya juga.

Kaset musik dan lagu alias kaset video pitanya diisi dua sisi, karena itu kemudian dikenal istilah “side A” dan “side B”. Setelah lagu-lagu pada side A selesai diputar sampai akhir, kita bisa membalik kaset untuk mendengarkan lagu-lagu lain yang ada pada side B.

Sementara kaset video hanya memiliki satu sisi yang diisi data. Sehingga setelah kita memutar dan menonton film dari awal sampai akhir, untuk menontonnya lagi kita harus memutar mundur sampai habis agar kita, atau orang lain, bisa menonton dari awal lagi.

Seperti halnya mesin pemutar alias player kaset audio, player kaset video juga memiliki tombol rewind. Tapi kebanyakan orang percaya kalau sering menggunakan tombol rewind pada player video akan merusak alat pembaca data yang biasa disebut “head”, yang kalau harus diganti karena rusak, harganya lumayan mahal. Selain itu pada umumnya fungsi rewind pada player video putarannya agak lambat. Karena itu mereka yang memiliki player video biasanya juga memiliki mesin pemutar mundur alias “rewinder”.

Kenapa tidak ada rewinder untuk kaset audio?

Pertanyaan bagus karena sebetulnya player kaset audio itu juga putarannya nggak secepat yang kita mau. Sementara di sisi lain, baik player kaset audio maupun player kaset video sama-sama menggunakan head untuk membaca isi pita sehingga logikanya kalau sering-sering nge-rewind mungkin saja head-nya juga cepat rusak.

Mungkin ada dua alasan. Pertama karena kaset audio punya side-A dan side-B. Setelah kita mendengarkan isi side A dari awal sampai akhir, kita balik kasetnya untuk mendengarkan isi side B dari awal sampai akhir. Setelah itu tinggal balik lagi aja kasetnya untuk kembali mendengarkan isi side A dari awal. Kedua karena head player audio jauh lebih murah dari head player video.

Ada alasan ketiga … kaset audio bisa diputar dengan menggunakan pensil. Colok lubang gigi pemutar gulungan pitanya, lalu putar-putar seperti baling-baling ke arah yang kita inginkan.

Udah cukup panjang ngalor ngidulnya ya?

Next …

Jadi sekitar tahun 2003 saya mulai merintis bisnis. Saat itu di Bali ada banyak agen jual beli properti, entah tanah, rumah, villa, dan sebagainya. Kebanyakan pengguna jasanya bule. Saat itu belum banyak orang kaya Indonesia yang tertarik berinvestasi dalam bentuk properti di Bali. Bule-bule itu datang jauh-jauh dari luar negeri ke Bali, mengunjungi kantor-kantor makelar yang kerennya disebut “real estate agent”, melihat-lihat barang dagangan si makelar dari data dan foto, memilih beberapa yang menarik, kemudian dianter untuk liat barangnya langsung.

Datang ke Bali mengantongi keahlian web design dan SEO, saya melihat ini sebagai peluang. Membuat website yang memuat data properti yang dijual atau disewakan, sehingga bule-bule itu bisa lihat-lihat dan pilih-pilih dari negerinya sana. Datang ke Bali mereka sudah ngantongin daftar produk-produk yang mau mereka lihat langsung.

Artinya saya selangkah di depan.

Dengan memanfaatkan teknologi internet, saya membawa kantor real estate agent saya ke depan hidung si bule, dimanapun mereka berada, alih-alih duduk manis menunggu mereka datang ke Bali dan ngetok pintu kantor.

Saat mereka datang, mereka sudah pegang saya. Saya bahkan nggak perlu kantor. Saya yang jemput mereka dari hotel tempatnya menginap untuk keliling melihat-lihat properti yang sudah mereka pilih dari website.

Lama-lama saya menyadari kalau proses transaksi properti, entah jual atau sewa, prosesnya panjang. Perlu waktu lama dan usaha yang sangat keras untuk mendorong transaksi terjadi. Dari menjemput mereka melihat-lihat, memilih yang paling pas, sampai proses transaksi yang melibatkan aspek legal yang njelimet.

Itupun kalau terjadi.

Lalu saya melihat kalau banyak bule membeli tanah untuk membangun villa yang hanya mereka tempati saat mereka berlibur. Paling banter hanya beberapa minggu saja setiap tahun. Sisanya kosong sementara mereka harus tetap membayar sejumlah pegawai untuk menjaga villanya nggak kotor dan rusak akibat lama tidak ditempati. Belum lagi tagihan listrik, biaya perawatan kolam renang, dan lain-lain.

Karena itu tahun 2006 saya mengubah bisnis saya. Orang-orang sekarang bilangnya “pivot”. Saya tidak lagi menjual tapi menyewakan villa untuk akomodasi wisata jangka pendek. Saat si pemilik tidak menggunakan, villanya disewakan untuk mereka yang berlibur. Harian, mingguan, bisa saja bulanan. Tapi tidak disewakan jangka panjang karena memang sekali-sekali si empunya mau pake.

Istilah bekennya “holiday rental”.

Proses transaksi holiday rental jauh lebih sederhana daripada real estate agent. Mereka yang menyewa villa untuk berlibur tidak perlu melihat dulu villa yang akan disewanya secara langsung. Lihat di website, suka, booking, bayar. Pada saat mereka datang, tinggal dijemput di airport lalu diantarkan ke villa yang mereka sewa.

Dari saat konsumen masuk ke website sampai uangnya masuk ke rekening saya hanya perlu waktu beberapa hari dan saya juga nggak harus buang waktu dan bensin nganter-nganter mereka untuk sekedar melihat-lihat dan belum tentu beli.

Bisnis itu berkembang pesat sampai di sekitar tahun 2010-an portfolio villa yang saya sewakan lebih dari 1000. Cakupannyapun melebar. Bukan hanya di Bali tapi juga di sejumlah kawasan-hawasan wisata populer lain di beberapa negara seperti Phuket dan Koh Samui di Thailand, Langkawi di Malaysia, bahkan Sri Lanka.

Operasi yang cukup besar di Thailand membuat perusahaan saya mempekerjakan sejumlah staff di sana. Tentunya saya juga jadi sering bolak balik kesana. Biasanya setiap tahun saya bisa 3 sampai 4 kali ke Thailand. Untungnya AirAsia membuat perjalanan saya jauh lebih ekonomis.

Sayangnya sejumlah masalah pribadi membuat perusahaan itu terpaksa saya tutup pada pertengahan tahun 2014 dan sejak itu saya tidak pernah benar-benar menyentuh bidang itu lagi.

Tapi tidak berarti saya tidak menaruh perhatian.

Sekarang dengan bendera baru saya memutuskan untuk kembali menggeluti bisnis holiday rental lagi. Tentu dengan banyak modifikasi. Sejumlah perusahaan sejenis yang dulu sempat menjadi pesaing saya rontok dan terpaksa menutup bisnisnya. Jadi kalau saya masih menggunakan pola yang sama, sudah bisa ditebak akhirnya akan seperti apa.

Perubahan peta membuat banyak pemain rontok. Tapi saya justru melihat bahwa perubahan itu juga menghadirkan banyak potensi tersembunyi yang kalau dieksplorasi dengan tepat potensinya tidak kalah besar dari 10 atau 15 tahun lalu. Malah mungkin lebih besar karena setidaknya baik dari sisi supply maupun sisi demand terjadi peningkatan berlipat-lipat.

Sekarang saya sedang mendirikan tiang dan menarik tali untuk segera mengibarkan bendera baru untuk bisnis holiday rental saya. Saya menggunakan nama Royal Sanctuaries. Meskipun saya menyimpan ambisi untuk membangun portfolio multi-destinasi seperti dulu, sementara yang memulai dari villa di Bali.

Jadi saya rewind, memutar ke belakang, menjalankan bidang usaha yang pernah saya lakoni cukup lama. Replay, menjalankan bidang usaha ini dengan cara baru yang sesuai dengan tantangan dan opportunity saat ini, dan tentunya fast forward, karena sekarang semua bergerak lebih cepat.