Mungkin sebetulnya ini hal yang sangat biasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Jaman saya kecil, saya terbiasa melihat petani-petani di kampung menjadi bulan-bulanan para tengkulak. Menjadi penghubung petani sebagai produsen dengan para pembeli, sudah bukan rahasia kalau mereka mendapat untung lebih banyak daripada petani yang punya lahan dan menginvestasikan banyak waktu, tenaga, dan uang untuk memproduksi hasil panen.

Dalam konteks bisnis yang lebih besar, makelar, atau pilihlah istilah internasional yang lebih keren, middleman atau intermediary, hanya bermodal dengkul, menangguk untung besar dengan menghubungkan produsen dan pembeli.

Bicara pembeli, disini posisi pembeli belum tentu konsumen akhir juga lho ya. Bisa jadi pengepul, grosir, atau malah industri yang memberi nilai tambah dengan mengolahnya menjadi produk lain. Rantai distribusi sampai ke konsumen bisa jadi masih sangat panjang.

Ambil saja produk pertanian sebagai contoh, sayur misalnya. Dari petani dibeli tengkulak lalu disalurkan ke pengepul, pengepul mengangkut ke pasar dimana para pedagang pasar mengambil barang secara grosir. Tukang sayur membeli dari pasar dan membawanya keliling kompleks perumahan. Barulah sayurnya sampai di tangan konsumen akhir. Panjang banget kan?

Yang jelas semakin panjang rantainya, semakin banyak yang mengambil keuntungan, tentu semakin mahal juga harga itu barang saat sampai di tanggan konsumen akhir.

Jangan salah. Bukankan pembantu rumah tangga saja kadang nge-markup harga saat disuruh belanja majikannya?

Makelar Digital

Teknologi digital sejatinya membuat jarak antara produsen dan konsumen tidak ada lagi. Konsumen bisa berkomunikasi dan bertransaksi langsung dengan produsen tanpa ada salah satu diantara mereka harus beranjak dari tempatnya.

Produsen tinggal membuat website yang bisa diakses para calon konsumen dari manapun di seluruh penjuru bumi yang sekarang hampir tidak ada lagi blank-spot-nya. Di website itu dia bisa memajang produk-produknya dengan berbagai cara agar konsumen bisa mengambil keputusan tanpa harus melihat langsung. Teks, foto, atau bahkan video. Konsumen bisa menemukan website produsen dengan menggunakan search engine.

Pembayaran bisa dilakukan secara digital. Jangankan pergi ke lokasi si penjual, pembeli bahkan tidak perlu pergi ke bank atau sekedar ATM untuk melakukan pembayaran. Kalau produk yang dibeli merupakan produk fisik, setelah melakukan pembayaran si pmbeli tinggal duduk manis menunggu kurir mengetuk pintu mengantarkan barang yang dibelinya itu.

Sialnya bahkan di dunia digital sekalipun pasar sempurna itu tidak mudah terbentuk. Sehingga akhirnya muncullah makelar-makelar digital yang kebanyakan berbentuk portal belanja online. Di tanah air, telinga kita semakin terbiasa dengan nama-nama besar makelar digital kenamaan seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, BliBli, dan banyak lagi yang lainnya.

By-the-way, kita tidak lagi mengenal mereka dengan istilah makelar tapi marketplace. Mungkin merujuk pada mekanisme dimana pedagang datang ke tempat mereka untuk membuka lapak dan berjualan seperti layaknya pasar tradisional. Mereka tidak memposisikan dirinya sebagai makelar tapi sebagai pasar, tempat produksen berjualan dan konsumen berbelanja.

Jangan salah. Banyak – atau malah kebanyakan – diantara mereka yang berjuan di portal-portal marketplace itupun bukan produsen tapi pedagang. Bahkan orang bisa mengambil barang dari penjual lain di marketplace dan menjualnya di marketplace yang sama. Ajaib kan?

Meskipun seharusnya konsumen bisa bertransaksi langsung dengan produsen secara langsung hanya dengan duduk santai di sofa sambil memandangi layar Ponsel, kenyataanya banyak konsumen lebih memilih berbelanja melalui marketplace.

Alasannya banyak. Salah satu yang paling menjadi ganjalan adalah kepercayaan. Kredibilitas penjual. Pembeli khawatir kalau si penjual main-main. Entah setelah dibayar barangnya nggak dikirim-kirim. Atau dikirim tapi somehow tidak sesuai dengan kesepakatan. Sementara kalau belanja lewat marketplace, uangnya akan ditahan dulu. Marketplace baru akan memindahkan uang yang dibayarkan pembeli ke akun penjual setelah pembeli menerima barangnya dan tidak complain.

Makelar Digital Pariwisata

Di industri pariwisata makelar digital nggak kalah banyak. Istilahnya bukan marketplace tapi OTA yang merupakan singkatan dari Online Travel Agent. Bau-bau makelarnya lebih terasa dari marketpkace.

Para penguasa pasar ada brand-brand luar seperti booking.com, Agoda, dan Expedia sampai pemain-pemain lokal seperti Traveloka atau PegiPegi. Yang lainnya masih bejibun lagi.

Apa yang membuat konsumen lebih memilih bertransaksi lewat OTA alih-alih langsung dengan produsen?

Padahal produsen dalam industri pariwisata secara umum jauh lebih punya kredibilitas dibandingkan sebagian besar mereka yang berjualan melalui marketplace.

Hotel misalnya, yang menjadi mesin uang utama kebanyakan OTA. Sekecil-kecilnya hotel tetap merupakan usaha yang relatif besar. Investasi dari sisi propertinya saja sudah sangat besar. Lokasinya jelas. Alamatnya bisa dengan mudah ditemukan. Kemungkinan mereka “main-main” lebih kecil karena nyarinya gampang banget. Nggak mungkin ngumpet apalagi kabur.

Mereka juga rata-rata punya website yang dilengkapi dengan fasilitas reservasi dan pembayaran yang mumpuni.

Jadi apa yang membuat mereka lebih suka booking lewat OTA?

Apa ya …

Nggak usah dijawab sih.

Lha gimana kita mau mempertanyakan kenapa konsumen lebih suka booking lewat OTA, orang produsennya, hotel-hotelbya, juga pada lebih suka jualan lewat OTA.

Koq Mau Didikte Makelar?

Ibarat menjawab pertanyaan “Apa yang tercipta lebih dulu, telur atau ayam?” kita bisa melihat lingkaran setan sebetulnya siapa yang tergantung dengan makelar, produsen atau konsumen. Yang jelas kenyataannya produsen seperti lebih suka menjual lewat portal, entah itu marketplace atau OTA atau entah apa lagi, konsumen juga seperti lebih suka membeli lewat situ juga.

Lah koq ada lingkaran setan?
Setan dibawa-bawa dosanya apa?
Emangnya setan melingkar?

Ya sudah nggak usah protes, toh ayam juga dibawa-bawa diem aja.

Namanya lingkaran pasti nggak ada pangkal dan ujungnya. Tapi untuk memutus lingkaran itu, sebetulnya produsen harusnya mengambil peranan duluan. Kenapa? Karena dalam hubungan segitiga antara produsen, makelar, dan konsumen, produsenlah yang lebih banyak dirugikan daripada konsumen.

Selintas mungkin produsen seperti yang paling diuntungkan dalam hubungan segi tiga itu. Produsen mendapat traffic penjualan dalam volume yang sangat besar dari makelar, sampai-sampai produsen seolah-olah lupa, tanpa makelarpun konsumen tetap akan membeli produk mereka karena konsumen memang membutuhkannya.

Jadi logika sederhananya, kalau makelar hilang itu mestinya nggak masalah bagi produsen. Kalau konsumen yang hilang baru masalah, meskipun makelar bejibun.

Gak percaya?

Sekarang kita melihat industri pariwisata dalam posisi yang persis seperti itu. Gara-gara pandemi, konsumen hilang. Makelar sih masih bejibun. Produsen dapet apa? Tetep gigit jari.

Ada artikel menarik mengenai keuntungan dan kerugian mempertahankan keberadaan makelar dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Judulnya “The Dawn of the Infomediaries”. Kata “infomediaries” mungkin memang artinya “information intermediaries” jadi tidak secara langsung merujuk pada intermediary perdagangan.

Tapi kenyataanya keputusan berbelanja di dunia maya memang didasari oleh informasi. Kan barangnya memang tidak bisa kita pandang dan sentuh secara langsung.

Artikelnya bisa lihat disini.

Jadi hentikan pasrah dikadalin makelar Bos! Dan kalau mau keluar dari jebakan lingkaran setan itu, sekaranglah waktunya.