Menyusul invasi militer Russia ke Ukraina yang nota bene adalah negara tetangganya yang juga sama-sama pecahan Uni Soviet beberapa hari lalu, muncul desakan dari beberapa kalangan kepada pemerintah untuk turut memberikan tekanan kepada pemerintah Russia agar segera menghentikan agresi dan menarik pasukannya.

Bahkan saat Presiden Jokowi membuat pernyataan yang pada intinya meminta agar perang segera dihentikan, ada sejumlah kalangan menyatakan kekecewaan karena pernyataan itu dianggap kurang tegas, karena tidak secara eksplisit menyebut nama negara Russia.

Ketika belakangan Indonesia turut menjadi negara yang mengesahkan resolusi PBB yang mengecam invasi Russia ke Ukraina, nada sumbang masih banyak terdengar. Para pengkritik seolah-olah tidak puas karena Indonesia hanya sekedar “mengekor” negara-negara barat khususnya Amerika Serikat.

Saya sendiri termasuk orang yang nggak setuju Indonesia mengecam aksi militer Russua atas Ukraina.

Pertama dalam peradaban modern sekarang ini invasi militer untuk mengambil alih kekuasaan seperti pada masa-masa kolonialisme itu sudah kuno. Ketika dua negara berkonflik, tidak mungkin tidak ada penyebabnya. Jangankan ngomongin negara, ketika dua orang berkonflik, ribut, bertengkar, berkelahi, entah adu mulut atau adu jotos, pasti ada penyebabnya.

Bahwa ternyata Russia yang duluan mengirim pasukannya untuk menyerbu Ukraina, ya karena kekuatan militer Russia jauh lebih kuat dari Ukraina. Bak orang adu mulut, biasa saja kalo yang badannya lebih gede nabok duluan. Kalau mau dibilang itu cerminan keangkuhan, kesombongan, ya wajar saja. Yang lebih kuat sombong kan wajar meskipun mungkin tidak bisa dibenarkan. Kalau yang lebih lemah sombong atau malah mukul duluan justru aneh.

Tapi ya jangan salah juga. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat kejadian dimana yang kecil dan lemah itulah yang nyebelin, yang mulutnya besar, sehingga yang badannya dan tadinya diam-diam saja akhirnya kehabisan kesabaran.

Bisa jadi begitu … bisa jadi juga nggak sih.

Hanya saja membela salah satu tanpa tahu persis akar permasalahan yang menimbulkan pertikaian itu ya semrpul juga. Indonesia itu bukan negara yang sok jagoan jadi polisi dunia kayak Amerika Serikat.

Saya berharap pernyataan Presiden Jokowi meminta agar perang dihentikan dan keputusan para diplomat Indonesia untuk turut dalam resolusi PBB yang mengecam invasi Russia ke Ukraina sudah merupakan manuver puncak. Turut mengutuk menurut saya juga bukan hal yang bijak dalam menyikapi konflik kedua negara bertetangga ini. Tapi okelah logikanya mungkin masih bisa saya terima. Marahin yang nabok duluan. Sekarang sudahlah. Cukup sampai disitu saja.

Jangan lupa kalau Russia itu sahabat Indonesia. Bukan hanya sekedar teman atau kenalan. Sahabat.

Russia pernah menunjukkan loyalitasnya sebagai sahabat saat negara tetangga kita Singapura marah karena Indonesia memberikan nama Lukman-Harun pada KRI yang baru masuk ke dalam jajaran armada Angkatan Laut kita. Cukup panas karena di banyak pemberitaan disebutkan kalau meskipun ukurannya sangat kecil, Singapura punya sederet beking yang sangat kuat.

Selain itu meskipun negaranya kecil, jumlah penduduknya sedikit apalagi jumlah tentaranya, militer Singapura didukung peralatan tempur yang sangat canggih. Dari mana lagi kalau bukan belanja dari beking-bekingnya itu.

Pada saat itu Duta Besar Russia untuk Indonesia saat itu dengan lugas menyatakan bahwa Indonesia itu sahabat. Sehingga kalau ketegangan antara Indonesia dan Singapura eskalasinya terus meningkat sehingga menjadi pertempuran terbuka, sebagai sahabat, tanpa dimintapun Russia tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu Indonesia.

“Indonesia adalah sahabat kami yang tingkatnya lebih tinggi dari sekutu”, ucap Dubes Mikhail Yurievich Gazulin seperti dikutip salah satu situs berita tanah air. “Melindungi dan membantu sahabat adalah ideologi kami”, tegasnya.

Saya nggak tau bagaimana orang memandang sebuah persahabatan. Tapi kalau buat saya, menyerang sahabat itu pantang. Kalau sahabat saya digebukin orang, saya nggak akan liat siapa benar siapa salah, saya bela sahabat saya. Kalau saya tidak setuju dengan tindakannya, bisa bisikin di belakang.

Prinsip dasar persahabatan itu saling percaya.

Saya berharap Presiden Jokowi dan diplomat-diplomatnya bersikap sebagai sahabat. Kalau mau memberi masukan, menyarankan untuk memilih meja perundungan misalnya, sampaikanlah dalam diplomasi bilateral saja.

Nggak baik ikut-ikutan orang ngeroyok sahabat.

Malah sebaiknya bekerjasamalah. Nggak usah sih ikut-ikutan bekerjasama dengan mengirim pasukan ikut perang. Tapi setidaknya kan bisa membantu teman menghadapi tekanan ekonomi akibat aneka sanksi yang diterapkan sejumlah negara pada Russia. Nggak rugi koq. Mungkin malah untung. Misalnya, kalau minyak Russia diembargo gak dibeli Amerika dan negara-negara barat, kita kan bisa beli dengan harga lebih oke.