Saya Adi Arifin, seorang “Digital Nomad”.
Saya bekerja sendiri, kapan saja dan dimana saja, tanpa dikekang jarak dan waktu.
Pemimpin tanpa anak buah, eksekutif tanpa karyawan, pengusaha tanpa buruh. Saya seorang CEO, Chef Everything Officer, dari semua aktivitas yang saya jalankan.
Secara resmi saya punya jabatan. Terpaksa. Legalitas membuat beberapa aktivitas bisnis baru bisa efektif dijalankan dalam bentuk badan usaha. Jadilah saya direktur beberapa perusahaan dan komisaris dari beberapa perusahaan lainnya. Tapi semuanya hanya cangkang belaka, nggak ada karyawannya. Hehehe.
Tapi saya juga memiliki sejumlah perusahaan “normal” yang beroperasi dengan kantor, pabrik, dan karyawan. Beberapa diantaranya bahkan karyawannya ribuan, puluhan ribu. Perusahannyapun berganti-ganti. Jual perusahaan ini, beli yang itu, sering kali nggak cuma satu dua dalam sehari. Hanya saja kepemilikannya hanya sebagian kecil saja, sangat kecil. Bebeberapa lot saham dari sekian milyar lembar saham perusahaan yang beredar.
Definisi “Digital Nomad” Menurut Macmillan Dictionary
Dikutip dari: macmillandictionary.com
Someone who uses technology, especially a laptop and wireless network, to work remotely from anywhere in the world. The story also talked about how digital nomads mostly gather in coffee shops and other places where wireless access is available.
Profesi
Sebagai seorang digital nomad, saya memilih profesi yang (1) sesuai dengan latar belakang saya dan (2) memungkinkan saya untuk bekerja dengan model iklan Coca Cola, “kapan saja, dimana saja”.
Apa itu “latar belakang” yang saya maksud disini? Kita bahas kapan-kapan lah ya. Yang jelas itu kombinasi kompleks yang melibatkan banyak aspek. Pendidikan, pengalaman, minat, hobi, sifat, dll.
Saya menghindari suatu yang terlalu jauh penyimpangannya dengan latar belakang saya. Pendidikan dan pengalaman profesional yang terbangun puluhan tahun itu sesuatu yang nggak mungkin saya buang begitu saja lalu memulai tumpukan baru dari nol. Saya juga menghindari sesuatu yang membuat kaki saya terikat. Entah terikat dengan tempat, terikat dengan waktu, atau malah terikat dengan orang.
Digital Marketing
Saya menggeluti dunia digital marketing jauh sebelum ngetren seperti sekarang. Tepatnya dari tahun 1999. Saat itu saya bekerja di sebuah perusahaan rintisan alias startup digital di Frankfurt, Jerman.
Wajar kalau dari sekian banyak kanal digital marketing yang kita kenal sekarang fokus utama saya adalah SEO alias Search Engine Eptimization. Tahun segitu, social media marketing belum ada. Terbayangkanpun tidak. Facebook, Twitter, apalagi Instagram dan Youtube masih jauh dari lahir. Embrio-pun belum. Lha kalau lihat umur, bapaknya Facebook saja saat itu masih remaja.
Jangankan pemasaran melalui portal-portal media sosial. Sudara kandung SEO saja, periklanan berbayar melalui search engine yang dalam versi Google dikenal sebagai Adwords juga belum ada. Jangankan Adwords-nya sih. Google-nya saja masih bayi banget.
Saat itu pasar search engine dikuasai Yahoo, plus pemain-pemain kecil seperti Altavista, juga pemain lokal di beberapa kawasan seperti Tigersuche yang populer di negara-negara berbahasa Jerman.
Memang di kalangan teman-teman dekat, yang namanya Adi Arifin itu hampir identik dengan SEO. Meskipun sebetulnya saya juga menggunakan instrumen-instrumen lain yang lebih kekinian. Bagaimanapun aplikasi instrumen digital marketing tidak bisa terisolasi. Bahkan kalaupun kita fokus dengan SEO, sekarang search engine juga menggunakan “social signal” sebagai salah satu faktor yang menentukan ranking.
Untuk digital marketing dan SEO ini saya lebih cenderung menggunakannya sendiri pada website-website yang saya miliki dan kelola sendiri.
Meskipun saya tidak sama sekali menutup pintu untuk mereka yang memerlukan pengetahuan saja sebagai konsultan SEO atau keahlian saya menangani jasa SEO. Kalau harganya cocok, oke sajalah. Tapi memang yang cocok dengan harga saya nggak banyak karena harga SEO saya memang mahal. Mahal untuk standar internasional. Pake banget untuk standar lokal.
Trading
Kalau banyak orang lebih merasa keren menyebut dirinya investor, saya sebagai rakyat jelata yang nggak pegang duit banyak, tidak berinvestasi. Saya trading. Saya mencari keuntungan dari selisih antara harga saat saya beli dan harga saat saya jual.
Instrumen trading yang saya jalankan diantaranya saham, forex, komoditas, dan yang terbaru trading mata uang crypto.
Salah satu instrumen trading yang saya jalankan adalah saham. Di dalam saham itu ada pembagian keuntungan perusahaan, deviden. Saya tidak pernah memperhitungkan deviden sebagai bagian dari profit. Kalaupun besok akan ada pembagian deviden, selama itung-itungannya masuk untuk lepas sekarang ya saya lepas.
Saya juga nggak bisa mengikatkan dana berlama-lama. Saya perlu perputaran cepat karena dana saya sangat terbatas. Makanya saya main jangka pendek, bahkan sangat pendek. Day trading, scalping, hitungannya seringkali malah nggak sampai sehari, beberapa jam saja.
Istilah plesetannya BPJS, beli pagi jual sore, untungnya buat makan besok.
Kalo nggak untung besok nggak makan dong? Ya nggak jugalah. Untung yang kemarin-kemarinnya kan masih ada sisa kalo buat sekedar melipirin Warteg.