Biar nggak salah faham, pertama perlu dijelaskan dulu bahwa dari sekian banyak hal yang penyebutannya sering disingkat menjadi CD, dari Corps Diplomatic sampai Compact Disc, yang dimaksud dengan CD dalam judul di atas adalah celana dalam. Banyak sebutan lain untuk perangkat lunak yang satu ini, misalnya kolor, sempak, cawet, dll. tapi CD rasanya memang lebih sopan.
Kedua … Maaf nggak ada keduanya. Ada yang pertama tidak berarti harus ada yang kedua dan seterusnya kan? Kalau meminjam kata-kata pemda yang baru-baru ini diributin gara-gara nggak pasang bendera merah putih di alun-alun pas 17an sih nggak wajib. Kecuali memang anda pelaku, peminat, atau mungkin hanya sekedar pengidam poligami.
Awal-awal Covid-19 merebak, ada beberapa produk yang tiba-tiba harganya melambung tinggi karena diborong masyarakat yang panik dilanda ketakutan. Salah satunya adalah masker. Bayangkan saja, sekotak masker berisi 50 biji standar medis berkualitas baik yang biasanya hanya dibandrol di kisaran 50-60 ribu rupiah tiba-tiba melonjak menjadi 500-600 ribu bahkan mencapa sejuta rupiah. Banyak yang kaya mendadak karena memanfaatkan momentum berjudul mencari kesempatan dalam kesempitan ini. Bahkan pernah ada muncul berita heboh dimana seorang gadis bisa membeli sebuah mobil baru hanya dengan sebulan berjualan masker.
Lonjakan harga masker bukan hanya memberatkan masyarakat, tapi juga pemerintah. Rumah sakit dan instalasi medis lainnya kesulitan mendapatkan masker, padahal Covid-19 membuat kebutuhan masker untuk tenaga medis juga meningkat tajam. Pemerintah kemudian menyikapinya dengan menyarankan masyarakat untuk menggunakan masker kain non-medis. Produksi dan penjualan masker non-medis kemudian mendadak ramai. Dari raksasa tekstil dan garmen sampai penjahit rumahan memanfaatkan momentum ini.
Hanya dalam beberapa bulan ketersediaan masker sudah hampir kembali seperti semula. Kita bisa mendapatkan masker, baik masker medis maupun masker kain non-medis dengan mudah dan relatif murah. Dari apotik, gerai-gerai mart-martan, sampai pedagang asong dan pedagang kaki lima menyediakan bakyak pilihan masker.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah masker bermerk GTMan yang saya temukan di salah satu gerai Indomaret. Sudah beberapa kali saya lihat kalau sedang kehabisan stok masker dan mampir ke Indomaret untuk membeli. Pertama cuma lihat selewat, beli yang lain. Kemudian lihat dan baca-baca label, beli yang lain. Kemudian lagi lihat, baca-baca label, lalu diam-diam membuka bugkusnya untuk meraba bahannya. Ternyata bahannya enak banget. Lembut dan sangat terasa kalau bahannya katun. Akhirnya meskipun beli yang lain, nyobain juga beli yang merk GTMan ini sebiji.
Tiap mau ganti masker, selalu pegang-pegang ini si GTMan, tapi akhirnya memakai yang lain. Sampai akhirnya saya benar-benar kehabisan masker baru sementara saya tidak punya pilihan lain selain keluar dari mobil. Apa boleh buat, dipake jugalah si GTMan ini. Nyaman. Selain bahannya enak, ternyata potongannya juga pas banget dengan muka saya. Jelas ini salah satu masker paling nyaman menurut pengalaman saya. Harganya juga murah koq, nggak beda-beda amat dibandingkan masker non-medis yang dijual di pinggir jalan.
Ketemu Indomaret untuk beli masker baru, ternyata eh ternyata saya nggak borong GTMan juga. Beli beberapa yang lain, GTMannya cuman beli satu, dan sampai sekarang belum dipakai itu GTMan yang beli belakangan.
Lalu mengapa saya memilih untuk memakai masker lain padahal jelas-jelas kalah nyaman dibandingkan masker GTMan?
Jawabannya sederhana banget. Pake masker GTMan bikin saya merasa seperti memakai CD di muka.
Sepertinya ini mengkonfirmasi teori yang megajarkan pentingnya brand image. Brand image ini ternyata bukan hanya soal kualitas, tapi bagaimana konsumen mengasosiasikan merk dengan sesuatu. GTMan sudah sangat lama dikenal sebagai merk celana dalam pria. Saat mereka menjual kaus dalam, baik yang berbentuk singlet maupun oblong, rasanya OK-OK aja. Saat GTMan mulai memproduksi kaus kaki, rasanya nggak terlalu masalah juga. Lalu saat memproduksi masker koq tiba-tiba rasanya jadi beda ya? Padahal dari sisi produk, masker tidak keluar jauh sari kompetensi GTMan. Toh Sritex yang memproduksi tekstil juga memproduksi masker.
Sepertinya yang menjadi masalah adalah fungsi masing-masing produk tersebut. Meskipun bahan dan proses produksinya tidak jauh berbeda, tapi celana dalam yang dipakai untuk membugkus bagian yang berkesan kotor terasa seperti bumi dan langit dengan masker yang dipakai untuk menutup wajah, dalam hal ini hidung dan muka.
Mungkin analoginya begini. Kita bisa sante saja makan dan minum dari gelas dan piring plastik. Lalu bagaimana kalau ada orang menyuguhi kita makanan tapi alih-alih menggunakan piring, makanannya disajikan di tempat makan kucing atau anjing? Sama-sama plastik lho. Bahkan sering kali harga tempat makan anjing dan kucing yang banyak dijual di pet shop harganya jauh lebih mahal daripada piring plastik yang biasa kita pakai makan.