Meskipun 75 tahun merupakan angka istimewa, pandemi yang melanda dunia termasuk Indonesia membuat perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 tahun ini terasa kurang semarak. Tapi hampir semua anak bangsa yang tetap memperingati dengan caranya masing-masing. Dari Presiden Jokowi yang memimpin upacara dengan pakaian adat salah satu suku di NTT, sampai tukang es yang membuat heboh dunia maya karena turut berdiri dengan sikap sempurna menghormati Sang Merah Putih.
Tapi sekelompok orang malah mengambil momentum perayaan dalam keprihatinan ini untuk melakukan gerakan politik yang berseberangan dengan pemerintah Pimpinan Presiden Jokowi yang sedang bertugas setelah beliau terpilih kembali untuk periode kepemimpinan keduanya. 18 Agustus lalu mereka mendeklarasikan sesuatu yang mereka namakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia yang mereka singkat menjadi KAMI.
Bentuknya apa? Sebuah organisasi kah? Cikal bakal parpol kah? Entahlah. Hanya mereka sendiri yang tahu.
Seperti yang tersirat dari namanya, mereka mengklaim kalau tujuannya adalah “menyelamatkan Indonesia”. Menyelamatkan dari apa juga mereka sendiri yang tahu. Karena banyak juga suara yang bisa kita pantau melalui portal-portal media sosial yang berpendapat justru Indonesia ini harus diselamatkan dari orang-orang seperti mereka-mereka itu.
Kalau memperhatikan pernyataan dari tokoh-tokoh yang turut hadir dalam deklarasi itu, yang banyak dilansir media, sederhananya sih menyelamatkan Indonesia dari Jokowi. Presiden yang belum genap setahun terpilih kembali untuk kepemimpinan periode kedua.
Sangat jelas kalau targetnya mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi.
Ada sejumlah tokoh dengan berbagai latar belakang yang menjadi deklarator. Tokoh cendekiawan mulsim Din Samsudin, politisi senior Amien Rais, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Mantan Anggota DPR Ahmad Yani, Ketua FPI Sobri Lubis, mantan dosen Rocky Gerung, mantan mentri SBY Meuthia, mantan Sesmen BUMN Said Didu, dan sejumlah tokoh lain.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa banyak diantara sosok-sosok itu menyandang ‘titel’ mantan. Sisi lainnya, meskipun mereka memiliki beragam latar belakang, jika dilihat benang merahnya rata-rata mereka berada di gerbong pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto – Sandiaga Uno pada pilpres lalu.
Padahal baik Pak Prabowo maupun Bang Sandi nampak sangat legowo menerima kekalahan mereka pada Pilpres lalu. Pak Prabowo bahkan mendukung Presiden Jokowi dengan kesediaannya memangku jabatan Mentri Pertahanan. Dalam jabatannya sebagai Mentri Pertahanan, sebagai pembantu Presiden Jokowi, Pak Prabowo nampak sangat berkomitmen dan loyal. Dalam sejumlah survey bahkan disebut Pak Prabowo dinilai merupakan salah satu mentri terbaik kabinet saat ini. Meskipun tidak memegang jabatan resmi di pemerintahan, Bang Sandi juga sering nampak memberi masukan pada Mentri BUMN Erick Thohir yang merupakan sahabat karibnya.
Lalu mengapa sosok-sosok yang tadinya mendukung Pak Prabowo sekarang justru bergerak ke arah yang berlawanan? Apakah dukungan mereka pada Pak Prabowo pada Pilpres lalu semata-mata hanya berdasahkan kepentingan mereka sendiri untuk berseberangan dengan Presiden Jokowi? Sehingga saat Pak Prabowo bergabung dengan Presiden Jokowi untuk melanjutkan pembangunan Indonesia mereka kemudian menjadikan Pak Prabowo sosok yang berseberangan pula?
Lucunya banyak – untuk memperhalus kata semua – pernyataan mereka yang jelas absurd. Satu contoh sederhaba saja. Salah satu butir dali 8 tuntutan yang mereka tujukan pada pemerintah adalah keseriusan menghadapi Covid-19. Bunyi persisnya “Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.”
Nyatanya banyak pelanggaran protokol kesehatan yang dilanggar dalam acara yang mereka gelar. Bisa dilihat dari bayak video terkait acara ini yang beredar di dunia maya.
Tidak kurang dari Juru Bicara Satgas Covid-19 tingkat nasional turut menyorot kejadian ini. “Yang terkini pada hari ini ada aksi masyarakat dari deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi di Jakarta dan ini juga terlihat kerumunan massa yang cukup besar dan sangat berdekatan, sebagian ada yang menggunakan masker, dan cukup banyak yang tidak menggunakan masker atau maskernya digunakan dan diturunkan di dagu,” kata Jubur Satgas Covid-19, Prof. Wiku Adisasmit dalam konferensi pers yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Lalu mengapa penyelenggara dan perangkat daerah yang memberi ijin penyelenggaraan malah tutup mata? Hanya mereka sendiri yang tahu. Tapi inkonsistensi Pemda DKI yang masih melarang kegiatan yang mengumpulkan masa tapi memberikan ijin untuk penyelenggaraan deklarasi KAMI memang janggal. Wajar kalau memicu kecurigaan.
Dalam kondisi serba sulit seperti sekarang, semestinya semua elemen bangsa bahu-membahu bekerja keras bersama-sama. Segala perbedaan dikesampingkan dulu. Kalau dalam kondisi seperti ini justru sibuk mempertentangkan perbedaan, jelas mereka memang punya agenda yang berbeda. Mereka justru memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang terpuruk, pemerintah yang fokusnya sedang sepenuhnya mengarah pada mengatasi masalah yang dihadapi, untuk mangambil keuntungan bagi kepentingan mereka sendiri.
Sebetulnya kecenderungan itu meskipun mungkin tanpa mereka sadari tercermin dari nama yang mereka pilih, KAMI. Dalam Bahasa Indonesia, kata “kami” merujuk pada kelompok mereka sendiri, diluar itu tidak termasuk dalam tujuan mereka. Bisa dicek di kamus Bahasa Indonesia, dalam “kami” tidak ada “kamu”. Kata yang pengertiannya merangkul semua itu ” kita”. Di dalam “kita” itu ada “kami” dan “kamu”, bersama-sama.