Proses hukum super ekspress terhadap musisi asal Pulau Dewata I Gede Ary Astina alias Jerinx sudah sampai pada titik akhir di tingkat peradilan pertama. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis berupa 14 bulan kurungab penjara untuk Jerinx yang dinyatakan bersalah melontarkan ujaran kebencian.
Saya menganggap putusan pengadilan ini sebagai ketidakadilan, dihubungkan dihubungkan dengan IDI sebagai pelapor, apalagi dibandingkan dengan kasus-kasus sejenis yang sering dilakukan kelompok tertentu.
Seperti pernah saya sebut dalam salah satu post di blog ini juga, saya tidak sepenuhnya sependapat dengan apa yang dikemukakan Jerinx mengenai pandemi Covid-19. Tapi saya juga tidak melihat tindakan IDI yang memperkarakan Jerinx sebagai sesuatu yang pantas dilakukan, meskipun secara hukum mereka berhak melakukannya. Belum lagi pendapat sebagian masyarakat yang meyakini kalau pelaporan dan pemrosesan kasus ini merupakan “pesanan” pejabat tertentu, yang meskipun belum terkonfirmasi tapi argumennya cukup logis.
Saya lebih melihat apa yang dilakukan Jerinx sebagai ekspresi rasa “jengah” atas cara petugas medis menangani pasien.
Yang disoroti Jerinx saat melontarkan ujaran “IDI kacung WHO” itu adalah kasus ibu hamil yang menjadi korban akibat lembatnya penanganan medis. Kelambatan itu konon disebabkan karena sebelum melakukan penanganan, mereka harus mendapat kepastian kalau si pasien bebas dari Covid-19. Pengujian yang memakan waktu cukup lama sampai hasilnya keluar itulah yang membuat si pasien “dianggurin” terlalu lama sehingga kondisinya menurun dan akhirnya tidak tertolong.
“IDI kacung WHO”-nya sengaja saya beri tanda kutip karena kalimatnya tidak persis demikian. Saya hanya meringkas untuk membuatnya lebih mudah disebut tanpa menghilangkan esensinya.
Meskipun tidak membuat saya marah dan mengekspresikan kemarahan saya dengan memaki, logika saya dengan Jerinx kurang lebih sama.
Buat Apa Pake APD?
Awal-awal pandemi Covid-19 merebak dimana peralatan pelindung medis khususnya masker dan APD mendadak menjadi barang yang sangat langka, kita banyak disuguhi beratnya “penderitaan” para petugas medis yang harus bekerja seharian tanpa boleh melepas APD sehingga harus bekerja sambil menahan haus, lapar, bahkan desakan hajat buang air, baik yang kecil apalagi yang besar. Memang beberapa kali saya ke rumah sakit, nampak bahwa meskipun saat menghadapi pasien non-Covid, semua petugas medis menggunakan APD lengkap.
Pertanyaannya kalau ada pasien yang memerlukan penanganan medis segera, misalnya ibu hamil yang akan melahirkan, harus terkonfirmasi negatif Covid-19 dengan menunggu hasil tes, apa gunanya ribet-ribet pake APD? Bukankah pakai APD itu untuk melindungi diri kalau-kalau pasien yang ditangani ternyata positif Covid-19?
Kalau kondisi pasiennya memang memungkinkan untuk menunggu, ya mungkin menunggu hasil pengujian dulu baru ditangani, boleh-boleh saja. Tapi kalau sampai kemudian meninggal, artinya kan pasien memang perlu ditangani segera.
Perkara setelah disegerakan tetap meninggal, ya bolehlah kita berserah pada takdir Ilahi. Tapi kerelaan terhadap takdir Ilahi tidak membuat kita boleh melambatkan yang harus disegerakan.
Petugas Medis Wajib Sabar
IDI sebagai organisasi yang menaungi para petugas medis, khususnya dokter, merasa terpanggil untuk “membela” anggotanya dari ujaran kebencian?
Selain pengetahuannya, hal yang sangat esensial dimiliki petugas medis itu kesabaran. Dan yang saya lihat selama ini sih para petugas media di tanah air cenderung punya kelapangan hati dan keluasan sabar yang luar biasa.
Sering kali kesedihan luar biasa akibat kematian orang dekat membuat logika orang nggak main dan emosi mengambil alih kendali, lalu orang marah, mencak-mencak, memaki, para petugas medis yang gagal membantu menyelamatkan pasiennya. Biasanya kalau berhadapan dengan kasus seperti itu para petugas medis justru cenderung berempati dan berusaha menenangkan dengan lembut.
Ada berapa banyak kasus keluarga pasien memaki-maki dokter yang dianggap gagal menyelamatkan nyawa si pasien yang kemudian balik marah, balik memaki, bahkan melaporkannya ke polisi?
Biasanya dengan empati dan kesabaran, saat mereka gagal menyelamatkan pasiennya, mereka berusaha “menyelamatkan” keluarga pasien dari goncangan emosi.
Jerinx kan bukan keluarga pasien!
Benar. Tapi Jerinx adalah sosok yang punya empati sangat tinggi. Dia merasakan penderitaan si pasien dan duka keluarga yang ditinggalkan meskipun, jangankan berkwrabat, kenalpun mungkin tidak. Lha dia saat pandemi Covid-19 merebak tiap hari bagi-bagi nasi bungkua untuk mereka yang membutuhkan. Emang mereka yang menerima makanan yang dia berikan itu kerabatnya? Kenalpun mungkin tidak.
Sangat mudah difahami kalau dia meledakkan kejengahannya dengan ungkapan yang bagi sebagian orang mungkin terdengar kasar. Mudah difahami oleh orang yang punya empati sih. Kalau ada orang-orang yang gagal paham, buat saya sih artinya orang-orang itu nggak punya empati.
IDI “Kacung” WHO Apa Salahnya?
WHO itu lembaga internasional yang merupakan “kepanjangan tangan” PBB dalam bidang kesehatan. Pastinya WHO memiliki, atau setidaknya memiliki akses pada, pakar-pakar terbaik dari seluruh dunia. Jadi memang sudah sepantasnya negara manapun di dunia ini untuk menjadikan WHO sebagai rujukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan, termasuk pandemi Covid-19. Tidak terkecuali Indonesia. Kalau Indonesia sebagai negara menjadikan WHO sebagai rujukan, tentu IDI sebagai bagian integral dari tatanan penyelenggaraan layanan kesehatan di tanah air juga begitu.
Memang menjadikan lembaga internasional yang kredibel sebagai rujukan bukan hal yang salah. Malah sebaliknya, memang seharusnya begitu. Tapi penerapannya tentu tidak bisa membabi-buta.
Sepertinya Jerinx memiliki pikiran sama seperti saya. Apa yang menimpa ibu hamil yang akhirnya meninggal karena penanganan yang lambat akibat “didiamkan” menunggu hasil tes Covid-19 merupakan akibat dari penerapan saran WHO yang membabi-buta itu. Kenapa? Ya itu tadi. Kondisinya darurat, si pasien perlu penanganan medis segera, sementara di sisi lain para petugas medis sudah diamankan dari kemungkian terinveksi dengan menggunakan APD lengkap. Koq ya “didiamkan” sekian lama menunggu hasil test Covid-19.
Mungkin memang kedengarannya kasar, “ngata-ngatain” IDI sebagai kacung, entah kacung WHO atau kacung siapapun, memang kasar. Sementara para anggota IDI itu dokter, artinya tingkat pendidikannya tinggi. Fakultas Kedokteran di universitas manapun di tanah air merupakan jurusan elite yang setiap tahun jumlah peminatnya jauh lebih besar dari jumlah kursi yang tersedia. Bisa tembus masuk Fakultas Kedokteran menandakan mereka punya tingkat kecerdasan yang jauh di atas rata-rata.
Tapi menerapkan sesuatu secara membabi-buta itu memang bukan tindakan yang mencerminkan intelektualitas.
Saya lebih melihat ucapan Jerinx sebagai kritik keras alih-alih hinaan.
Apa iya para anggota IDI se-“baperan” itu?
Penistaan Kacung
Saya koq jadi teringat bagaimana publik bereaksi terhadap ucapan Imam Besar FPI, Habib Riziek Shihab, yang menuai polemik panjang. “Pangkat jendral otak hansip …” teriaknya dalam salah satu pidatonya. Katakan saja pidato ya. Soalnya bingung juga kata yang tepat untuk menyebutkan momen itu. Tauziyah? Ceramah? Tabligh? Atau malah orasi?
Reaksi dari mereka yang melawan ucapan Habib Riziek adalah tuduhan “menghina Hansip”. Kalimat Habib Riziek itu dikatakan sebagai manifestasi dari pandangan meremehkan, penghinaan, terhadap profesi Hansip.
Kalau IDI marah, merasa terhina disebut kacung, apa nggak boleh diartikan sebagai penghinaan terhadap profesi kacung?
Saya menangis untuk Jerinx dan Nora. Saya menangis untuk “pemberangusan” kebebasan berpendapat di negeri ini. Saya menangis untuk pudarnya empati dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tanah air tercinta ini. Saya menangis untuk matinya keadilan, yang memilih untuk menghukum mereka yang berteriak keras mengkritik sesuatu yang dinilai salah.