Label arogan alias sombong atau angkuh terhadap para pengendara motor besar sudah nempel dari sejak saya inget. Perilakunya di jalan raya yang cenderung merebut hak-hak pengendara lain itulah parameter yang paling membuat saya jengah. Tapi saking lekatnya label itu, saya sudah merasa itu sesuatu yang biasa. Kalo nggak begitu malah aneh.

Yang kembali mengusik perhatian saya adalah kasus dimana anggota TNI berpakaian preman dikeroyok beberapa pengendara moge.

Konon para pengendara moge yang terlibat dalam kasus ini merupakan bagian dari konvoy puluhan moge yang – entah karena apa – tertinggal. Bagian besar rombongan dipimpin seorang pensiunan jendral bintang tiga itu sudah melaju lebih dahulu dengan kawalan polisi. Mungkin itu yang membuat mereka berusaha melaju lebih cepat tanpa pengawalan.

Anggota TNI berpakaian preman ini nggak naik moge, naik motor biasa. Karena merasa haknya di jalan raya direbut, mereka menghentikan dan menegur para pengendara moge ini. Alih-alih menyadari kesalahannya dan meminta maaf, para pengendara moge yang menang banyak ini malah naik darah dan mengeroyok anggota kedua anggota TNI yang menegurnya itu.

Urusan jadi panjang karena yang tidak terima bukan hanya dua anggota TNI yang menjadi korban tetapi juga kesatuannya.

Cerita Lama

Kesombongan pengendara moge ini kalau buat saya sih cerita lama. Sejak saya inget label arogan itu sudah melekat dengan mereka. Dengan umur saya yang sudah setengah abad ini, itu artinya sudah sejak puluhan tahun lalu.

Perilaku ini semakin nampak saat mereka sedang berkonvoy dalam rombongan. Sudahlah jalanan seperti milik mereka sendiri. “Lu minggir gue mau lewat!”, begitulah kita-kita kalau saya mencoba berandai-andai dengan apa yang ada di pikiran mereka. Sementara otoritas seolah-olah memanjakan kesombongan mereka dengan alih-alih menegur dan membela hak pengendara lain, malah mengawal mereka. Lengkap sudah penderitaan pengguna jalan lain yang hanya bisa gigit jari, ngelus dada, nelen ludah terpaksa minggir.

Sejarah dunia juga mencatat kecenderungan yang sama, melegenda, bahkan sering menjadi bagian dari film-film Hollywood. Para pengendara moge yang umumnya bermerk Harley-Davidson itu bergerombol dalam berbagai kelompok dan cenderung berbuat onar, merebut hak-hak orang lain dengan kekerasan.

Di Indonesia nggak sampai seperti itu. Disini para pengendara moge menjadi kelompok elit, bukan berandalan jalanan.

Rakyat Jelata Mengalah

Umumnya saat berhadapan atau hendak didahului rombongan mengendara moge, rakyat jelata memang cenderung mengalah. Minggir.

Saya kira faktor utamanya males ribut. Umumnya masyarakat kita terutama yang hidup di lapiaan bawah memang toleran dan cenderung mengalah. Lebih baik mengalah daripada ribut. Malu ribut-ribut. Faktor kedua para moge identik dengan kekayaan dan masyarakat kita tumbuh dengan doktrinasi superioritas orang kaya. Faktor ketiga mereka biasanya dikawal polisi. Jadi kalopun nggak takut sama penunggang mogenya orang takut sama polisinya. Keempat kawalan polisi meningkatkan derajat para pengendara moge ini dari rakyat biasa menjadi VVIP yang memiliki privilege untuk mendapat prioritas.

Karena itu jarang terjadi ribut-ribut antara para pengendara moge dengan pengguna jalan lain meskipun mereka merasa terganggu karena hak-haknya direbut, karena otoritas, polisi, memaksa mereka untuk menyerahkan haknya yang diinginkan para pengendara moge itu.

Tahun 2015 sempar viral dimana seorang pengendara sepeda – sepeda onthel tanpa mesin – menyetop para pengendara moge karena dinilai arogan, mengganggu pengguna jalan lain, bahkan bangak melanggar aturan berlalu-lintas. “Beberapa dari pengendara Harley (Davidson) melanggar lalu lintas,” ungkap Andika si pesepeda pada wartawan. “Polisi diam saja, malah terkesan melindungi. Di perempatan Monjali (Museum Jogja Kembali) sudah ramai, dan kita sepakat melakukan aksi ini,” tambahnya.

Tapi hanya sampai adu mulut saja, nggak berbuntut panjang. Dan perilaku mereka secara umum rasanya nggak berubah setelah itu.

Harap Maklum

Tapi meskipun di satu sisi kadang jengkel, saya juga memaklumi lah. Moge itu menggendong mesin bertenaga besar. Bayangkan saja, mesin moge ada yang mencapai 2000cc, dipakai untuk mengangkut beban 1-2 orang saja. Sementara mobil-mobil penumpang seperti Sigra, Calya, Avanza, Xenia, dengan mesin 1000-1300cc saja dibuat untuk mengangkut 7-8 orang plus barang.

Dengan tenaga sebesar itu, jelas bobotnya juga sangat berat. Kalau mobil, meskipun berat dia ditopang dengan 4 ban. Sementara motor hanya punya 2 ban, sisa bebannya ditahan kaki si pengendara. Dalam kondisi berjalan cepat, beban itu memang tidak terasa. Tapi kalau harus sebentar-sebentar berhenti karena mengikuti ritme lalu lintas kita, berat lah.

Jadi wajar lah kalau mereka cenderung “ingin cepat”. Karena kalau tidak cepat bebannya berat. Untuk itulah mereka meminta bantuan polisi mengawal. Supaya bisa “meminta” prioritas tanpa menimbulkan “gesekan”.

Sementara itu dari sisi psikologis penunggang moge itu juga rata-rata mereka yang punya privilege khusus yang dalam banyak hal membuat mereka diprioritaskan.

Moge bukan barang murah. Harganya ratusan juta bahkan ada yang nembus angka milyar. Meskipun hanya beroda dua, harganya jauh di atas model-model kendaraan roda empat yang biasa dimiliki orang kebanyakan. Kalau untuk motor yang semahal apapun tetep aja panas gosong ujan kuyup, mobil yang digunakannya untuk aktivitas sehari-hari pastinya lebih mahal lagi. Para penunggang moge pasti punya uang banyak alias kaya raya.

Kalau dia pengusaha, perusahaannya nggak mungkin kecil-kecilan. Kalau dia eksekutif pasti di perusahaan besar. Kalau dia pejabat, jabatannya pastilah cukup tinggi.

Moge <> Kesombongan

Moge itu jenis kendaraan, sementara kesombongan adalah perilaku manusia. Tidak bisa kita identikkan begitu saja.

Sekarang kelompok bermotor di Indonesia yang sok jagoan bergaya seperti Hell Angels, gerombolan pembuat onar bermotor Harley-Davidson di Amerika sana, ada yang pake moge? Nggak kan. Geng-geng motor yang banyak terkait dengan aneka kejahatan jalanan itu rata-rata pake motor kecil. Begitu juga maniak motor yang suka trek-trekan di jalan umum.

Pada kenyataanya banyak konvoy motor yang biasanya digawangi klub pada akhirnya memang merebut hak-hak pemakai jalan lain. Bukan hanya soal kesombongan, namanya pergi berombongan yang mereka nggak akan mau terpisah, maunya iring-iringan terus sampai tujuan. Kasus sederhana saja. Bagaimana kalau mereka berhadapan dengan lampu lalu lintas, saat lampu hijau menyala baru sebagian yang lewat tiba-tiba lampu berubah merah. Mungkinkan sisanya mau menunggu? Paling banter ya merangsek lewat semua. Hak pengguna jalan dari arah berpotongan jelas mereka rampas.

Baru sore ini tersiar berita belasan pemuda yang tergabung dalam sebuah klub motor diamankan petugas karena konvoy dengan motor berknalpot brong. Moge? Pastinya bukan. Motor-motor kecil, sudah pada uzur pula. Tapi mereka merampas hak orang lain. Hak untuk tenang, tidak diganggu kebisingan yang sengaja mereka bikin.

Saya pikir kesombongan itu sifat yang melekat pada sebagian manusia yang bisa disimpan bisa juga dipamerkan. Mereka yang punya sifat sombong ini biasanya lebih berani memamerkan kesombongannya saat mereka rame-rame. Kenapa? Karena mereka yang dirampas haknya akan cenderung lebih malas ribut berhadapan dengan sekelompok orang beramai-ramai.

Balik ke kasus pengeroyokan anggota TNI oleh sekelompok pengendara moge. Mereka berani semena-mena, sudah merampas hak pengguna jalan lain, saat diingatkan malah marah dan mengeroyok korban.

Karena mereka mengendarai moge? Bukan. Karena mereka sombong dan rame-rame. Jadi kalau orang lain punya slogan “berani karena benar”, kalau mereka ini slogannya “berani karena rame-rame”.

Percayalah orang-orang dengan mentalitas seperti itu, kalaupun mereka naik motor kecil, gaya belagubya akan tetap sama.