Saya nggak tahu sebeken apa kelompok musik Superman is Dead alias SID di luar sana. Tapi di Bali, saya kira sulit mencari orang Bali yang nggak kenal SID. Tak terkecuali saya yang meskipun bukan orang Bali asli tapi sudah puluhan tahun tinggal di “Pulau Seribu Pura” ini.
SID bukan hanya manggung di Bali. Kota-kota besar tanah air, bahkan kota-kota besar di luar negeri pun sudah mereka jejaki. Luar negerinya pun bukan hanya sekedar tetangga sebelah. Hanya saja karakter musik yang mereka usung memang bukan sesuatu yang mudah dicerna semua orang. Mereka yang punya telinga universal mungkin masih bisa menerima musik SID. Tapi bagi yang fanatik dengan genre berbeda, ya sebut sajalah dangdut Pantura misalnya, apalah artinya SID. Bukan soal keren apa ndeso apalagi baik atau buruk, ya beda selera aja.
Salah satu hal yang membuat SID ini unik adalah sosok-sosok punggawanya. Kalau pada kebanyakan group musik si vokalis menjadi sosok yang paling beken, punggawa SID yang paling dikenal publik justru yang duduk paling belakang, sang drummer, I Gede Ari Astina, yang lebih dikenal publik dengan nama Jerinx, yang kemudian sering disingkat menjadi Jrx saja.
Jadi inget jaman SMA. Yang terkenal itu bukan para penurut yang duduk di baris depan atau para pencari keselamatan yang memilih duduk di tengah, tapi para “vokalis” yang berani bersuara lantang walaupun harus menjadi langganan ruang BP. Hahaha. Atau mungkin mirip sosok pembalap urakan Valentino Rossi di masa kejayaannya. Hampir selalu start dari baris belakang, tapi menyeruak untuk berdiri si atas podium saat balapan berakhir.
Musikalitas Jrx juga tercermin dari sisi lain kehidupannya. Kecintaannya pada Bali dan tradisi serta penduduknya, juga pada kemanusiaan pada umumnya, disuarakannya dengan lantang. Ewuh pakewuh, sopan santun, tata krama, bukanlah sesuatu yang dia jadikan hambatan untuk menyuarakan pikirannya. Karakter Jrx nampak jelas saat dia bersama sejumlah pemuda lain menjadi sosok-sosok sentral dalam kampanye masyarakat menentang rencana reklamasi Teluk Benoa oleh pemodal swasta yang pada masa pemerintahan Presiden SBY dan Gubernur Mangku Pastika berkuasa nampak mendapat lampu hijau.
Menyikapi pandemi Covid-19 dimana masyarakat Bali yang hampir seluruh kehidupan ekonominya berdiri di atas industri pariwisata terpukul sangat telak, Jrx tampil dengan gaya khasnya. Apapun yang bisa dilakukan dia lakukan, rutin bagi-bagi nasi bungkus misalnya. Padahal sebagai musisi dengan idealisme seperti Jrx, jelaslah dia bukan artis bergaya sultan dengan harta berlimpah yang sering kita lihat di Yutub. Apapun yang dinilainya tidak tepat disuarakan dengan sangat lantang. Baru-baru ini organisasi besar yang sepertinya merasa gerah dengan suara Jrx mengambil langkah hukum melawan sang musisi. IDI yang merupakan organisasi profesi yang menaungi para dokter di tanah air ini merasa kalau ungkapan yang disuarakan Jrx melalui akun sosial media miliknya sebagai hinaan alih-alih kritikan.
Meskipun menikmati musiknya, rasanya saya bukan penggemar SID, bukan juga pengagum Jrx. Jujur saya tidak menyukai musik SIS lebih dari beberapa kelompok musik cadas yang saya gandrungi. Sebut saja Black Sabbath, Megadeath, atau yang lebih mellow seperti Aerosmith dan Guns n Roses. Tidak dalam semua hal yang dia ungkapkan atau tunjukkan di ruang publik saya sependapat. Banyak yang saya sepakat, ada juga yang tidak. Menyangkut Covid-19 ini juga begitu. Misalnya saat dia ambil bagian dalam demo anti rapid test yang digelar di kawasan Renon beberapa waktu berselang. Saya sepakat kalau rapid test tidak seharusnya dijadikan syarat administrasi bagi masyarakat dalam melakukan aktivitasnya, termasuk melakukan perjalanan antar daerah, apalagi ibu yang mau melahirkan untuk mendapat pelayanan medis. Tapi saya tidak sepakat melihat banyak orang berkumpul dalam jarak dekat, banyak diantaranya tidak mengenakan masker pula, termasuk Jrx.
Saya turut menyayangkan munculnya rapid test sebagai syarat ibu hamil dapat dilayani persalinannya di fasilitas medis resmi, entah itu rumah sakit atau sekedar Puskesmas sekalipun. Buat saya ini tidak masuk akal. Bisa jadi akal saya yang salah, entahlah, yang jelas nggak masuk aja. Apa kalau hasil rapid test-nya reaktif terus si ibu tidak boleh melahirkan? Atau harus menunggu sampai kemudian hasil swab test-nya keluar? Lalu kalau swab test-nya positif apa iya melahirkannya bisa ditunda sampai sembuh?
Banyak netizen berargumen kalau rapid test-nya reaktif, si ibu tetap dilayani persalinannya tapi dengan perlakuan khusus. Ruang tersendiri, diisolasi, pake APD dll. Tapi dalam pikiran saya ini tidak akan membantu, mengingat akurasi rapid test juga tidaklah tinggi. Bisa jadi saat rapid test virus sudah menempel di tubuhnya tapi belum menimbulkan inveksi sehingga rapid test-nya non-reaktif. Bisa jadi antara waktu rapid test dilakukan sampai kemudian dia masuk ruang bersalin dia terinfeksi. Apagi rapid test itu juga tidak gratis. Mahal pula. Padahal kemampuan ekonomi kebanyakan orang sedang sangat terpuruk. Bukankah sebaiknya yang namanya instalasi medis menerapkan pengamanan maksimal? Perlakukan semua seolah-olah mereka positif Covid-19. Tenaga medis yang menangani memakai APD. Pasien ditempatkan di ruang tersendiri meakipun tidak harus berkategori ruang isolasi. Semua ruang dan peralatan terus disterilisasi. Dan aneka langkah-langkah lain yang mereka tentunya jauh lebih tahu.
Ini jugalah persoalan yang disuarakan Jrx dan menjadi penyebab IDI melaporkannya ke polisi. Lalu tepatkah melaporkan Jrx ke polisi untuk kasus ini? Tepatkah polisi kemudian menjebloskannya ke dalam tahanan?
Saya termasuk ke dalam golongan orang yang menganggap kata-kata yang dipilih Jrx kasar, tidak sopan, provokatif, entah apa lagi lah. Wajar kalau membuat orang yang dituju jadi tersinggung atau bahkan merasa terhina. Tapi saya juga faham kalau sering kali sesuatu yang diungkapkan secara halus, sopan, deskriptif, malah dianggap angin lalu. Jadi kalau Jrx memilih jalan seperti yang dia pilih, saya kira wajar-wajar saja. Tapi walau saya menilai wajar mereka yang dituju kemudian tersinggung, saya fikir reaksi mereka dengan membawanya ke ranah hukum itu berlebihan. Kalaupun mereka menganggap substansi dari apa yang diungkapkan Jrx itu secara medis salah, lebih baik mereka mengabaikan saja kata-kata kasarnya. Lebih baik mereka menggunakan waktu dan energi mereka untuk membantu masyarakat selamat melewati pandemi.
Lalu bagaimana dengan polisi? Bukankah ditahan atau tidaknya seorang tersangka itu wewenang prerogatif penyidik dengan memperhatikan, salah satunya, kemungkinan dia melarikan diri. Saya kira kita semua kenal lah karakter Jrx. kabur emang ada dalam kamusnya? Beda kelas dia sama orang yang dipanggil polisi malah kabur ke luar negeri dengan aneka alasan. Jrx dipanggil juga muncul sendiri gak perlu dikejar-kejar. Nggak pula pake acara beramai-ramai dikawal masa meskipun pendukungnya jelas tidak sedikit.
Menghilangkan barang bukti juga gak mungkin lah.Kalau postingannya dihapus sekalipun, sudah banyak yang lihat, banyak yang screenshot. Apa lagi yang bisa dihilangkan.
Semoga fihak kepolisian juga melihat sisi lain, soal apa yang diperjuangkan Jrx dengan pernyataan yang disuarakannya itu. Kalaupun mungkin memang cara dia menyampaikannya salah, membuat orang merasa terhina, lalu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, tidakkah bisa dilihat kalau pelanggaran hukum yang dilakukan Jrx juga sangat berbeda dari pelaku tindak kriminal? Apa iya perlakuannya harus disamakan dengan maling? Entah yang sekedar nyolong sendal atau korupsi trilyunan?