Sebagai praktisi digital marketing saya tidak termasuk golongan penggemar “is dead” saat bicara teknik atau strategi. Apa-apa dibilang “is dead”. Liat mereka yang berkutat dengan SEO diteriakin “SEO is dead!” Sama-sama pemain SEO liat mereka sibuk link building bilangnya “Backlink udah nggak ngaruh.” Ada yang membuat konten dengan memeprhatikan keyword, LSI, dan lain-lain dibilang “It’s so old!”

Ya kecuali untuk barang yang emang beneran mati. Yahoo misalnya. Yahoo is dead, ngapain lagi optimasi buat dia?

Pikiran itu sudah lama nempel di kepala saya. Sejak jaman banyak pemain SEO ambrol masal menyusul update algoritma Google yang memang jelas-jelas dirancang untuk menyasar praktisi SEO yang menggunakan praktek-praktek “gray hat”. Kalimat yang biasanya saya lontarkan pda mereka yang mengatakan “SEO is dead” biasanya pendek saja.

SEO is not dead just because yours is.

https://artamaya.web.id

Sudah bertahun-tahun lalu itu. Saya sudah tidak memperhatikannya lagi. Toh kenyataannya memang praktisi SEO yang mempercayai teori itu ya memang tetap nyungsep sementara yang tidak tetap berkibar. Atau setidaknya bisa berkibar lagi setelah sempat nyungsep.

Lalu kenapa saya tergelitik untuk membahasnya bahkan menulis posting?

Karena saya tiba-tiba melihat sesuatu yang sama dalam versi yang sedikit berbeda. “Backlink is dead!”. Begitu kira-kira salah satu kesimpulan dari hasil wawancara terhadap Reza Putra yang dimuat pada website logique.co.id. Benarkah? Masuk akal kah? Saya kira ya masuk akal setidaknya menurut pengelola situs web yang memuatnya itu. Masa iya dimuat kalau isinya nggak masuk dalam logikanya toh? Lha websitenya saja domainnya logique.

Atau ada kemungkinan alasan lain sih. Memuat bukan karena sependapat tetapi karena pernyataan itu diungkapkan oleh sosok yang boleh dibilang punya kredibilitas dalam bidang SEO. Disebutkan kalau Reza Putra ini menduduki jabatan SEO Lead pada raksasa marketplace tanah air Tokopedia. Memimpin tim SEO pade perusahaan sebesar itu pastinya bukan orang sembarangan. Skill dan pengalamanya pasti jauh di atas rata-rata praktisi, sudah kelas mastah alias pakar SEO.

Nggak bandingan lah sama – katakan saja – saya, yang hanya butiran debu.

Saya melihat ada dua sisi dari pernyataan-pernyataan Reza Putra dalam wawancara itu. Sisi pertama adalah tekanan pada peran sentral user experience – sering disingkat UX – untuk SEO. Ini sisi yang saya sepenuhnya saya sepakati. Bukan hanya saya, Google saja sepakat. Sisi kedua ada beberapa point yang secara umum saya kurang sepakar. Apa saja itu?

  1. Hilangnya pengaruh backlink terhadap SEO.
  2. Konten “SEO-friendly” tidak perlu lagi.
  3. Mengamati algoritma Google = praktisi blackhat.
  4. SEO = system analyst.

Kita lihat satu per satu kenapa saya tidak sependapat.

Backlink untuk SEO Tetap Penting

Google terus mengembangkan metode sistematis untuk mengukur kepuasan pengunjung website yang kemudian digunakan sebagai salah satu parameter penting dalam menentukan ranking. Tidak heran kalau Google tidak henti-hentinya mengkampanyekan pentingnya menjaga dan meningkatkan kepuasan pengunjung website dalam mendongkrak performa SEO.

Tapi apakah artinya backlink sudah tidak penting lagi untuk SEO? Menurut saya sama sekali tidak. Pentingnya backlink untuk SEO tidak berubah. Secara konseptual parameter yang digunakan Google untuk menilai kualitas backlink itu juga tidak berubah. Yang berubah adalah implementasinya yang terus diasempurnakan, sehingga Google bisa lebih presisi menentukan nilai satu per satu backlink terhadap ranking.

Jadi bukan backlinknya tidak berpengaruh lagi tapi kemampuan Google memilah dan memilih backlink saat menentukan ranking semakin baik sehingga hanya backlink berkualitas saja yang masuk hitungan. Backlink berkualitas buruk atau backlink tidak berkualitas dipinggirkan, tidak masuk hitungan.

Mungkin ungkapan yang tepat bukan “backlink tidak berpengaruh lagi” tapi “backlink JELEK tidak berpengaruh lagi”.

Backlink berkualitas tetap penting, bahkan semakin penting.

Pertama bagaimanapun backlinklah yang diikuti robot Google sampai menemukan website atau halaman web baru kita. Backlink – yang bagus – juga mengalirkan traffic gratis. Traffic alias aliran pengunjung itulah yang oleh Google kemudian diukur tingkat kepuasannya. Kalau pengunjung dinilai puas, ranking perlahan terdongkrak. Tanpa traffic bagaimana Google menilai kepuasan pengunjung? Ada banyak cara lain mendapat aliran traffic, tapi backlink berkualitas tetap merupakan cara paling efektif.

Kalau mau dihubungkan dengan kepuasan pengunjung, backlink juga merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukurnya. Pengunjung yang puas dan kebetulan memiliki blog akan mengulasnya. Jurnalis yang menemukan informasi bermanfaat di website kita akan menulis artikel yang diterbitkan melalui portal beritanya.

Apakah SEO harus link building atau secara aktif mengumpulkan backlink?

Nah kalau itu urusan lain. Idealnya, kita tidak link building. Fokus saja dengan user experience supaya pengunjung yang puas memberikan backlink dengan sendirinya. Pertanyaannya apakah kondisi kita ideal? Kalau kita mengelola portal atau e-commerce raksasa dengan pengunjung website dan pengguna layanan bejibun, mungkin bisa-bisa saja berharap begitu. Tapi kalau website baru milik perusahaan kecil dengan anggaran pemasan terbatas ya mesti realistia lah. Kita terpaksa harus link building setidaknya sampai mulai mendapatkan traksi, pengunjung datang sendiri, backlink datang sendiri.

Konten SEO-Friendly Tetap Esensial

Saya sangat setuju kalau kita harus membangun konten dengan fokus pada kepuasan pengguna, pada pengunjung website. Google sendiri menyarankan agar kita tidak membangun konten dengan fokus pada “memuaskan” search engine.

Tapi konten search engine friendly itu tidak serta-merta berarti jelek untuk pengunjung biasa. Justru disitu letak tantangannya, membangun konten berkualitas yang memuaskan dan bermanfaat bagi pengunjung, sambil tetap memperhatikan “kaidah” SEO friendliness bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

Coba pertimbangkan dua sisi ini.

Pertama sisi pengguna yang melakukan pencarian. Search engine itu soal keyword alias kata kunci. Itu tidak bisa dibantah. Lha kita melakukan pencarian di search engine kan dengan MENGETIKKAN keyword. Mulai lebih canggih, bisa pake suara, kita MENGUCAPKAN keyword. Tetep keyword kan? Bisa kita diem-diem aja melototin layar kemudian Google tiba-tiba mengeluarkan hasil pencarian?

Kedua sisi website atau halaman web yang menyediakan sesuatu yang dicari pengguna, konten. Apa mungkin konten yang sama sekali tidak menyebut keyword yang sesuai dengan apa yang dicari pengguna kemudian akan dimunculkan Google dalam hasil pencariannya? Relevansi tidak mungkin didapat kalau sama sekali tidak ada keyword yang sesuai di dalam konten. Jadi jelas keyword harus ada. Cukup ada saja? Tidak. Konten secara keseluruhan harus memastikan kalau keyword yang dimaksud memang merupakab topik utama.

Memperhatikan Algoritma Google BELUM TENTU Black Hat

Tidak perlu seorang pakar SEO untuk memahami arti istilah black hat dalam kamus SEO. Secara sederhana black hat merujuk pada penggunaan cara-cara curang untuk mengelabui search engine agar suatu website atau halaman web dianggap memiliki kualitas dan relevansi yang tinggi dengan keyword tertentu sehingga mendapat ranking yang tinggi.

Lalu apa yang masuk ke dalam kategori mengelabui? Sederhana saja, melanggar arahan yang ditetapkan Google. Sengaja atau tidak, bukan persoalan, karena kalaupun tidak sengaja misalnya karena tidak tahu, perlakuan Google akan tetap sama. Bagaimana Google “menegakkan” peraturan yang dibuatnya? Dengan menggunakan apa yang kita kenal dengan sebutan algoritma. Algoritma ini akan menentukan apakah website atau halaman web berhak mendapat ranking tinggi atau sebaliknya, atau bahkan dikeluarkan sama sekali.

Bisakah mendapatkan ranking yang tinggi tanpa memperhatikan algoritma? Bisa saja. Kita bisa selamat nggak kena tilang meskipun nggak faham aturan lalu lintas kan? Tapi berapa persen sih kemungkinannya? Kalau kita memiliki dan mengelola portal besar dengan tingkat otoritas tinggi mungkin memang oke-oke saja. Nggak perlu ngarep apalagi berusaha untuk dapat ranking bagus. Seperti Wikipedia misalnya, merem aja udah nangkring di page one. Ya atau mungkin seperti yang digawangi Reza Putra ini, Tokopedia.

Tapi buat para pemilik website pada umumnya, memastikan konten website kita tidak akan “tercyduk” Google lewat algoritmanya itu sangatlah penting.

Analoginya kalau perusahaan memiliki departemen hukum, tidak serta-merta berarti mereka melanggar hukum. Justru lebih besar kemungkinannya untuk memastikan mereka tidak melanggar hukum. Dalam konteks SEO juga begitu. Kita wajib paham aturan dan memperhatikan bagaimana aturan itu diterapkan untuk memastikan kita tidak melanggar. Aturannya ada di Webmaster Guideline. Penerapan aturannya, algoritma, yang dari waktu ke waktu terus diupdate, seperti polisi yang terus belajar supaya nggak kalah jago dari maling.

Adakah yang memperhatikan algoritma justru agar pelanggarannya nggak ketahuan? Jelas ada. Anak-anak motor tukang trek-trekan aja memperhatikan jadwal patroli polisi koq. Mereka ini mungkin yang dimaksud Reza Putra, pelaku black hat yang memperhatikan update algoritma.

Tapi jelas nggak bisa menggeneralisasi. Kan kita juga nggak bisa bilang kalau mereka yang mempelajari hukum itu maling.

Anda praktisi SEO white hat juga wajib paham aturan dan memperhatikan update algoritma Google.

SEO <> System Analyst

Kita paham lah ya apa itu SEO. Lalu apa itu system analyst?

Analis sistem adalah seseorang yang bertanggung jawab atas penelitian, perencanaan, pengkoordinasian, dan merekomendasikan pemilihan perangkat lunak dan sistem yang paling sesuai dengan kebutuhan organisasi bisnis atau perusahaan. Analis sistem memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengembangan sistem.

Wikipedia

Di satu sisi saya sepakat kalau SEO itu cross-function. SEO menuntut website kita memiliki konten yang menyeluruh dan jelas pemahanan sartu orang, misalnya staff SEO, bahkan mungkin pemahaman satu departemen, misalnya departemen pemasaran, tidak cukup memadai. Misalnya saat kita membuat konten mengenai suatu produk baru, departemen R&D lebih faham dari sisi fungsionalitas, departemen produksi lebih tahu proses pembuatannya, departemen penjualan lebih berkompeten untuk berbicara bagaimana cara konsumen mendapatkannya, dan seterusnya.

Tapi ya lagi-lagi. Satu kita tidak bisa menggeneralisasi semua kasus. Korporasi besar mungkin memang begitu. Meng-SEO website perusahaan sekelas Toyota atau Garuda Food misalnya, mungkin memang begitu. Untuk rakyat jelata yang perusahaannya hanya memiliki CEO saja, alias Chief Everything Officer, cerita 100 persen berbeda.

Dua SEO itu justru terbalik dari apa yang dilakukan system analyst. System analyst itu melihat kondisi yang ada dan memahami kondisi ideal untuk menciptakan sistem. SEO memahami sistem untuk membangun UX, termasuk konten, yang disukai pengguna sekaligus “difahami” search engine.