Pemberitaan mengenai dideportasinya warga negara asing dari Bali menyusul viralnya posting yang mereka buat melalui portal media sosial membuat fenomena digital nomad di Bali mendadak menyeruak ke permukaan.
Sejatinya yang saya fahami dari sejumlah berita mengenai kasus itu, praktek digital nomad yang dilakukan warga negara Amerika Serikat bernama Kristen Antoinette Gray bukan menjadi penyebab utama dia dideportasi. Hanya saja mungkin karena saya juga salah satu pelaku gaya hidup digital nomad, ya sisi itulah yang paling menarik perhatian saya.
Asumsi saya terkonfirmasi. Seperti dikutip dari berita detik.com, berikut adalah kesalahan Kristen Gray menurut Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali:
1. Kristen Gray menyebut tinggal di Bali penuh kenyamanan, sebab tidak pernah dipermasalahkan soal pajak dan urusan keimigrasian.
2. Kristen Gray telah menyebarkan informasi Bali LGBTQF (queer friendly).
3. Kristen Gray membuat kampanye palsu karena menyebut akses ke Indonesia saat masa pandemi COVID-19 mudah. Pernyataan tersebut bertentangan dengan Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 nomor 2/2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional dalam Masa Pandemi COVID-19 serta Surat Edaran Ditjen Imigrasi tentang Pembatasan Sementara Masuknya Orang Asing di Wilayah Indonesia dalam Masa Pandemi COVID-19.
4. Kristen Gray diduga melakukan kegiatan bisnis penjualan e-book dan pemasangan tarif konsultasi wisata Bali sehingga dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 122 huruf a UU 6/2011 tentang Keimigrasian.
Nyatanya saya tidak sendiri. Berita tentang digital nomad di Bali yang dilansir media online detik.com membuktikan kalau gaya hidup digital nomad mendadak menjadi sorotan. Gak heran kalau kemudian kehidupan digital nomad di Bali menjadi bahan perbincangan hangat bahkan perdebatan.
Kebanyakan mempertanyakan apakah digital nomad melanggar hukum?
Apa Itu Digital Nomad?
Masing-masing orang boleh punya asumsi dan pengertian sendiri-sendiri. Tapi kalau buat saya sih digital nomad adalah cara kita menjalani profesi tanpa terikat dengan lokasi. Dengan memanfaatkan teknologi digital khususnya jaringan internet, kita tidak harus duduk di satu tempat tertentu, kantor misalnya, untuk menyelesaikan pekerjaan kita. Bisa dari rumah, restoran, atau apapun selama perangkat yang kita gunakan untuk bekerja, biasanya laptop, bisa terhubung dengan jaringan internet.
Pelaku gaya hidup digital nomad bahkan bekerja kota yang berbeda bahkan negara yang berbeda dengan kantornya atau kantor client-nya. Tidak heran kalau banyak yang kemudian memilih destinasi wisata sebagai tempat bekerja ala digital nomad ini.
Alih-alih duduk di depan meja kerja di dalam ruangan kantor, kita bisa bekerja dengan menggunakan laptop sambil rebahan di atas sun lounger di tepi pantai di salah satu destinasi wisata tropis ternama.
Sebagai referensi, situs Wikipedia menyebut definisi digital nomad sebagai berikut: “Digital nomads are people who use telecommunications technologies to earn a living and, more generally, conduct their life in a nomadic manner. Such workers often work remotely from foreign countries, coffee shops, public libraries, co-working spaces, or recreational vehicles. This is often accomplished through the use of devices that have wireless Internet capabilities such as smartphones or mobile hotspots”.
Digital Nomad di Bali
Sebagai destinasi wisata tropis yang menawarkan keagungan tradisi dan keindahan alam yang memungkinkan kita menikmati berbagai aktivitas menarik, Bali merupakan salah satu tempat favorit para digital nomad dunia. Apalagi saat ini Indonesia, apalagi Bali yang memang merupakan tempat tujuan wisata paling penting di negeri ini, memiliki infrastruktur teknologi telekomunikasi yang memadai. Koneksi internet berkecepatan tinggi bisa didapat di hampir seluruh sudutnya.
Para profesional asing banyak yang datang ke Bali bukan hanya untuk berlibur tapi “nyambi”. Berlibur sambil menyelesaikan pekerjaan.
Bayangkan saja salah satu skenario ini. Bangun, sarapan, berjemur sambil berenang di kolam renang pribadi villa yang disewanya, siangan sedikit cus ke pantai untuk surfing, setelah makan siang nenteng laptop untuk bekerja di salah satu coworking space, sore menikmati sunset sambil minum bir di tepi pantai, makan malam, kembali ke villa untuk nyambung kerjaan di sofa sampai ngantuk. Sekali-sekali bisa juga diselingi dugem.
Ada banyak skenario lain. Misalnya memilih untuk ber-digital nomad di kawasan Ubud bisa menambahkan meditasi dan yoga atau memanjakan diri dengan layanan spa ke dalam rutinitasnya.
Nyaman, tenang, pikiran selalu jernih, konsentrasi terus terjaga, hasil kerjapun maksimal.
Legalitas Digital Nomad Antar Negara
Jika kita bekerja dengan gaya digital nomad dalam lingkup satu negara, mungkin simple-simple saja. Seorang programmer “ngabur” sementara ke Bali sambil menyelesaikan satu proyek untuk kantornya yang berada di Jakarta misalnya.
Tapi kalau sudah antar negara, aspek legalitas mungkin memang menjadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus.
Hampir semua negara memang tidak mengijinkan orang asing bekerja dan menghasilkan uang begitu saja. Di Indonesia ya sama saja. Orang asing yang bekerja atau berbisnis di Indonesia harus terlebih dahulu mengurus ijin khusus yang lumayan rumit dan mahal. Kalau mau membuka perusahaan di Indonesia atau bekerja di salah satu perusahaan yang cukup besar di Indonesia, pengurusan ijin ini boleh dibilang masuk akal. Tapi untuk bekerja jarak jauh dalam konsep digital nomad terlalu ribet.
Wajar kalau kemudian orang asing pelaku digital nomad di Bali biasanya hanya menggunakan visa sosial, umumnya visa kunjungan wisata.
Melanggar aturan keimigrasian kah?
Sepemahaman saya kalau misalnya seorang programmer menyelesaikan proyek dari kantor atau clientnya sambil berwisata atai seorang penulis menyelesaikan bukunya sambil bersantai, saya kira sah-sah saja. Selesai ya pulang. Kapan-kapan datang lagi dengan tujuan yang sama pun sah-sah saja.
Lalu apa yang membuatnya jadi melanggar aturan keimigrasian?
Misalnya, tinggal di Bali kemudian melalui website, email, aplikasi chat, telepon dll. mencari proyek-proyek dari client – entah client itu ada di Indonesia atau di luar negeri – untuk diselesaikan dan mendapat bayaran disini. Kalau hanya mengantongi visa turis ya jelas melanggar.
Kalau mau melakukan aktivitas seperti itu, dia harus mendirikan perusahaan yang berstatus PMA (Penanaman Modal Asing) disini. Lewat perusahaannya itu dia bisa mendapat ijin untuk tinggal dan bekerja disini dengan mengantongi KITAS, Kartu Ijin Tinggal Sementara.
Digital Nomad Dropshipping
Berita detik.com yang saya sebut di atas bicara mengenai sejumlah orang asing yang menjadi digital nomad di Bali dengan bermain dropshipping melalui situs marketplace terkenal asal negeri tirai bambu, Alibaba. Tinggal di Bali, dengan perangkat digital menawarkan produk-produk yang dijual lewat situs Alibaba pada para calon pembeli di negara mereka sendiri. Mereka tidak punya produk tidak pula mengurusi tetek bengek seperti quality control, pengiriman, atau bahkan sekedar pembayaran sekalipun. Semua diurus Alibaba dan mereka mendapat komisi dari penjualan yang dihasilkannya.
Dengan asumsi mereka hanya memegang visa turis, apakah mereka melanggar aturan keimigrasian kah?
Kalau menurut saya sih tidak. Selama itu mereka jalankan dalam rentang masa berlaku visa turis yang mereka miliki.
Tapi kenyataanya mereka tinggal lama di Bali, mendapat penghasilan dengan cara seperti itu. Ya jelas pelanggaran. Disebutkan mereka, seperti Kristen Gray, punya ijin untuk tinggal lama disini. Kalau dia pegang Kitas, pasti ada perusahaan yang mensponsori. Nggak mungkin perusahaan yang mensponsori itu lolos mendapatkan ijin untuk si orang asing kalau disebut yang akan dilakukannya disini adalah dropshipping. Pasti ada kibul-kibulnya. Disitu letak pelanggarannya. Yang melanggar jelas bukan hanya si orang asing tapi juga sponsornya.