Keputusan mengenai kenaikan harga tiket Candi Borobudur yang informasinya dilontarkan pertama kali oleh Menko Marves, Pak LBP, menuai kontroversi. Di satu sisi memang menghebohkan. Sisi lain memang dinamika pemberitaan yang sekarang ini merupakan kombinasi antara jurnalisme dan viralitas media sosial membuat kehebohannya semakin panas.
Saya sependapat dengan argumen yang belakangan diungkapkan para pejabat berwenang, bahwa Borobudur perlu dijaga kelestariannya dan karena itu jumlah pengunjung harus dibatasi. Tapi saya tidak sependapat kalau cara membatasinya adalah dengan menaikkan harga sedemikian tinggi.
Meskipun suara satu per satu rakyat jelas tidak akan mempengaruhi keputusan berskala nasional yang diambil oleh pejabat-pejabat sangat tinggi, saja juga punya pendapat.
Sebagai peninggalan sejarah peradaban manusia, Borobudur memang luar biasa, tiada duanya, dan kelestariannya harus dijaga dengan sangat hati-hati. Sebagai sebuah tempat peribadahan suatu agama yang juga dianut oleh sebagian masyarakat kita, Borobudur merupakan tempat suci yang keagungannya harus dihormati. Mungkin kalau melihat dari kedua sudut pandang itu, Borobudur merupakan situs yang nilainya sangat-sangat tinggi. Mempermasalahkan angka 750 ribu rupiah untuk nilai setinggi itu rasanya justru merendahkan.
Tapi jangan dilupakan juga kalau Borobudur juga merupakan sebuah obyek wisata. Silahkan ditempelkan label apapun lah. Wisata sejarah. Wisata religi. Wisata pendidikan. Tapi tetap saja tempat wisata. Dan sebagai tempat wisata, tiketnya dibandrol dengan harga 750 ribu per orang per sekali masuk itu merendahkan akal sehat.
Lalu belakangan muncul penjelasan bahwa harga tiket 750 ribu itu adalah untuk naik ke atas.
Atas mana?
Mungkin maksudnya naik untuk menyusuri teras-teras dengan relief indah yang sarat makna dan jejeran stupa dengan patung sosok Buddha di dalamnya.
Sementara kalau untuk masuk ke Kawasan Wisata Candi Borobudur, sampai ke pelataran di kaki candi, harga tiketnya tetap, 50 ribu rupiah per orang per sekali masuk. Untuk wisatawan domestik dewasa, artinya bukan anak-anak, bukan anak sekolah, dan bukan orang asing.
Lucu sih.
Kalau hanya sekedar menikmati taman yang luas dengan latar belakang kemegahan Candi Borobudur, bukannya harga tiket 50 ribu rupiah itu jadi terasa kemahalan juga. Lha pengalaman yang didapat itu beda-beda dikit aja dengan berdiri di luar pagar. Menikmati keindahannya dari kejauhan, seperti dari ketinggian perbukitan Menoreh misalnya, nggak usah bayar. Toh sama-sama liat dari kejauhan.
Okelah beda jarak, tapi ya tetap saja rasanya koq jadi worthless.
Ada sejumlah orang penting yang dengan nada mendukung keputusan pemerintah kemudian membandingkan dengan harga tiket masuk ke situs-situs bersejarah sekelas di negara-negara lain. Sejumlah kuil suci di Bangkok, Angkor Wat di Cambodia, piramida-piramida raksasa di Mesir, bahkan Machu Picchu di pegunungan Peru misalnya.
Pernyataan-pernyataan itu juga diamplifikasi sejumlah media berita yang ikut-ikutan juga mencari-cari data harga situs-situs bersejarah lain di berbagai belahan bumi.
Ya beda lah Bos.
Gak usah jauh-jauh lah. Sebut saja Wat Arun di Bangkok. Kalau kita kesana, status kita itu orang asing. Sama dengan bule-bule yang datang ke Borobudur dan dipatok dengan harga tiket yang harganya jauh berbeda dengan wisatawan domestik.
Orang Indonesia yang bisa berwisata ke Bangkok dan mengunjungi Wat Arun sanggup mengeluarkan biaya tiket yang harganya lebih dari sejuta. Menginap entah berapa hari di hotel. Makan, minum, sewa mobil, bayar guide, dan segala tetek bengeknya. Berapa biaya yang sanggup mereka keluarkan? Kalau dia sanggup menutup biaya sebesar itu, ya tiket satu tempat wisata yang sangat istimewa seharga 750 ribu ya oke-oke sajalah.
Tapi orang Indonesia, mungkin karyawan rendahan pengen healing jalan-jalan backpackeran naik motor matic, gaji nggak jauh dari UMR, nginep di penginapan murah di gang-gang sempit tapi hangat di seputaran Malioboro yang semalamnya mungkin nggak sampe 100 ribu. Harga tiket 750 ribu per orang itu mahalnya pake banget.
Kita kalo sekeluarga terbang ke Cambodia, nginep di Siem Reap, bayar mahal buat masuk Angkor Wat ya nggak apa-apa. Tapi kalo sekeluarga naik Agya kreditan ke Jogja, mesti bayar tiket naik ke Borobudur 750 ribu kali sekian orang, ya nangis.
Nggak sanggup bayar tiket naik ya nggak usah kesitu sekalian.
Atas Nama Pelestarian
Tapi alasan yang melatarbelakangi kenaikan itu memang juga tidak bisa kita nafikkan begitu saja.
Misalnya disebutkan bahwa daya dukung Candi Borobudur itu hanya mampu mengakomodasi maksimal 1200 pengunjung per hari sementara sekarang jumlah pengunjung sudah melebihi angka 10 ribu per hari. Jelas terlalu tinggi. Meskipun pikiran saya juga melayang kemana-mana mereka-reka kira-kira bagaimana mereka mendapatkan angka 1200 per hari itu. Kenapa nggak 1100 atau 1300?
Di jagat media sosial juga tersebar foto-foto sejumlah kerusakan yang terjadi pada bangunan yang umurnya sudah lebih dari 1000 tahun itu.
Pastinya pemerintah lewat pemikiran dan penelitian ahli-ahli yang berkompeten punya dasar untuk menentukan angka itu. Saya sangat berharap itu dikomunikasikan juga. Dipublikasikan somewhere sehingga kita bisa faham. Tapi okelah percaya saja angka 1200 itu, saya sepakat perlu ada langkah-langkah yang dilaksanakan untuk menekan jumlah pengunjung ke “angka aman” itu.
Kalau tidak, entah berapa generasi yang akan datang mungkin anak cucu kita sudah tidak akan lagi bisa melihat wujudnya secara nyata.
Tapi apa iya caranya harus dengan menaikkan harga tiket?
Harga Itu Parameter Paling Primitif
Kalau kita melihat dengan kacamata bisnis, sebetulnya menggunakan harga untuk mengendalikan banyak hal itu cara yang paling mudah tapi paling primitif.
Paling kentara mungkin dalam menyikapi persaingan. Kita semua pastinya sangat sering melihat bagaimana perusahaan menggunakan harga sebagai instrumen untuk memenangkan, atau mungkin setidaknya menghindari kekalahan, dalam persaingan menguasai pasar dan merebut pembeli.
Melihat pedagang makanan ramai pembelinya, lama-lama muncul orang yang menjajakan makanan yang sama dengan harga yang lebih murah. Pelan-pelan pelanggan tahu kalau “lapak sebelah” menjual produk yang sama dengan harga lebih murah lalu sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti keramaiannya berpindah.
Tapi harga juga tidak hanya digunakan untuk memenangkan persaingan saja. Ada banyak hal yang bisa “diatur” dengan penggunakan harga.
Salah satunya mengurangi minat pembeli. Misalnya, kita mengelola hotel. Banyak sekali peminat. Occupancy sudah 100% dan banyak peminat yang terpaksa ditolak. Tentu penolakan itu menimbulkan ketidakpuasan. Naikkan saja harga. Peminat berkurang sehingga mereka yang marah karena tidak terlayani tidak ada lagi. Deouble strike, karena di sisi lain harga lebih mahal juga membuat pendapatan meningkat.
Persis seperti pemerintah yang mau menaikkan harga tiket Borobudur untuk mengurangi pengunjung yang naik.
Pertanyaannya adalah apakah bijak menggunakan parameter harga untuk menurunkan jumlah pengunjung yang naik ke atas Candi Borobudur ke tingkat yang dinilai aman dari sisi kelestariannya sebagai situs peninggalan budaya yang bernilai tinggi?
Wisata Edukasi Tanpa Edukasi
Belum lagi foto-foto ulah wisatawan yang banyak diantaranya jauh lebih dari sekedar nyebelin, kayaknya sudah masuk level menjijikkan.
Bagaimana mereka naik dan duduk-duduk di stupa padahal di bawah kakinya ada tulisan yang melarang mereka melakukannya. Bagaimana mereka santai duduk-duduk di stupa sementara sejumlah pemuka agama bersembahyang di selasar di depan hidungnya.
Oops … salah ya.
Di depan kakinya.
Tapi apakah ini merupakan alasan valid mengapa harga harus dinaikkan untuk mengurangi munculnya perilaku buruk pengunjung?
Perilaku semacam ini kan merajalela karena kita abai. Abai dengan situasi, abai dengan aturan, abai dengan etika. Jangankan mengingatkan orang lain, mungkin malah kita sendiri melakukannya.
Coba lihat perilaku mereka yang manjat-manjat naik dan duduk-duduk di stupa meskipun itu dilarang. Anak-anak yang melakukannya bukannya datang dengan orang tuanya? Lha orang tuanya bukannya melarang anaknya malah justru juga melakukan hal yang sama. Jangan-jangan malah orang tuanya yang ngajak. “Sini fotonya duduk sini sebelah Mama sini Nak!”
Apakah anak-anak sekolah yang datang bersama gurunya lalu melakukan perbuatan yang dilarang itu diingatkan oleh gurunya? Jangan-jangan malah gurunya juga sama duduk-duduk di stupa.
Karena kenyataanya dari banyak foto yang menunjukkan “kelakuan” pengunjung Borobudur itu, banyak diantara pelakunya orang dewasa.
Kita yang abai.
Sialnya saat kita abai, mereka yang harusnya menegakkan aturan itu sama abainya. Para petugas yang bekerja di badan pengelola tempat wisata Candi Borobudur itu merasa sudah cukup berbuat dengan masang tulisan “Dilarang bla bla bla” tapi tidak ada penegakkannya. Adakah petugas yang berkeliling untuk terus mengingatkan pengunjung agar tidak melangar?
Kurang petugas?
Naikkin harga tiketnya biar bisa ngegaji lebih banyak petugas. Nggak harus sampai 15 kali lipat rasanya cukup koq.
Pengunjungnya pada ngeyel? Bekerjasama saja dengan TNI supaya ikut bantu menertibkan. Masa iya mereka nggak bisa ditertibkan tentara. Mereka masyarakat biasa koq bukan KKB Papua.