Dulu saya selalu berfikir kalau kita “orang timur” itu lebih tahu tata krama dibandingkan “orang barat” atau apapun istilahnya, bule, londo, dll. Tapi banyak interaksi dengan bule justru membuat saya banyak belajar tata krama dari perilaku mereka.
Lahir dan tumbuh besar di lingkungan asli Indonesia yang sering disebut menganut adat istiadat timur, saya bisa dibilang sangat fasih dengan ajaran tata krama yang demikian mendarah daging sehingga sebagian besar saya lakukan tanpa perlu berfikir dulu. Refleks. Lewat di depan orang yang lebih tua atau dituakan, bungkukin badan. Nggak perlu mikir, nggak perlu diperintah. Badan udah langsung bungkuk sendiri.
Di masa saya hidup di lingkungan keluarga itu, selain digembleng dengan ajaran tata krama, saya juga diinfus dengan doktrinasi kalau orang timur itu lebih berbudaya dan karenanya lebih tahu tata krama dibandingkan dengan orang barat yang digambarkan sebagai pemuja kebebasan, urakan, nggak tau sopan santun. Gambarannya sering dirujuk melalui film atau referensi lain. Contoh perilakunyapun banyak. Masuk rumah pake sepatu misalnya. Atau memanggil orang yang lebih tua hanya dengan nama saja.
Sementara di lingkungan keluarga saya yang Sunda asli, jangankan cara memanggil yang harus menggunakan aneka embel-embel. Bapak, ibu, uwak, mamang, bibi, teteh, aa, dll. Pilihan kata-kata saat berbicara saja berbeda. Antara saat kita berbicara dengan teman, dengan orang tua, atau dengan bosnya orang tua, beda. Salah pilih kata, predikat “nggak tau tata krama” langsung nempel di jidat.
Sejak belum lulus kuliah saya sudah bekerja di lembaga asing, dengan bos bule, begitu juga sebagian rekan-rekan kerja saya. Sampai saya menutup karir profesional saya setelah sekitar 20 tahunan, saya tetap kerja di lingkungan bule. Geser haluan jadi pengusaha, baik dari sisi pemasok maupun sisi konsumen sebagian besar bule. Bahkan sebagian pegawai saya bule.
Sepanjang interaksi yang demikian lama dan intens saya melihat hal yang berbeda dari sisi tata krama ala bule yang justru menurut saya lebih alami dan hakiki.
Ini hal yang sudah ada di fikiran saya sangat lama. Tapi yang membuat saya tergerak untuk menulis adalah kejadian kecil yang saya alami baru-baru ini.
Di Bali, ada beberapa pasar swalayan yang bisa dibilang menjadi referensi bule. Artinya banyak bule memilih belanja disitu. Biasanya pasar swalayan model perbedaannya dengan pasar swalayan lain terutama terletak pada produk yang dijualnya. Mereka menyediakan aneka kebutuhan sehari-hari ala bule, dari aneka jenis keju sampai bumbu dapur. Ada juga sayur dan buah yang biasa ada di kawasan sub tropis. Daging dan produk-produk olahannya juga sebelas dua belas. Otomatis merk juga begitu. Banyak produk kemasan yang menunjukkan kalau produk-produk itu diimpor langsung.
Sementara kalau saya lebih cenderung memilih masuk ke swlayan-swalayan model ini karena kualitas produknya, terutama sayur dan buah, yang hampir selalu sangat bagus dan segar. Memang jauh lebih mahal, tapi toh saya juga perlunya sedikit. Lha cuma buat makan berdua.
Hari itu saya berbelanja di salah satu gerai Pepito, sebuah jaringan lokal pasar swalayan premium yang biasanya menjadi salah satu pilihan bule, umumnya ekspatriat yang menetap di Bali, yang berada di selatan Bali. Tidak banyak yang saya beli. Hanya tiga macam produk, semuanya bisa saya pegang dangan satu tangan sementara tangan lainnya memegang handphone dan kunci.
Dalam situasi sepi, hanya asa satu kasir dibuka. Saat saya mendekati kasir, seorang pria bule dengan troli penuh barang belanjaan sudah lebih dahulu berdiri disitu, dengan tangan mulai bergerak hendak mengeluarkan belanjaan dari troli yang dia bawa. Bukan bule perlente dengan jas dan dasi ala eksekutif yang biasa kita lihat di film-film. Tipikal bule surfer yang lama tinggal di Bali. Hanya sandal karet, celana pendek kain, dan siglet loggar, dan kulit gelap terbakar matahari. Itupun bukan dari merk-merk ternama. Produk lokal yang biasa dijual di gerai-gerai oleh-oleh yang kalau ditotal rasa-rasanya harganya nggak akan sampai 200 ribu. Tapi sekilas melihat isi trolinya, rasa-rasany kalau 3 jutaan sih ada isinya.
Melihat saya mendekat, dia melirik tangan saya, tersenyum, lalu menarik mundur trolinya sambil mempersilahkan saya membayar belanjaan duluan. “Belanjaanmu sedikit, duluan aja biar nggak kelamaan nunggu saya”, ujarnya.
Miris karena sambil mengucapkan terima kasih dan mendahului dia menghampiri kasir saya teringat kejadian-kejadian dimana orang malah sengaja memotong antrian.
Kejadian itu juga membuat saya teringat banyak contoh kejadian serupa dimana saya dibuat malu sendiri dengan perilaku orang-orang sebangsa saya yang katanya menjunjung adat istiadat ketimuran tapi perilakunya justru memalukan.
Berapa sering kita melihat bagainana orang-orang sehat walafiat duduk di kursi khusus yang disediakan untuk orang-orang dengan kondisi fisik khusus seperti ibu hamil atau manula, dan saat melihat mereka yang berhak atas kursi itu berdiri mereka malah pura-pura nggak lihat? Sering. Sering banget. Terlalu sering. Bahkan ada yang saat diingatkanpun malah nyolot.
Suatu hari, bersama sseorang teman yang orang lokal, saat jam makan siang saya keluar kantor naik kereta sejenis MRT di salah satu kota besar di Eropa. Tidak padat tapi semua tempat duduk terisi, ada beberapa yang bersdiri. Naik lebih dulu, teman saya memilih untuk berdiri di sudut belakang gerbong. Persis di depan 3 tempat duduk orang berkebutuhan khusus.
Saya memberi kode mengajaknya duduk disitu. Dengan muka yang nampak agak khawatir dia balik tanya “Kamu nggak enak badan?”
Di tanah air, saya memang aelalu berdiri kalau melihat mereka yang secara fisik lebih membutuhkan, nggak kebagian duduk. Tapi kalau kosong nggak ada yang pakai, buat saya sih duduk di kursi khusus itu sah-sah saja asal kalau yang berhak muncul kita mengalah. Saat saya jelaskan itu, dia nyengir sambil bilang “Ya tapi itu bikin mereka sungkan dan merasa lemah”, sahutnya. Bener juga sih.
Kejadian lain, saya pergi bersama bos saya yang kebetulan bule, seorang yang menyandang gelar profesor jadi obviously sudah cukup berumur, dan seorang senior saya sesama orang Indonesia, pergi kekuar kantor. Umur saya masih 20an waktu itu. Entah kenapa saat kembali, turun dari mobil, saya terjatuh. Jadi saat kami masuk ke kantor, saja berjalan terpincang-pincang.
Begitu masuk, teman saya yang sesama orang Indonesia sambil ngakak rame menceritakan kejadian saat saya jatuh. Bos saya, dengan mulut hanya menyungging senyum menjawab sapaan anak buahnya, langsug menuju toilet. Beberapa orang saling pandang. Ada yang nyeletuk “Kebelet dia?” Keluar lagi dengan handuk di tangan, masuk ke pantry. Ternyata dia mengisi gulungan handuk di tangannya itu dengan es batu.
Balik lagi, menarik satu kursi, disuruhnya saya duduk, dia berlutut di lantai mengompres kaki saya.
Kontras banget sama kelakuan teman saya yang malah memilih untuk mengolok-olok.