Babak paling menegangkan dalam drama pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini berakhir sudah dengan keberhasikan Joe Biden mengungguli calon presiden berstatus petahana, Donald Trump.
Padahal pendapat pribadi saya, untuk kepentingan Indonesia, Trump lebih oke dari Biden.
Gelaran pemilihan presiden Amerika Serikat mungkin merupakan pemilihan presiden paling menarik perhatian dunia, bukan hanya warga negara saja. Sejak saya inget memang sudah selalu begitu. Wajar saja. Karena kekuatan pada hampir semua sisi kehidupan negara itu masih merupakan yang terdepan. Kebijakan yang diambil Presiden Amerika Serikat pada umumnya mempengaruhi banyak negara lain. Dalam banyak kasus, bahkan ketika kebijakan itu merupakan kebijakan dalam negerinya sendiri.
Kita memang belum benar-benar melihat bagaimana Biden memerintah. Meskipun dia adalah mantan Wakil Presiden dua period berturut-turut, seperti hampir semua yang bertitel “wakil”, posisinya selalu berada di bawah bayang-bayang bosnya, Presiden Obama. Tapi setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas dari pendapat-pendapat yang dia kemukakan, baik dalam pidato maupun wawancara yang dikutip media.
Selain itu, tidak mungkin Presiden Obama sampai dua kali berturut-turut mendaulatnya menjadi orang terdekatnya kalau mereka tidak memiliki kesamaan, terutama dalam memilih apa yang terbaik untuk negaranya.
Sementara Trump kita sudah hampir empat tahun melihat pola kepemimpinan unik penuh drama dari salah satu sosok pengusaha sekaligus playboy papan atas dunia.
Dalam beberapa hal, membandingkan Trump dengan Obama yang menjadi pendahulunya terasa seperti membandingkan Jokowi dengan SBY. Bisa jadi meskipun mungkin berbeda kelas, Trump dan Jokowi sama-sama berlatar belakang pengusaha. Mereka sangat terlatih untuk bekerja, berfikir, dan membuat keputusan yang berorientasi pada hasil dan tujuan. Mereka jelas tidak tertarik dengan intrik dan tarik-menarik aneka kepentingan, termasuk mengakomodasi tekanan politik. Mereka bukan tipikal pemimpin yang bersedia mengkompromikan tujuan untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu yang merasa punya cukup kekuatan untuk menekan.
Saya memperhatikan setidaknya dua faktor yang membuat Trump lebih menguntungka bagi Indonesia.
Pertama Trump tidak mau berkompromi dengan China. Dia mengobarkan perang total membendung dominasi China baik dari sisi ekonomi maupun geopolitik. Secara ekonomi penetrasi kekuatan ekonomi China bukan hanya merangsek ke negara-negara berkembang tapi juga negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat.
Salah satu langkah yang diambilnya adalah membendung barang-barang yang diproduksi di China untuk masuk ke Amerika Serikat dengan segala cara. Bukan hanya produk-produk yang dihasilkan perusahaan China saja. Perusahaan manapun yang pabrikasi produknya dilakukan di China. Termasuk perusahaan-perusahaan Amerika Serikat sendiri. Sudah menjadi rahasia umum kalai banyak produk Amerika Serikat, termasuk produk-produk berteknologi tinggi seperti produk-produk Apple misanya, diproduksi di China.
Akibatnya banyak perusahaan global terpaksa memindahkan fasilitas produksinya keluar dari China. Meskipun harus bersaing ketat dengan sejumlah negara lain, Indonesia menjadi salah satu lokasi tujuan relokasi potensial. Kalau perusahaan-perusahaan itu merelokasi pabrik mereka dari China ke Indonesia, tentu akan membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia sendiri.
Secara geopolitik, Amerika Serikat di bawah komando Trump juga gencar melawan ekspansi dominasi geopolitik China, terutama di kawasan sekitarnya. Saat ini China sedang mewujudkan inisiatif menghidupkan “jalur sutera” modern untuk memperlancar aliran produk dan logistik ke kawasan Asia Selatan dan kawasan Timur Tengah. China juga sudah menghidupkab jalur kereta antar benua sehingga kereta dari China bisa bergerak langsung sampai ke Eropa, dan sebaliknya.
Yang paling esensial untuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara adalah “keusilan” China terhadap Laut Natuna Utara yang dulu dikenal sebagai Laut China Selatan.
Kedua kerasnya Trump melawan gerakan-gerakan radikalisme dari kawasan Timur Tengah. Gerakan-gerakan ini selain meluluhlantakkan sejumlah negara di kawasan itu juga secara konsisten membangun kekuatan dalam bentuk faksi-faksi radikal dan secara sporadis melancarkan sejumlah serangan teror di berbagai negara.
Indonesia bukan pengecualian malah mungkin menjadi salah satu target utama gerakan-gerakan itu. Lihat saja masifnya gerakan “kadrunisasi” dalam berbagai bentuk yang secara konsisten terus berkembang.