Harga buku yang terus naik seolah mengingatkan kalau ilmu itu mahal. Kecenderungan saya memilih buku impor membuat belanja buku lebih menguras kantong lagi.
Beberapa tahun lalu di Toko Buku Periplus langganan saya masih ada buku berbanderol di bawah 100 ribu. Buku-buku dengan harga 300 ribuan itu sudah saya anggap mahal. Sekarang rasa-rasanya meskipun yang ditempeli diskon guede buanget pun nggak ada lagi yang di bawah 100 ribum Buku-buku yang masuk kategori mahal, yang dulu harganya bermain di kisaran 300 ribuan, sekarang sudah melewati 400 ribu. Apalagi kalau masuknya ke Kinokuniya.
Karena itu selain selalu tertarik dengan buku, saya juga selalu tertarik dengan cara mendapat buku impor murah.
Beberapa waktu lalu, melihat banyaknya penjual buku-buku impor berbentuk e-book di salah satu portal marketplace, saya mulai mencoba membiasakan diri untuk membaca e-book melalui perangkat digital. Biasanya smartphone. Saya agak malas membuka laptop hanya untuk sekedar membaca buku. Sementara menyisipkan tablet ke dalam jejeran isi tas rasa-rasanya koq berat-beratin doang. Sebetulnya sih bukan cuman tas doang sih yang keberatan. Dompet juga.
Tapi pada akhirnya saya mulai keteteran. Tidak sepenuhnya mengalah karena memang ada kalanya saya berada di posisi bengong dan hanya ada smartphone di tangan. Alih-alih seperti banyak orang yang saya kenal yang lebih memilih main game, buka-buka media sosial, nonton video, dan sejenisnya, baca e-book biasanya jadi pilihan saya. Tapi saya mulai “masuk ke toko buku lagi”. Mulai beli buku konvensional lagi. Meskipun entah karena Covid-19 atau memang sudah jamannya, saya lebih banyak membeli online. Itu makanya kalimat masuk ke toko buku lagi tadi saya pasangi tanda kutip.
Selain melalui website dan kanal media sosial toko buku langganan, saya juga mencari buku melalui portal marketplace. Sebagai salah satu cara mendapat buku impor murah, biasanya saya juga menjadikan buku bekas sebagai prioritas. Tapi mungkin karena jenis buku yang saya minati, hanya sekali dua kali saya mendapatkan buku yang saya minati dijual dalam kondisi bekas yang pastinya lebih murah daripada buku baru.
Saat muter-muterin marketplace itulah saya menemukan cara mendapat buku impor murah yang lain. Buku fisik – ink on paper – yang sepertinya dicetak dari e-book. Harganya bervariasi tapi jauh lebih murah dari harga buku aslinya. Salah satu buku yang saya beli berjudul A Random Walk Down Wall Street misalnya, harga aslinya berada di kisaran antara 350 sampai 450 ribu bahkan lebih. Harga versi murah yang saya sebut barusan yang paling mahal 100 ribu. Ada penjual yang memasang banderol lebih murah lagi. Saya temukan yang paling murah itu hanya 64 ribu saja.
Tadinya saya agak ragu, terutama soal kualitasnya. “Jangan-jangan kayak cetakan mesin foto copy di atas kertas HVS”, pikir saya. Saya bukannya tidak pernah mencoba mencetak e-book dengan printer. Cuman selain jatuhnya mahal, ukurannya jadi kegedean, dan membaca di kertas HVS yang putih cerah dalam waktu lama itu melelahkan mata.
Tapi karena perbedaan harganya terlalu menggiurkan akhirnya saya coba juga. Ternyata pas datang hasilnya oke banget. Jilidannya hardcover kayak buku-buku mahal dengan kualitas yang bagus. Cetakannya nggak kayak fotocopy-an. Tajam seperti buku. Yang paling penting kertas yang dipakai jenis book paper alias kertas yang biasa dipakai mencetak buku, bukan HVS.
Kekurangannya, hitam-putih. Tapi kali ini saya belum melihatnya sebagai masalah karena buku yang saya pesan memang isinya hitam-putih semua. Lagian sangat jarang buku yang saya baca ada warna selain kedua warna itu, hitam dan putih. Kalaupun ada warna biasanya hanya sekedar aksen, misalnya pada judul atau sub-judul. Jadi saya kira in most cases buat saya warna nggak penting-penting amat.
Secara umum sangat memuaskan.
Saya sekarang sedang mencoba memesan buku lain dengan teknik penjilidan softcover. Memang hardcover lebih eksklusif, mungkin juga lebih kuat untuk melindungi isi bukunya. Persialannya hardcover membuat buku jadi lebih tebal, lebih besar, dan lebih berat. Susah ditekuk mungkin untuk melindungi isi memang lebih baik, tapi sering kalo juga menyulitkan. Hardcover membuat buku jadi kurang nyaman dipegang dan dibawa-bawa.
Kalau versi softcover nanti kualitas penjilidannya juga oke punya, ini bisa jadi cara mendapat buku impor murah yang irresistable.
Hanya saja ada keraguan baru. Dosa gak sih? Etis nggak sih? Pantes nggak sih? Kalau soal melanggar hukum atau tidak mungkin agak kejauhan lah mikirnya. Lha penjualnya juga bisa jualan terbuka di marketplace. Yang jual nggak cuma satu dua, banyak. Kalau melanggar hukum pastilah udah disegel pengelola marketplacenya.