Saya kutu buku? Mungkin aja sih. Saya sih nggak merasa begitu. Tapi kalo banyak orang bilang saya kutu buku, ya terserah-terserah saja. Lha kalo ada yang bilang saya kutu kupret aja saya nggak ambil pusing koq. Apalagi kutu buku yang kesannya sedikit lebih beradab meskipun sama-sama kutu.
Cuma kalo pikiran jujur saya sendiri sih saya justru liatnya sebaliknya. Kalo kebiasaan saya membaca itu buat sebagian orang keliatan aneh, saya justru menganggap orang-orang yang males membaca itulah yang aneh.
Coba direnungkan saja. Dia nggak tau tapi pengen atau perlu tahu sesuatu. Daripada membaca dia lebih suka ngerecokin orang bawel nanya-nanya. Mending juga yang ditanya beneran tahu. Gimana kalo cuma setengah tahu. Mending setengah. Kalo cuma seperempat atau malah sepersepuluh. Atau malah nggak tahu sama sekali tapi sok tahu.
Kenyataan hidup yang menyedihkan adalah kecenderungan orang itu makin sedikit dia tahu, makin sok tahu, makin sok ngasih tau.
Kalaupun dia beneran tahu, belum tentu juga saat ngasih tahu itu dia menyampaikain dengan benar dan kita menangkapnya dengan benar pula.
Satu-satunya alasan orang tidak membaca adalah MALAS. Kalo nggak males, orang buta aja membaca dengan tulisan khusus, huruf Braille. Jadi ya malas,jelas banget itu. Lha dia punya mata, bisa melihat. Dia juga bisa membaca. Lha negara kita udah lama bebas buta huruf koq.
Cuma ya saya nggak cukup usil untuk berkomentar atau malah menempelkan label pada mereka seperti orang-orang yang melabeli saya kutu buku.
Kutu Buku Itu Jelek
Sejatinya istilah kutu buku itu ditujukan kepada mereka yang diangggap terlalu suka membaca sehingga melalikan hal-hal lain yang nggak kalah penting. Membaca terus jadi malas mandi. Membaca terus sampai kelewat Shalat. Membaca terus sampai lupa kambing belum dimasukin kandang.
Jaman saya masih kanak-kanak, teriakan kutu buku itu dipakai supaya saya melepaskan buku dan memilih aktivitas fisik bermain dengan teman-teman di luar rumah, yang dianggap lebih sehat, lebih bermanfaat, dan lebih wajar.
Suka membaca itu baik tapi kutu buku itu jelek. Namanya kutu memang nggak ada yang baik. Dari kutu rambut, kutu kayu, sampai kutu kasur, semua jelek. Saking jeleknya, untuk memakipun orang bilang kutu kupret. In that respect kutu itu hampir sama posisinya dengan anjing, babi, atau kampret.
Kalaupun oleh banyak kalangan anjing dipuji sebagai hewan yang cerdas dan setia, tetap saja kalau namanya dipinjam, ya dipakainya untuk memaki.
Kutu itu merusak untuk kepentingannya sendiri. Nyedot darah, dianya gendut korbannya gatel, rambut rontok, bahkan anemia. Makan kayu, dianya gendut, rumah orang ambruk. Bahkan kutu buku dalam arti yang sebenarnya, dia ngunyahin buku sampai bukunya hancur, nggak bisa dibaca lagi.
Padahal orang yang suka membaca itu nggak merusak buku. Di satu sisi dia memang seperti kutu, nyedot, bikin dia gemuk. Isi kepalanya yang gemuk. Tapi buku yang dia baca nggak jadi rusak. Buku dengan kualitas normal, dibaca 100 kali pun masih tetap akan cukup bagus untuk dibaca lagi dan lagi. Kecuali kalo yang baca itu bacanya sambil ngopi lalu alih-alih tumpah ke mulut kopinya tumpah ke buku.
Istilah kutu buku lebih banyak dipakai dengan tujuan untuk menghentikan orang membaca. Berhenti membaca Nak, sana main bola sama teman-temanmu! Berhenti membaca Pak, sana benerin genteng bocor, ntar keburu ujan!
Buat saya label kutu buku itu lebih terdengar seperti umpatan atau malah cacian.
Gue Bodo Amat!
Jadi sekali lagi, suka membaca itu baik, kutu buku itu jelek. Jadi kalau ditanya apakah saya nggak suka orang menempelkan label kutu buku pada saya, jawabannya singkat dan padat, iya. Lebih dari itu, saya nggak suka orang menempelkan label kutu buku pada siapapun, bukan cuma soal saya sendiri.
Hanya saja … Saya nggak cukup peduli untuk membuang waktu saya mengekspresikan ketidaksukaan itu. Seperti lagu saja. Kalau kamu nempelin saya label kutu buku, gue bodo amat.
Cuma ya bodo amat saya itu biasanya goes way beyon nggak marah. Saya memang nggak akan marah sih kalo orang menempeli saya label kutu buku. Saya terlalu nggak peduli buat marah. Tapi saat saya nggak cuma nggak peduli dengan label yang ditempelkannya. Saya juga nggak peduli dengan tangan yang menempelkannya. Saya juga nggak peduli dengan orang yang punya tangan itu. Mungkin bahkan saya juga nggak peduli dengan orang-orang di sekitar dia. Temannya atau keluarganya misalnya.
Kalopun dia digigit anjing rabies di depan hidung saya, palingan saya nyengir doang.