Mudik merupakan tradisi yang sejauh ingatan saya bisa menggapai sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian sukacita perayaan Idul Fitri. Keinginan yang demikian besar merayakan hari kemenangan menutup perjuangan melawan hawa nafsu sepanjang Bulan Suci Ramadhan bersma keluarga dan handai taulan di kampung halaman membuat banyak orang rela berjuang untuk mudik lebaran.
Memang tradisi mudik ini hanya berlaku untuk mereka yang beragama Islam dan hidup di perantauan. Tetapi karena mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, mudik lebaran seolah menjadi kenduri nasional dimana kelancaran arus mudik dan arus balik bahkan menjadi tolok ukur keberhasilan seorang Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Presiden dan jajarannya, memimpin negara.
Tidak ada cerita mudik bagi mereka yang tidak merantau. Tapi di negeri ini mereka yang hidup di perantauan itu jumlahnya bejibun. Satu alasan yang paling esensial adalah terpusatnya aneka aktivitas perekonomian di kota-kota besar yang membuat banyak orang dengan berbagi alasan meninggalkan kampung halamannya. Proporsi paling besar jelas urusan ekonomi. Alasan utama urbanisasi adalah mencari pekerjaan dan membuka usaha.
Karena jumlah perantau yang sangat besar itulah mudik menjadi peristiwa yang sangat kritis. Bisa dibayangkan. Pemerintah memperkirakan pada arus mudik tahun ini saja akan ada sekitar 85 juta pergerakan manusia dalam rentang waktu yang hanya beberapa hari sebelum lebaran, dan nanti sekali lagi, dengan arah yang berlawanan, yang kita kenal dengan istilah arus balik.
Karena itulah mudik perlu persiapan panjang.
Mereka yang berniat mudik menggunakan kendaraan umum harus bersiap-siap dari jauh-jauh hari sebelumnya. Tiket bis, kereta api, dan pesawat terbang untuk perjalanan keluar dari kota-kota besar biasanya sudah ludes jauh sebelum Idul Fitri, bahkan jauh sebelum Bulan Ramadhan dimulai.
Mereka yang mau mudik dengan kendaraan pribadi juga perlu persiapan serius. Perjalanan jauh menuju kampung halaman dalam masa mudik biasanya diwarnai kemacetan sehingga waktu tempuh menjadi jauh lebih panjang dari biasanya. Akibatnya pemudik harus mempersiapkan diri agar kondisinya prima. Bukan hanya kondisi fisiknya sendiri, tetapi juga kondisi kendaraan yang akan digunakannya.
Bukan hanya pedagang makanan dan pakaian saja yang ketiban rejeki nomplok. Bengkel, penyewaan mobil, bahkan para makelar mobil bekas biasanya ikut berpesta.
Lu Mudik Kagak?
Sebagai perantauan dengan pengalaman puluhan tahun, saya sudah merayakan puluhan Idul Fitri dengan status perantau. Teman, kenalan, relasi, hampir semua orang-orang di sekitar saya tahu saya perantau. Dan sejak beberapa minggu sebelum lebaran, salah satu pertanyaan basa-basi yang biasanya mendarat ke arah saya adalah “Lu mudik gak?” atau versi yang lebih sopan dari kolega dan relasi “Mudik nggak Pak?” ya esensinya sama sih.
Dan saya tidak pernah menjawab dengan pasti. “Nggak tau nih …” atau “Gimana nanti lah …” Ya model gitu-gitu lah biasanya jawaban saya. Kalaupun secara redaksional mungkin beda-beda dikit, tapi esensinya kurang lebih sama saja.
Pada akhirnya ya kadang-kadang saya mudik. Kadang-kadang nggak. Hehehe. Biasa saja sih. Saya nggak terlalu bahagia mudik, dan nggak terlalu sedih nggak mudik.
Buat saya mudik itu bukan untuk menyenangkan saya tapi menyenangkan orang yang dimudiki.
Jadi Mudik Nggak?
Yang jelas saya tidak merencanakan apalagi mempersiapkan mudik sebelum Bulan Ramadhan berakhir.
Itu prinsip dasarnya.
Karena itu kalaupun kemudian saya memutuskan mudik, biasanya keputusan itu diambil pada malam takbiran atau pada hari-H. Berangkat agak siang setelah sempat bersilaturahmi dengan tetagga kiri-kanan atau beberapa hari setelah hari-H tetapi saat suasana Idul Fitrinya masih terasa. H+1 atau H+2 misalnya.
Dan kenyataannya biasanya itu nggak sulit-sulit amat. Mungkin karena orang cenderung mudik beberapa hari sebelum lebaran, saya nggak pernah kesulitan tiket mudik hari-H, atau H+1 misalnya. Atau kalaupun kemudian memilih mudik dengan kendaraan pribadi, semaksimal mungkin saya memang selalu menjaga kondisi fisik dan kondisi kendaraan agar tetap prima. Jadi mau melakukan perjalanan jauh kapanpun, mudik atau untuk urusan lain, ya tinggal gas aja. Nggak perlu persiapan apa-apa.
Kenapa?
Jawaban ngambang saya atas pertanyaan-pertanyaan seputar rencana mudik jelas bisa ditangkap dengan mudah oleh siapapun. Hanya saja kebanyakan orang kemudian memilih langsung ganti topik. Tapi ada juga sebagian orang yang mungkin merasa cukup dekat atau entah punya alasan apa sehingga kemudian mempertanyakan alasan saya selalu memberikan jawaban ngambang untuk topik yang satu itu.
Sebetulnya alasan saya tidak memikirkan mudik sebelum Bulan Ramadhan berakhir itu juga sangat sederhana.
Saya selalu ingin fokus memaksimalkan ibadah di Bulan Ramadhan. Saya tidak ingin konsentrasi saya terpecah dengan rencana mudik, apalagi terpecah dengan eksekusi mudik. Apalagi rata-rata orang mudik itu kan beberapa hari menjelang Idul Fitri yang artinya masuk ke dalam zona waktu super prioritas, 10 hari terakhir Bulan Ramadhan.
Rugi banget kalo ada malam di 10 hari terakhir Bulan Ramadhan itu justru saya habiskan di belakang setir alih-alih di atas sajadah.
Saya juga tidak mau mendahului. Memang sebagai manusia, untuk banyak hal saya juga punya rencana, punya jadwal. Tapi khusus untuk urusan Idul Fitri itu urusannya sangat-sangat berbeda. Bagaimana bisa kita merencanakan perayaan kemenangan sementara pertempurannya masih berlangsung. Atau malah kalau merencanakan mudik sebelum Bilan Ramadhan, merencanakan perayaan hari kemenangan, bahkan sebelum pertempurannya dimulai.
Silaturahim
Salah satu alasan orang melembagakan mudik adalah silaturahim. Sesuatu yang memang selain diajarkan agama juga menyenangkan di hati kita sendiri.
Tentu tidak ada yang salah dengan keyakinan itu. Saya tidak menyalahkan. Bahkan saya juga meyakini pentingnya silaturahim dalam kehidupan kita. Bukan hanya soal ajaran agama, tapi soal menjaga harmoni dengan sesama.
Hanya saja bagi saya silaturahim itu adalah sesuatu yang harus dijaga setiap waktu, setiap hari, bukan hanya setahun sekali. Kalau keinginan bersilaturahim itu muncul, ya jalanin. Kalau dekat, tinggal ketok pintunya. Kalau jauh ya berangkat saja. Nggak usah dilama-lamain nunggu Idul Fitri juga kali.
Kalau masih ada hambatan, ya disabarin.
Nyinyir?
Saya tidak bermaksud nyinyir, menyindir, ngajarin mereka yang mentradisikan mudik atau terbiasa merencanakan mudik jauh-jauh hari sebelumnya. Saya bahkan tidak berharap ada orang yang mengikuti jalan fikiran saya.
Itu saya.
Itu jalan fikiran saya.
Kalau tanya mengapa, itu jawabannya.
Itu saja.