Oknum mahasiswa bikin geger saat seluruh energi seluruh negeri tersita menghadapi gelombang kedua pandemi Covid-19 yang secara statistik nyata lebih parah dari gelombang pertama. Menjadi perhatian banyak fihak karena yang bersangkutan juga menyandang jabatan tinggi pada organisasi kemahasiswaan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri paling prestisius di negeri ini. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia alias BEM UI.
Apa yang dia buat? Bukan sesuatu yang substansial kalau menurut saya. Dilansir sejumlah situs berita, disebutkan Ketua BEM UI ini memasang spanduk yang memajang foto Presiden Jokowi yang dengan editan dipasangi mahkota di atas kepalanya. Di samping foto Kepala Negara itu dipampang tulisab besar-besar “King of Lip Service”.
Gak Penting Blas
Buat saya sih agak mengherankan kalau anak secerdas itu koq kelakuannya sebelas duabelas dengan remaja jalanan.
Dari mana saya bisa menilai kalau dia cerdas? Ya gampang saja. Nggak cerdas mana bisa masuk UI. Apalagi dia juga duduk di jurusan favorit yang jadi rebutan. Tingkat kompetisi untuk masuk ke jurusan itu salah satu yang paling tinggi.
Di satu sisi apa yang dia lakukan itu hanya sekedar vandalisme. Apa bedanya dengan remaja-remaja yang mencorat-coret dinding dengan cat semprot? Pelaku vandalisme yang biasanya dihubungkan dengan kenakalan remaja – meskipun banyak pelakunya sudah berusia dewasa – juga sering kali melakukannya sebagai protes. Protes atas apa yang tidak berkenan di hatinya. Pada orang tua. Pada negara. Atau pada lawan jenis yang menolak cintanya.
Yang membedakan si kelakuan Ketua BEM UI dengan vandalis jalanan itu hanya jabatan mentereng di kampus membuat dia bisa memajang “karya” murahannya di tempat yang berbeda. Alih-alih pilar di kolong jalan layang, dia punya kuasa untuk menjadikan lingkungan kampus sebagai “kanvas”-nya.
Sukses Caper
Apa motivasi para vandalis jalanan? Salah satu yang paling dominan adalah caper alias cari perhatian. Mereka bukan sosok dengan ketampanan dan kebekenan sekelas Christian Sugiono yang wajahnya sebagai bintang iklan terpampang di baliho-baliho raksasa. Jadi salah satu cara menunjukkan eksistensinya adalah dengan menuangkan protes sosial dalam bentuk corat coret di dinding-dinding yang diharapkannya akan menarik perhatian orang lewat.
Memang meskipun kelakuannya sebelas dua belas, sebagai Ketua BEM salah satu universitas paling top di negeri ini, perhatian yang tersedot oleh aksi vandalisme yang dilakukannya sangatlah besar. Dari reaksi yang demikian bejibun itu, kutubnya hanya dua: mencerca dan mendukung.
Yang mendukung jelas mereka yang berseberangan dengan Presiden Jokowi. Dari yang terafiliasi dengan Partai Politik yang berbeda haluan sampai mereka yang memuja tokoh-tokoh yang mempropagandakan kebencian dengan bersembunyi di balik label agama.
Yang mencerca sebagian memang pendukung Presiden Jokowi. Tapi banyak juga orang-orang yang menilai ulah si tokoh mahasisma ini tidak beretika, tidak pantas, terlepas dari apakah mereka mendukung Presiden Jokowi atau tidak.
Burungnya Kecil
Menyikapi pemasangan baliho tidak pantas di lingkungan kampus, diberitakan kalau fihak berwenang di kampus yang identik dengan jaket kuning itu melayangkan panggilan terhadap Ketua BEM yang dinilai bertanggung jawab.
Lucunya bukannya dengan gagah berani datang memenuhi panggilan itu dan mempertanggungjawabkan isi baliho itu dengan argumen cerdas dan lugas, mereka justru mengumandangkan nada sumbang. Dengan sokongan para pendukungnya membangun narasi seolah-olah otoritas kampus “mengamankan kepentingan” Presiden Jokowi dengan bertindak represif atas kebebasan mahasiswa mengutarakan pendapat.
Padahal konon fihak Rektorat UI baru melayangkan panggilan. Entah apa yang akan mereka bicarakan kalau si Ketua BEM dan jajarannya datang memenuhi panggilan itu.
Buat saya sih itu cermin perilaku orang yang mulutnya besar tapi burungnya kecil.
Kepalanya Ada Isi?
Mereka bersembunyi di balik kata sakti: kritik. Saat rektorat memanggil, mereka juga bersembunyi di balik kata yang sama: membungkam kritik.
Mereka yang mencerca kelakuan si Ketua BEM UI ini banyak yang menggunakan argumen “Kalau mengkritik itu jangan cuma kritik, tawarkan solusi!”
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat seperti itu. Atau malah mungkin bukan tidak sepenuhnya setuju, beneran nggak setuju.
Kritik dan solusi itu barang yang 100% beda. Sebagai anggota masyarakat, adalah wajar kalau kita mengkritik kebijakan yang diambil pemerintah. Apakah saat kita mengkritik itu wajib menawarkan solusi? Kalau ada formula solusi yang bisa diusulkan, bagus. Tapi tidak harus. Kita boleh mengkritik dan kritik saja. Kalau kritik yang kita lontarkan itu relevan, yang pemerintah harus mencari solusinya. Mungkin dengan menggandeng para pakar yang berkompeten. Kita mana ada akses kesitu kan?
Hanya saja baliho yang dipasang BEM UI itu sama sekali bukan kritik. Itu namanya cemoohan.
Kalau mereka mau mengkritik, ya mereka setidaknya harus menunjukkan apa kebijakan pemeritah pimpinan Presiden Jokowi yang mereka nilai salah. Mereka juga harus menjelaskan mengapa mereka menganggap itu salah.
Itu kalau dia punya kepala ada isinya.
Nyatanya dia justru melakukan apa yang dia cemoohkan, lip service. Ngomong doang. Membangun opini mendiskreditkan orang hanya dengan menjual kata-kata retoris tanpa mengemukakan argumen rasional yang seharusnya menjadi salah satu karakter utama golongan intelektual.
Ya mungkin tapi memang bukan king lah ya. Kalau Jokowi sebagai Presiden, meskipun bukan raja tapi memang kepala negara, ada mirip-miripnya lah sama “king”. Ketua BEM UI ini kan sama jelatanya dengan rakyat lain. Jadi mungkin memang bukan “king of lip service”. Mungkin lebih cocok “lip service of an ordinary citizen”.