Akhir-akhir ini penyematan “gelar” Gus di depan nama seseorang cenderung agak sensitif. Memang sepertinya tidak secara formal dipatenkan sehingga pengguna oleh mereka “yang tidak berhak” bisa dikatakan melanggar hukum. Tapi rasa-rasanya tanpa perlu diajari lagipun mayoritas orang Indonesia faham siapa yang “berhak” menyandangnya.
Tidak mengherankan kalau “pengguna yang tidak berhak” meskipun tidak pernah dituntut biasanya mendapat sanksi sosial dalam berbagai bentuk, dari sindiran sampai cacian. Tiba-tiba muncul pemberitaan kalau gelar kehormatan bagi komunitas Nahdiyin ini disematkan pada sosok Gibran Rakabuming Raka.
Adakah orang di Indonesia ini yang tidak mengenalnya? Anak presiden. Mana mungkin ada yang nggak kenal? Apalagi anak-anak Presideb Jokowi memang dikenal beda dari patron anak-anak pejabat tinggi negara yang umunya cenderung elitis.
Lucu memang. Sikap rendah hati dan merakyat mereka justru membuat mereka lebih populer. Tapi lewat lah. Bahasan kita kali ini bukan itu.
Tapi Gibran saat ini bukanlah Gibran yang kita kenal dulu saat Presiden Jokowi baru menjabat. Gibran sekarang bukan lagi pengusaha mudah yang hanya tertarik untuk membesarkan bisnis kuliner “kecil-kecilan” yang dirintisnya. Menyusul perkembangan pesat bisnisnya yang demikian pesat, Gibran terjun ke dunia politik dan berhasil terpilih menjadi Walikota Solo. Jabatan yang menjadi pijakan awal karir Presiden Jokowi di dunia politik dan birokrasi.
Memang Gibran tidak menempelkan sendiri gelar Gus di depan namanya. Panggilan Gus Gibran justru dilontarkan oleh petinggi NU.
Mengutip berita lansiran detik.com, bukan hanya satu tapi dua petinggi PWNU DKI Jakarta kompak menyebut Gus Gibran dalam sambutannya pada acara donor darah yang digelar PWNU DKI Jakarta yang juga dihadiri Wagub DKI, Ahmad Riza Patria.
Ketua Satgas Donor Darah dan Plasma Konvalasen PWNU DKI KH Asyik Samsul Huda dalam sambutannya mengatakan “Menurut hadis, khoirunnas anfauhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, PWNU DKI terus berusaha menjadi yang bermanfaat bagi masyarakat. PWNU sebelumnya berhasil menyelenggarakan NU Peduli Isoman dan sekarang PWNU DKI berhasil menyelenggarakan donor darah dan plasma konvalesen yang alhamdulillah sekarang ditinjau langsung oleh Wagub DKI Jakarta dan juga Gus Gibran, putra Presiden, yang langsung berangkat sendiri dari Solo”.
Lalu Ketua PWNU DKI Samsul Ma’arif mengatakan “Penyelenggaraan vaksinasi hingga sampai saat ini sudah dua puluh titik dan akan terus berjalan. Kita bekerja sama dengan TNI-Polri, dengan pemerintah DKI Jakarta. Semua sudah hadir, mulai Panglima, Kapolri, Wakapolri, Pangdam, Gubernur, Wakil Gubernur, Wali Kota. Apalagi acara kali ini kita kedatangan putra Presiden, Gus Gibran“.
Selain keduanya kompak menyebut Gus Gibran, keduanya juga sama-sama menyebut kalau sosok yang dipanggil Gus Gibran ini sebagai “putera Presiden”. Tidak ada yang menyebut Walikota Solo, jabatan resmi yang diembannya.
Apakah kedua petinggi NU itu juga punya pikiran yang sama dengan saya? Apakah anda-anda sekalian juga punya pikiran yang sama dengan saya?
Ngapain Walikota Solo hadir pada acara yang digelar di wilayah lain?
Diundang kah?
Mestinya ya.
Ngapain ujug-ujug dateng kalo nggak diundang kan?
Tapi kalau iya diundang, pertanyaannya ngapain ngundang Kepala Daerah lain? Acaranya di wilayah DKI Jakarta, ngundang pejabat Pemda DKI jelas wajar. Lha koq Walikota Solo? Terus kenapa nggak mengundang Kepala Daerah lain juga? Bolehlah setidaknya yang dekat-dekat. Walikota Depok atau Walikota Bekasi misalnya. Atau Gubernur Jawa Barat.
Kalau mau mengundang putera Presiden, kenapa yang diundang putera Presiden yang kebetulan mengemban jabatan Kepala Daerah di wilayah yang nggak ada hubungan apa-apa dengan tempat penyenggaraan acara? Kenapa bukan Kaesang Pangarep saja, putera bungsu Presiden yang sama sekali tidak mengemban jabatan publik? Atau puteri Presiden, Kahiyang Ayu? Memang dia isteri Walikota Medan, tapi setidaknya yang Kepala Daerah suaminya, bukan dia.
Dalam berita yang sama Ketua PWNU DKI Samsul Ma’arif langsung memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul di benak saya itu. Kyai Samsul berpendapat Gibran sudah waktunya memimpin cakupan wilayah yang lebih besar lagi. Jakarta, dianggap Kyai Samsul, sebagai wilayah yang cocok untuk dipimpin Gibran.
Sementara mengenai panggilan Gus Gibran, Kyai Samsul menjelaskan “Arti panggilan Gus Gibran adalah generasi muda pemimpin. Generasi muda yang sudah waktunya menjadi pemimpin”.
Jadi sepertinya tujuan tersiratnya sudah sangat jelas. Kedua petinggi PWNU DKI ini menjadi inisiator mendorong Gibran untuk segera mengikuti jejak sang ayah, dari Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Setuju?
Kalau saya sih iyes!