Setelah lebih dari 20 tahun terparkir, prototype pesawat kebanggaan anak bangsa N250 akhirnya diberangkatkan menuju tempat peristirahatan terakhirnya di museum kedirgantaraan milik TNI Angkatan Udara di Yogyakarta. Padahal bukan hanya terbukti bisa terbang, N250 hanya tinggal selangkah lagi menuju produksi masal.

Sebagai anak bangsa, ada rasa sesak melihat badan pesawat dipreteli lalu diangkut truk berukuran raksasa yang akan membawanya dari Bandung tempatnya dilahirkan menuju Yogyakarta dimana dia akan beristirahat selamanya.

Saya pengagum sosok mendiang BJ Habibie sejak SD. Sejak di rumah ada TV. Sejak saya bisa baca. Kegemaran saya membaca yang masih terbawa sampai sekarang pun berawal dari kekaguman itu. Konon Habibie kecil sangat gemar membaca. Meskipun ternyata mengikuti kegemarannya membaca tidak cukup untuk membuat saya jadi seperti Bj Habibie, setidaknya kedekatan emosial dari kekaguman itu cukup untuk membuat saya turut merasakan kepedihan saat apa yang diperjuangkannya berpuluh-puluh tahun hancur bersama ambruknya perekonomian Indonesia yang terbukti terlalu rapuh untuk bertahan menghadapi krisis.

Beberapa bulan lalu, berpulangnya aktor Ashraf Sinclair membawa pikiran saya menerawang kembali pada film Habibie dan Ainun dimana Bunga Citra Lestari, istri Ashraf, selain memerankan sosok Hasri Ainun Habibie juga menyanyikan lagu Cinta Sejati yang menjadi soundtrack-nya.

Yang membuat saya menitikkan air mata saat menyaksikan film itu bukan romantisme kisah cinta antara Habibie dan Ainun atau haru biru kepedihan saat Ainun akhirnya menyerah terhadap penyakit yang merenggut nyawanya. Bukan pula prahara politik yang mengiringi perpindahan kekuasaan dari Presiden Soeharto, perjuangan Habibie membawa Indonesia keluar dari krisis, atau konstelasi politik saat Habibie mengakhiri jabatannya sebagai Presiden Indonesia ke-3. Yang membuat air mata saya sempat jatuh adalah moment saat Habibie, setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Presiden, didampingi Ainun yang masih nampak sehat saat itu, mengunjugi Sang Gatotkaca di Bandung.

Sayap Gatotkaca Dipatahkan IMF

Dipanggil pulang Presiden Soeharto untuk membangun pondasi ilmu pengetahuan dan teknologi tanah air, Habibie tanpa sungkan meninggalkan jabatan penting di perusahaan raksasa teknologi di Jerman, tempatnya belajar dan meniti karir sampai menjadi seorang ilmuwan terkemuka yang sangat dihormati. Memenuhi mandat Presiden Soeharto yang dipercayakan kepadanya, dari jabatannya sebagai Mentri Riset dan Teknologi, Habibie merancang dan setahap-demi setahap membangun kemandirian teknologi Indonesia.

30 tahun berlalu, Habibie menandai momentum keberhasilannya dengan melaksanakan uji terbang prototype pesawat yang sepenuhnya dirancang dan dibuat di tanah air oleh ahli-ahli Indonesia sendiri. Pesawat yang ditenggarai merupakan salah satu yang tercanggih di kelasnya saat itu mensejajarkan dengan sedikit bangsa-bangsa di dunia yang memiliki kemampuan membuat pesawat terbang. Kebagahiaab dan kebanggaan luar biasa yang nampak terlihat dari wajah Habibie dan Pak Harto saat itu juga menyebar ke seluruh tanah air, termasuk saya meskipun hanya bisa menyaksikannya di layar kaca. Merefleksikan kebanggaan bangsa Indonesia saat itu, Presiden Soeharto menyematkan nama Gatotkaca pada N250.

Sayangnya saat IPTN bersiap-siap melakukan produksi masal N250 sambil menunggu sertifikasi FAA yang memungkinkan IPTN untuk menjual N250 ke seluruh dunia, krisis ekonomi hebat melanda dunia.

Sebagai negara berkembang dengan fundamental ekonomi yang perlahan-lahan dibangun, Indonesia menjadi salah satu negara yang terhantam sangat parah. Salah satu indikasinya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika yang terjun bebas dari kisaran 2000-an sampai mencapai angka belasar ribu, dalam waktu yang sangat singkat. Untuk menghindarkan perekonomian Indonesia dari kehancuran, Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan lembaga keuangan dunia, IMF. Dalam kesepakatan itu IMF berkomitmen untuk membantu penguatan keuangan Indonesia dengan berbagai syarat.

Salah satu hal yang diinginkan IMF dan tidak bisa ditolak pemerintah Presiden Soeharto saat itu adalah menghentikan pengembangan N250.

Banyak fihak, termasuk saya, keinginan IMF yang dinilai tidak masuk akal itu didasari oleh keinginan negara-negara maju, yang menjadi “penyandang dana” IMF, untuk menyelamatkan industri kedirgantaraan mereka dari “ancaman” Indonesia melalui IPTN. Perlu dicatat, selain fakta bahwa N250 merupakan jenis pesawat yang tingkat kebutuhannya paling tinggi, IPTN juga langsung tancap gas mempersiapkan rancangan jenis-jenis pesawat lain, termasuk pesawat bermesin jet. IPTN sedang bertransformasi menjadi pesaing sepadan dengan Airbus milik Amerika Serikat dan Boing yang dimiliki oleh konsorsium beberapa negara maju di Eropa. Karena itu IPTN harus digagalkan, N250 harus disuntik mati.

Dalam sebuah wawancara televisi beberapa tahun lalu, tidak kurang dari Habibie sendiri yang menyatakan keheranannya akan tuntutan IMF yang menghancurkan impian Indonesia yang puluhan dibangunnya itu. Menurut Habibie, meskipun keuangan Indonesia saat itu hanya bisa bertahan hidup dengan bantuan “infus” dari IMF, IPTN adalah merupakan BUMN yang keuangannya terpisah dari keuangan negara. Sebagai sebuah BUMN, IPTN bisa mencari uang sendiri untuk membiaya proyek-proyeknya sampai bisa menghasilkan uang.

Semoga dari tempat peristirahatannya Gatorkaca bisa menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk terus berkarya membangun kemandirian.