Drama penantian panjang calon Walikota Surabaya usungan PDI Perjuangan usai sudah. Siang tadi Puan Maharani, Ketua DPP PDIP yang juga putri Ketua Umum Megawati, membacakan daftar Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah untuk sejumlah daerah di tanah air, termasuk Kota Surabaya.
Untuk gelaran Pilkada yang akan datang, ini merupakan pengumuman Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah usungan PDIP gelombang kesekian. Spertinya pada setiap gelombang PDIP menjawab pertanyaan besar yang menjadi bola liar di kalangan publik. Pada pengumuman gelombang sebelum-sebelumnya PDIP menjawab pertanyaan besar mengenai nasib putra sulung Presiden Jokowi yang akhirnya mendapat rekomendasi untuk maju menjadi Calon Walikota Solo dan mantu Presiden Jokowi menjadi Calon Walikota Medan.
Kali ini PDIP menjawab pertanyaan mengenai calon penerus Tri Rismaharini, Walikota Surabaya dua periode yang kesuksesannya bukan hanya dinikmati masyarakat Kota Surabaya tapi juga dikagumi mayoritas rakyat Indonesia bahkan diakui dunia.
Untuk menggantikan Bu Risma, Bu Mega selaku Ketum PDIP yang memegang hak prerogatif untuk memberikan tiket Pilkada memilih sosok birokrat muda bernama Eri Cahyadi.
Sosok Eri rasanya seperti datang dari negeri antah berantah. Publik baru mulai terbiasa mendengar namanya dalam beberapa hari, atau mungkin minggu, terakhir setelah muncul pemberitaan bahwa Eri merupakan sosok yang diajukan oleh Bu Risma kepada DPP PDIP. Sejak itu baliho yang menampilkan wajah dan namanya mulai ramai menyemarakkan jalanan Kota Surabaya.
Meskipun disokong Bu Risma yang dikenal memiliki kedekatan pribadi dengan Bu Mega, disandingkan dalam perebutan tiket Pilkada dengan tokoh-tokoh senior PDIP, tadinya sosok Eri terasa seperti “underdog”. Sebagai bakal calon yang disebut-sebut paling kuat ada Wishnu Sakti Buana yang saat ini memegang jabatan Wakil Walikota Surabaya mendampingi Bu Risma. Kemudian ada Armuji yang selama empat periode menjadi anggota DPRD mewakili PDIP, pernah menjadi Ketua DPRD dan pernah menjadi Ketua DPC PDIP. Ada juga sosok Puti Guntur Soekarno, keponakan Bu Mega yang saat ini menjadi wakil rakyat di Senayan. Hadir pada acara pengumuman itu, Wishnu dan Puti nampak percaya diri. Sementara Eri tidak hadir.
Nyatanya Bu Mega lebih memilih untuk memberikan tiket Pilkada kepada sosok anak muda yang direkomendasikan Bu Risma ini. Sebagai pendampingnya, Bu Mega memilih sosok Armuji, yang sempat mendeklarasikan diri maju tapi kemudian mengurungkan niatnya.
Eri masih muda. Usianya baru 41 tahun. Meniti karir di lingkungan Pemkot Surabaya, Eri memang menjalani sebagian besar karirnya sebagai anak buah Bu Risma. Konon karirnya memang sangat moncer. Usia kepala 3 Eri sudah menduduki jabatan Kadis. Belakangan Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengakui kalau Eri memang sudah lama dipersiapkan Bu Risma untuk menjadi penggantinya.
Lebih menariknya lagi, jalan Eri menuju kursi Walikota Surabaya terasa seperti mengulang jalan yang pernah ditempuh Bu Risma. Sama-sama berkarir di Pemkot Surabaya yang artinya bukan kader PDIP pada saat pertama kali dicalonkan, bahkan jabatan yang mereka duduki pun sama Kadis Kebersihan dan Pertamanan serta Kepala Badan Penataan Kota. Sepertinya selepas mengantongi tiket, jalan Eri juga akan cukup berat karena di dalam tubuh PDIP sendiri ada sosok-sosok penting yang berharap dan gigit jari.
Dari sudut pandang saya, penunjukkan Eri untuk maju di Pilkada Kota Surabaya sekali lagi menunjukkan bahwa meskipun usianya tidaklah muda, tapi Bu Mega bukan pemimpin konservatif apalagi kolot. Bu Mega sekali lagi menampilkan dirinya sebagai pemimpin progresif yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi sosok-sosok muda yang diyakininya dapat membawa perubahan.
Tentunya langkah ini bukan tanpa resiko. Menjatuhkan pilihan pada sosok muda yang tadinya berkiprah diluar jalur politik tentu mengecewakan tokoh-tokoh senior yang lama berjuang membangun PDIP, meniti karir politik dari bawah. Dalam kasus Surabaya, bahkan ada sosok-sosok yang bukan sekedar kader. Wishnu adalah anak kandung Sutjipto, tokoh PDIP yang berjuang berdarah-darah bersama Bu Mega saat PDIP berhadapan dengan tekanan rezim Orde Baru. Dalam diri Puti mengalir darah Sang Pemimpin Besar Revolusi, dia anak Guntur Soekarno.
Meskipun di depan Bu Mega Wishnu lantang mengatakan “Siap!”, kecewa sudah pasti. Apakah mereka akan legowo? Itulah hebatnya Bu Mega. Kita lihat bagaimana Solo bergejolak saat Gibran melesat menjadi bakal calon alternatif dan akhirnya mendapatkan tiket untuk maju menjadi Calon Walikota. Setelah rekomendasi Bu Mega turun, semua manut.
Saya bukan orang Surabaya. Tapi melihat bagaimana kondisi kota itu setelah 10 tahun dipimpin Bu Risma saya ikut khawatir saat masa jabatan beliau mendekati akhir dan tidak dapat dicalonkan lagi.
Jangan-jangan Surabaya bernasib seperti DKI Jakarta.
Munculnya Eri sebagai calon pengganti memberi harapan baru. Di tangan sosok yang memang digemblengnya sendiri, semoga kerja keras Bu Risma akan terjaga bahkan semakin baik.