Kata “anjay” mendadak naik daun menyusul beredarnya larangan penggunaan kata itu oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak alias Komnas PA. Koq bisa Komnas PA mengurusi urusan penggunaan kata? Entahlah. Memang sepertinya perilaku (sok) sibuk ngurusin uruasan yang bukan bidangnya sementara banyak urusan yang merupakan tanggung jawabnya tak nampak tersentuh sedang ngetren. Jadi ya nggak usah heran. Nggak perlu juga dipertanyakan.

Memang kalimat yang digunakan menghimbau untuk tidak menggunakan. Tapi kalau menghimbau dan langsung menghubungkannya dengan ancaman pidana, artinya beda lah.

Kesannya seperti pengen tegas melarang tapi sadar nggak punya kewenangan. Jadilah memilih kata menghimbau tapi langsung dikaitkan dengan hukum yang tentu penegakkannya juga bukan kewenaangan mereka. Lagi-lagi, yang ambigu-ambigu begitu sekarang memang lagi marak. Bukankah di awal-awal pandemi Covid-19 merebak, penggunaan masker juga hanya sekedar himbauan?

Tentu petinggi lembaga yang bersangkutan punya argumen untuk “menghalalkan” tindakannya. Arist Merdeka Sirait sang ketua mengatakan bahwa jika kata itu dipakai ternadap anak-anak bisa dikategorikan bullying alias kekerasan verbal yang ada ancaman pidananya.

Larangan penggunaan kata “anjay” ini konon bermula dari aktivis media sosial bernama Lutfi Agizal yang sukses mendadak beken setelah pengaduannya kepada Komnas PA berbuah respon berupa terbitnya surat edaran resmi itu. Selain membuat pengaduan ke Komnas PA dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lutfi juga membahas kata “anjay” ini dalam video bertajuk “NGOMONG ANJAY BISA MERUSAK MORAL BANGSA!!!” yang ditayangkan di kanal Youtube.

Kalau saya pribadi sih melihatnya mempersoalkan kata “anjay” ini mengada-ada. Kehebohan nggak penting blas dalam kondisi dimana kita sedang dihadapkan dengan banyak hal penting yang harus diselesaikan. Komnas PA dan KPAI sendiri juga bukannya sedang santai tanpa tumpukan PR. Lha koq sempet-sempetnya buang waktu ngurusin beginian. Yang bener aja!

Ada banyak kata lain yang lebih kasar in any ways. Goblok, bebal, atau brengsek misalnya. Ada juga kata-kata yang bisa menjadi kasar tergantung penggunaanya. Misalnya saja nama-nama hewan. Salah satunya nama binatang yang kemudian diplesetkan menjadi kata ‘anjay’ itu, anjing. Ada juga sejumlah nama hewan lain yang biasa dipergunakan untuk memaki, babi atau kadal misalnya. Kata yang menerangkan keadaan sering juga dipergunakan untuk mencaci. Gila, bodoh atau jelek misalnya. Kondisi fisik seseorang bisa juga menjadi bahan cacian bahkan hinaan, misalnya saja pesek, cungkring, bengkak, dll.

Bahkan warna pun bisa menjadi cacian kalau memang digunakan dalam kalimat yang memang diausun untuk mencaci. Kita tahu kalau dalam kultur kita, warna kulit terang seperti putih atau kuning mendapat nilai lebih baik, sebaliknya untuk warna kulit gelap. Tidak jarang kita mendengar orang mencaci “Dasar item lu!” Padahal kata hitam bukanlah kata yang jelek. Misalnya saja kita mengatakan “Presiden hadir dalam pakaian lengkap, dengan jas hitam dan dasi merah.”

Anjing yang katanya merupakan “kata dasar” dari kata “anjay” yang diributkan itupun bukanlah kata yang serta-merta buruk. Para dog lovers bahkan menghubungkan anjing dengan karakter-karakter positif seperti setia, tangguh, dan cerdas. Jangankan dimaki dengan kata “anjay”, dengan kata ” anjing”-pun paling cuman sekedar nyengir.

Persoalannya Bukan Kata

Saya fikir baik Lutfi maupun Komnas PA harusnya melihat dengan perspektif yang lebih luas. Bukan kata “anjay”-nya yang harus dipermasalahkan, tapi attitude yang kerap menggunakan kekerasan verbal atau bullying dalam berkomunikasi.

Bukan hanya kata, alat pun bisa menjadi persoalan yang sama. Lalu apa iya mau dipersoalkan? Misalnya saja pisau. Baru-baru ini tersiar berita 4 orang sekeluarga dibunuh dengan pisau dapur. Apa kemudian kita akan melarang atau menghimbau untuk tidak menggunakan pisau? Lalu pake apa kita motong-motong labu siam buat ditumis? Pake golok? Kalau ada rumah dipergunakan segelintir orang untuk memproduksi ekstasi apa kita akan dihimbau untuk tidur di pos kamling? Karena ada artis ditangkap sedang melayani pria hidung belang di kamar hotel kemudian kita dihimbau tidur di tenda saat berlibur?

Masalahnya bukan kata-nya. Masalahnya perilaku orang. Di tangan orang yang memiliki itikad buruk, kata bisa dia pakai untuk membully, pisau bisa dipakai untuk membunuh, rumah bisa dipakai untuk memproduksi narkoba, hotel bisa dipakai esek-esek. Persoalkanlah perilaku manusianya. Perbaikilah moralitas manusianya.

Dalam caption postingannya Lutfi sendiri menuliskan kalimat “Wahai kaum Anjay. Skakmat kau !!! Bagaikan setan yang kepanasan melihat sebuah edukasi dari bahaya kaya Anjay. Masih mau ngomong Anjay lagi ? Think again !” Artinya dia mencap mereka yang tidak sependapat dengannya sebutan “kaum anjay” kata yang menururnya demikian buruk sehingga harus dienyahkan dari muka bumi. Dia juga menganalogikan mereka yang mengemukakan pendapat yang berseberanganan dengannya dengan ungkapan “bagaikan setan yang kepanasan”.

Dia stand against kata anjay. Tapi dia mempraktekan perilaku menggunakan kata-kata tertentu untuk mencaci orang lain.

Simbol Persahabatan

Dalam lingkungan pergaulan saat aaya masih kuliah dulu, cowok kuliahan di Kota Kembang, ada satu kebiasaan dimana kita memanggil teman akrab dengan sebutan “anjing”. Konon kan itu merupakan ” kata dasar” dari “anjay”.

Misalnya saat kita nongkrong-nongkrong lalu ada teman lewat kita bilang “Rek kamana anjing? Kadieu heula, ngopi, ngudud, ngobrol, mani dines pisan!” Terjemahannya kurang lebih “Mau kemana anjing? Sini dulu, ngopi, rokokan, ngobrol, buru-buru amat sih!” Apakah yang dipanggil “anjing” akan marah? Sama sekali nggak. Nyengir, nyamperin, ngabisin segelas kopi dulu, sebatang dua batang rokok dulu, ngobrol pastinya, ketawa ketiwi, baru lanjut jalan kalo memang ada urusan, kalo nggak lupa.

Hanya mereka yang sangat akrab yang saling memanggil “anjing”, otherwise bisa jadi perkelahian fisik.

Dalam lingkungan tertentu, “anjing” alias “anjay” justru simbol persahabatan.