Sejumlah pejabat daerah dapanggil untuk dimintai keterangan oleh polisi sehubungan dengan berkumpulnya masa salam jumlah besar dalam sejumlah acara yang digelar Front Pembela Islam menyusul kepulangan sang Imam Besar, Al Habib Muhammad Rizieq Shihab, yang lebih dari tiga tahun terakhir bermukim di Arab Saudi.
Yang menjadi sorotan polisi adalah acara yang digelar si sekitar tempat tinggal Habib Riziek di kawasan Petamburan, Jakarta dan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Konon dari RT / RW, Lurah / Kades, Camat, Bupati / Walikota, sampai Gubernur yang kewenangannya meliputi kedua tempat tersebut tidak luput dari panggilan polisi.
Kalau pejabat-pejabat papan bawah pemanggilannya luput dari perhatian publik, yang sekelas Gubernur dan Wakil Gubernur ceritanya sama sekali berbeda. Portal-portal berita ramai meliput. Demikian juga portal-portal media sosial yang tidak kalah riuh rendah dengan aneka pendapat, baik yang pro maupun kontra.
Apalagi dua Gubernur yang wilayahnya meliputi kedua tempat itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil merupakan sosok-sosok Gubernur populer yang selalu menjadi sorotan publik.
Apalagi lagi kedua Gubernur itu sebelumnya sempat membuat manuver yang menyiratkan dukungan terhadap FPI dan Habib Riziek. Sehari setelah Habib Riziek mendarat di tanah air, Pak Anies sowan ke kediamannya di Petamburan. Sejurus kemudian Kang Emil diberitakan mengemukakan rencana untuk melakukan hal yang sama dengan dalih menjaga silaturahim.
Wagub DKI, Ahmad Riza Patria, yang pertama diundang. Sebelumnya diberitakan kalau beliau hadir di pada acara peringatan Maulid di kawasan Tebet, Jakarta, yang juga dihadiri Habib Riziek. Selang beberapa hari giliran Pak Anies memenuhi undangan polisi. Istilah yang dipakai polisi memang bukan panggilan untuk diperiksa tapi undangan untuk dimintai klarifikasi.
Tidak ada yang terlalu menarik dari kedua peristiwa itu. Pernyataan Pak Wagub dan Pak Gub maupun keterangan dari pihak kepolisian cenderung datar dan normatif.
Kang Emil beda sendiri. Diundang paling akhir, setelah Wagub dan Gub DKI Jakarta, setelah selesai memenuhi undangan polisi, Gubernur Jawa Barat ini membuat pernyataan yang menarik perhatian. Bukan soal polisi, bukan soal materi yang diklarifikasi, bukan juga soal peristiwa yang membuatnya dimintai klarifikasi, tapi soal pejabat lain di tingkat yang lebih tinggi, Pemerintah Pusar. Seorang Menteri, tepatnya Menteri Koordinator.
Adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof. Mohammad Mahfud MD, yang “ditunjuk hidung” oleh Kang Emil sebagai sosok yang seharusnya paling bertanggung jawab atas rangkaian pelanggaran protokol kesehatan darurat yang diberlakukan pemerintah untuk menahan laju penyebaran pandemi Covid-19 yang melanda dunia setahun terakhir ini.
Kang Emil berpendapat bahwa rangkaian acara yang digelar FPI dan HRS di wilayah Jakarta dan Jawa Barat itu merupakan buntut dari penjemputan HRS yang secara eksplisit mendapat lampu hijau dari Pak Mahfud. Lebih lanjut dijelaskanya akibat dari penjemputan yang juga menyebabkan kerumunan masa itu diijinkan, baik fihak FPI dan HRS maupun para pejabat daerah kemudian mendapat kesan kalau kegiatan yang menyebabkan kerumunan bukan sesuatu yang terlarang, meskipun saat ini kita berada di tengah pandemi.
Karena itu Kang Emil keberatan kalau hanya pejabat daerah seperti dirinya yang dimintai klarifikasi kepolisian, sementara pejabat yang dianggapnya lebih bertanggung jawab karena kebijakannya menjadi pemicu pelanggaran yang dipersoalkan.
Ketidakdilan merupakan kata yang ditekankannya saat membuat pernyataan di depan pers yang mencegatnya usai dimintai keterangan oleh polisi. Menurutnya tidak adil kalau hanya pejabat-pejabat daerah seperti dirinya yang dimintai klarifikasi polisi. Biar adil haruanya Pak Mahfud juga. Begitu kurang lebih kesimpulan yang saya tangkap dari kata-katanya.
Undangan Polisi Bukan Hukuman
Saya sedikit heran dengan jalan pikiran Kang Emil. Sepertinya beliau merasa undangan polisi untuk dimintai klarifikasi itu sebuah bentuk hukuman, sehingga karena ada orang lain yang dinilainya juga bertanggug jawab tetapi tidak diundang untuk klarifikasi, beliau merasa diperlakukan tidak adil.
Tidakkah belau paham kalau panggilan pemeriksaan, apalagi sekedar undangan klarifikasi, itu salah satu langkah polisi mengungkap kebenaran dengan memahami situasinya secara menyeluruh? Siapa yang keterangannya diperlukan oleh polisi akan ditanyai. Sebaliknya mereka yang tidak diperlukan keterangannya buat apa ditanyai. Kalaupun diundang mau ditanyai apa?
Apalagi spesifik Kang Emil kan fokusnya pada kejadian di Megamendung. Wajarlah kalau Kang Emil selaku Gubernur Jawa Barat yang ditanya. Bukankah spesifik dalam kasus Megamendung sebetulnya Pak Anies pun tidak ditanyai polisi?
Adapun mengenai Pak Mahfud, bisa saja kalau kedua Gubernur, Pak Anies dalam kasus Petamburan dan Kang Emil dalam kasus Megamendung memberikan ketetangan yang sama pada polisi, bahwa pemicu kedua kejadian itu adalah izin yang diberikan Pak Mahfud untuk penjemputan HRS di hari kedatangannya, polisi kemudian mengundanhnya untuk diklarifikasi juga.
Dengan tingkat intelektualitas yang tercermin dari prestasinya, saya yakin Kang Emil sangat tahu itu. Kalau beliau membuat pernyataan yang mengesankan seolah-olah beliau dizalimi, saya lebih mengartikannya sebagai sebuah manuver alih-alih sekedar ungkapan perasaan yang terlalu lebay.
Playing victim kah?
Cermin Fikirannya Sendiri
Saya mencoba memahami lebih lanjut ungkapan Kang Emil kalau ijin yang diberikan Pak Mahfud untuk penjemputan itu bisa membuat baik fihak FPI dan HRS maupun para pejabat daerah mengira kalau acara yang membuat kerumunan itu diijinkan.
Benarkah begitu?
Bukannya protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 ini sudah sangat jelas? Kalau masyarakat awam mungkin masih punya keraguan, masih bertanya-tanya apa yang boleh apa yang nggak, sekelas pejabat daerah apalagi seorang Gubernur harusnya paling tahu. Mana mungkin sesuatu yang sejelas itu, hitam di atas putih, bisa menjadi tidak jelas hanya karena sesuatu yang berlabel “kesan”.
Bukannya penerapan protokol kesehatan di setiap daerah itu merupakan kewenangan kepala daerah, dengan memperhatikan arahan pusat dan kondisi daerahnya sendiri? Artinya yang dilanggar dalam kejadian Megamendung itu aturan yang ditetapkan Kang Emil sendiri.
Kalau aturan yang ditetapkannya sendiri dilanggar lalu saat polisi meminta klarifikasi kepadanya malah merasa diperlakukan tidak adil, bukannya malah aneh ya? Bukannya mestinya beliau tinggal bilang “Betul Pak Polisi, mereka melanggar aturan yang saya tetapkan, tangkap aja Pak!”.
Apakah mungkin mengartikan ijin Pak Mahfud saat penjemputan itu berlaku terus menerus itulah sebetulnya yang ada di fikiran Kang Emil sendiri sehingga tidak merasa ada yang salah saat di Megamendung terjadi pelanggaran?