Heboh munculnya buronan korupsi yang sudah bertahun-tahun kabur ke luar negeri di tanah air membuat geger. Apalagi layaknya orang tak berdosa, dia nampak santai keluar masuk kantor-kantor pemerintahan, bahkan lembaga hukum. Mengurus KTP ke kelurahan dan kecamatan, sampai mengajukan berkas ke pengadilan. Bak sosok sakti mandraguna di film-film silat, saat mulut orang masih ternganga, Djoko Soegiarto Tjandra alias Joker telah kembali menghilang bak ditelan bumi.
Tiba-tiba kehebohan yang mungkin bahkan lebih besar menyeruak ke permukaan. Selembar surat jalan yang membuat Joker bisa terbang dari Jakarta menuju Pontianak dari mana dia ditenggarai menyelinap ke negeri jiran beredar di ruang publik. Disusul selembar surat lain menjelaskan bagaimana dia bisa melakukan perjalanan antar kota bahkan antar pulau dengan pesawat terbang di tengah pandemi. Padahal banyak kota ditutup, pintu keluar masuk setiap wilayah dijaga ketat, dan tanpa aneka surat dan pemeriksaan berlapis, mustahil orang bisa duduk di kursi pesawat.
Pejabat-pejabat polisi yang sesaat nampak santai menanggapi beredarnya dokumen-dokumen itu kemudian nampak berbalik arah. Bergerak cepat, sejumlah jendral polisi tergusur karena ditemukan terbukti bertanggung jawab atas terbitnya dokumen-dokumen yang memungkinkan Joker bisa meninggalkab Jakarta dan masuk ke Pontianak tanpa hambatan. Bahkan salah satu diantaranya konon menyertai si buron dalam penerbangan itu. Apa maksudnya? Kebetulan ada keperluan ke tempat yang sama? Sekedar nemenin ngobrol? Atau malah mengawal? Entahlah. Sejauh ini detailnya tidak pernah terdengar.
Melambat lagi, untuk beberapa waktu, selain pemeriksaan mereka yang dianggap terlibat, kasus lolosnya Joker kembali ke luar negeri tinggal sayup-sayup terdengar. Para pejabat seakan enggan menjawab cecaran awak media. Diam seribu bahasa, kalaupun bicara hanya penggalan-penggalan pendek normatif saja yang terucap. Saat itu, rasa-rasanya cerita lama akan kembali berulang. Korban berjatuhan sementara si buron nyaman menonton dari pelariannya di luar negeri. Atau bahkan menontonpun tidak. Peduli apa? Logika saja, gak masuk akal juga toh kalau mereka yang tergusur itu rela mengambil resiko demikian besar tanpa imbalan sepadan.
Tiba-tiba hari ini Joker tertangkap di Malaysia dan langsung diterbangkan ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung, Kabareskrim yang seorang jendral bintang tiga berangkat menjemputnya. Gak usah lebay. Belum apa-apa dibandingkan buronan korupsi lain yang pulang dijemput mentri.
Buronan yang sudah bertahun-tahun berkeliaran di luar negeri, bahkan dikabarkan sering menyelinap pulang, bisa ditangkap hanya dalam hitungan minggu. Bertahun-tahun. Kasusnya mulai diusut tahun 1999. Menyandang status buron sejak tahun 2009. Artinya berapa tahun itu? 11 tahun.
Hebat? Prestasi luar biasa?
Menurut berita yang dilansir detik.com disebutkan bahwa operasi penangkapan itu dilaksanakan oleh sebuah tim khusus yang dibentuk menyusul perintah langsung Presiden Jokowi kepada Kapolri untuk menangkap Joker. Miris. Bukankah menangkap penjahat itu memang tugas kepolisian? Pantesan maling motor yang paling banter merugikan korban beberapa juta saja jarang ketangkep. Lha koruptor yang merugikan negara ratusan milyar saja baru bisa tertangkap setelah diperintah langsung Kepala Negara. Setelah diperintah Presiden, ternyata buronan yang bertahun-tahun nggak ketangkep-tangkep itu bisa ditangkap dalam waktu singkat.
Dua hal yang menarik disitu. Pertama ternyata kemampuan polisi itu ternyats sangat mumpuni. Buronan yang bertahun-tahun kabur ke luar negeri pun bisa ditangkap dalam waktu singkat. Tapi yang kedua menyangkut komitmen. Sebesar apa komitmen Polri menjalankan tugas kalau sesuatu yang bisa diselesailan dalam waktu singkat saja baru terselesaikan setelah diperintah Presiden. Jadi bertahun-tahun ini kemana saja? Disengaja kah?
Berita lain yang juga dilansir media yang sama, detik.com, memuat pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD. Beliau nampak santai mengatakan bahwa operasi penangkapan itu disusun dilaksanakan dengan tingkat kerahasiaan sangat tinggi. Hanya empat pejabat tinggi yang mengetahuinya. Presiden dan Menko Polhukam serta pucuk pimpinan kepolisian yaitu Kapolri dan Kabareskrim.
Pertanyaan baru muncul. Demikian rentankah institusi-institusi penegakan hukum negeri ini, sehingga operasi seperti itu baru bisa berjalan saat dilaksanakan dengan sangat rahasia. Apa ini artinya kalau lebih banyak orang yang tahu jadi banyak orang yang bersedia menjual dirinya menjadi pengkianat dan membocorkannya pada target? Mungin sebetulnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Bukannya pejabat-pejabat yang memungkinkan Joker keluar dari Jakarta menuju Pontianak lalu kabur lagi ke luar negeri juga pejabat-pejabat tinggi yang menyandang bintang di pundaknya?
Mudah-mudahan kasus ini menjadi momentum bagi Presiden dan Kapolri untuk membersihkan kepolisian dan instansi-instansi penegakan hukum lain dari tikus-tikus pengkhianat yang alih-alih bekerja untuk bangsa dan negara malah membantu maling-maling busuk merampok bangsa dan negara.