Akankah pada akhirnya Kang Emil berpartai?

Pertanyaan itu sudah muncul di pikiran saya sejak Kang Emil, panggilan karib Gubernur Jawa Barat, Dr. (H.C.) H. Ridwan Kamil S.T., M.U.D. sedang menggalang dukungan politik untuk langkahnya maju dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat sekitar 3 tahunan lalu.

Nah “Emang siapa sih Lu koq memanggil orang dengan panggilan karib padahal kenalpun kagak?” Ejek seorang teman dalam obrolan ringan warung kopi.

“Jangan salah Bro!” Timpal saya. “Gue kenal karib, dianya aja yang kagak”, ngeles ala debat kusir yang akhirnya hanya memancing tawa garing dan nyengir kuda.

Kusir dan kuda memang tak terpisahkan.

Sepertinya menyadari kalau untuk persaingan sesengit Pilkada Jabar, maju sebagai calon independen seperti saat dia memenangkan Pilkada Kota Bandung, kemungkinanya sangat kecil, sehingga dia lebih memilih untuk menggalang dukungan Parpol.

Manuver politik intensif membuat Kang Emil sukses maju dengan dukungan Parpol padahal dia bukan kader salah satu parpol pendukungnya itu. PPP (9 kursi), PKB (7 kursi), Nasdem(5 kursi), dan Hanura (3 kursi), memberi Kang Emil 24 kursi dari minimal 20 kursi yang diperlukan untuk meloloskan pasangan calon ke Pilkada Jabar kala itu.

Popularitasnya yang memang sangat moncer di Jawa Barat membuat Kang Emil seperti hanya perlu tiket untuk maju saja. Begitu namanya bisa lolos masuk Pilkada Jabar, lajunya sudah tidak terhadang lagi. Padahal calon-calon lainpun tidak kalah beken-beken. Dengan dukungan Parpol-Parpol raksasa dengan jam terbang segunung.

Ada pasangan Deddy Mizwar / Dedi Mulyadi yang didukung Golkar dan Demokrat dimana Deddy Mizwar “menukar” dukungan dengan masuk menjadi kader Demokrat, ada pasangan Sudrajat / Ahmad Syaikhu yang didukung Gerindra, PKS, dan PAN, lalu terakhir calon yang didukung satu-satunya Parpol yang kursi legislatifnya cukup untuk memajukan calon tanpa sokongan Parpol lain, PDIP, TB Hasanuddin / Anton Charliyan.

Lewat semua!

Bukan rahasia lagi kalau Kang Emil tidak cukup puas dengan meraih jabatan nomor satu di salah satu propinsi terbesar di tanah air. Nampaknya justru kursi itu dijadikan pijakan untuk menggapai kursi dengan tanggungan amanah yang lebih besar lagi. RI 1 alias Presiden Republik Indonesia.

Tapi …

Pertarungan di level tertinggi pastinya intensitasnya juga jauh lebih tinggi lagi.

Reputasi Kang Emil sebagai Walikota Bandung di kawasan Jawa Barat jauh lebih tinggi dari reputasinya sebagai Gubernur Jawa Barat di seluruh tanah air.

Kenapa bisa begitu?

Pertama tanggung jawab yang diemban Kang Emil sebagai Gubernur Jawa Barat kompleksitasnya jauh lebih tinggi sehingga keberhasilan gemilang dalam memimpin lebih sulit untuk dicapai dibandingkan saat dia memimpin Kota Bandung.

Kedua, ada Gubernur-Gubernur lain di Indonesia yang reputasinya setidaknya sebanding dengan Kang Emil. Sebut saja diantaranya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gibernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Itu belum termasuk sosok-sosok besar lain seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang sudah sangat berpengalaman bertarung di ajang pemilihan Presiden, Ketua DPR Puan Maharani yang juga putri Ketua Umum PDIP, partai yang memenangi dua Pilpres terakhir, atau Agus Harmurti Yudhoyono yang meskipun belum mengukir prestasi dan menumpuk pengalaman di ruang birokrasi tapi disokong sang ayah, satu-satunya mantan Presden di masa reformasi yang menjabat dua periode, Susilo Bambang Yudhoyono.

Di satu sisi, tanpa Parpol, Kang Emil punya keleluasaan untuk bersiap-siap.

Kalau PDIP tempat Ganjar Pranowo bernaung langsung menyemprit aktivitasnya di jagat maya karena dianggap terlalu vulgar menunjukkan keinginannya untuk maju di ajang Pilpres, Kang Emil bisa dengan santai melakukan lobby-lobby politik bahkan secara terbuka mengemukakan niatnya untuk maju di ajang Pilpres mendatang.

Tapi di sisi lain dia tidak punya mesin politik partai yang biasaya sudah lebih dahulu bekerja dalam senyap menggalang dukungan untuk nantinya diarahkan pada Capres yang diusungnya.

Kalau untuk Pilkada kemungkinan maju sebagai calon independen seperti yang dilakukan Kang Emil saat memenangi Pilkada Kota Bandung memang dimungkinkan. Tapi untuk Pilpres, kemungkinan itu bukan hanya berat tapi tidak ada. Kader Parpol atau bukan, dari sisi aturan, bukan masalah. Yang jelas harus didukung Parpol.

Hanya saja Parpol mana yang mau mendukung calon yang bukan kadernya sendiri kecuali partai-partai kecil yang memang tidak mungkin untuk mengajukan calon sendiri dan tidak mungkin menjadi “pemimpin” dalam gabungan Parpol untuk mengajukan Capres.

Syarat sebuah Parpol (atau gabungan Parpol) untuk mengajukan Capres adalah menguasai minimal 20% kursi DPR atau mendapat 25% suara sah dalam pemilu di tingkat nasional.

Komposisi Kursi DPR

Jumlah total: 575
Minimal 20%

  • PDIP 128 kursi (22,26%)
  • Golkar 85 kursi (14,78%)
  • Gerindra 78 kursi (13,57%)
  • Nasdem 59 kursi (10,26%)
  • PKB 58 kursi (10,09%)
  • Demokrat 54 kursi (9,39%)
  • PKS 50 kursi (8,7%)
  • PAN 44 kursi (7,65%)
  • PPP 19 kursi (3,3%)

Jumlah Suara Pileg

Minimal 25%

  • PDIP 27.503.961 (19,33%)
  • Gerindra 17.596.839 (12,57%)
  • Golkar 17.229.789 (12,31%)
  • Nasdem 12.661.792 (9,05%)
  • PKB 13.570.970 (9,69%)
  • PKS 11.493.663 (8,21%)
  • Demokrat 10.876.057 (7,77%)
  • PAN 9.572.623 (6,84%)
  • PPP 6.323.147 (4,52%)
  • Berkarya 2.902.495 (2,09%)
  • Perindo 3.738.320 (2,07%)
  • PSI 2.650.361(1,85%)
  • Hanura 2.161.507 (1,54%)
  • PBB 1.990.848 (0,79%)
  • Garuda 702.536 (0,5%)
  • PKPI 312.775 (0,22%)

Melihat angka-angka itu, hanya PDIP yang bisa mengajukan calon tanpa dukungan Parpol lain. Dengan banyak kader potensial di dalam tubuh PDIP sendiri, sebut saja yang paling moncer Ganjar Pranowo atau putri Bu Ketum Puan Maharani, apa iya PDIP mau mengambil calon dari luar partainya sendiri? Kader-kader yang loyalitas dan dedikasinya sudah sangat teruji?

Sepertinya kecuali elektabilitasnya demikian kencang sehingga kemenangan sudah seperti ada di tangan, hampir tidak mungkin PDIP mendukung Kang Emil.

Dan nyatanya elektabilitas Kang Emil juga belum cukup menjanjikan. Masih ada beberapa tokoh lain yang elektabilitasnya jauh lebih tinggi.

Gerindra dan Golkar dengan penguasaan kursi dan perolehan suara cukup signifikan mungkin akan memimpin koalisi beberapa partai untuk mendukung Capres mereka masing-masing. Sejauh ini yang berpeluang sepertinya masih Prabowo Subianto untuk Gerindra dan Airlangga Hartarto untuk Golkar.

Akankah Gerindra surut, tidak mencalonkan Prabowo Subianto dan memilih Kang Emil saja? Apakah Golkar mau mundur, tidak mengajukan Airlangga Hartarto saja?

Balik lagi ke soal elektabilitas.

Tapi sampai saat ini, pada kebanyakan survey baik Prabowo maupun Airlangga elektabilitasnya masih di atas Kang Emil. Airlangga sedikit lebih tinggi, Prabowo jauh banget lebih tinggi.

2024 masih jauh. Masih banyak hal bisa terjadi. Tidak akan ada partai yang dari sekarang mengunci dukungan pada sosok tertentu sebagai Capres. PDIP sekalipun.

Tapi dengan demikian banyak kekurangan yang harus dikejar, Kang Emil membuat pernyataan cukup mengejutkan. Siap menjadi kader Parpol.

Parpol manakah kira-kira?

Sepertinya kita masih harus menunggu cukup lama. Kang Emil sendiri mengatakan mungkin pertengahab 2022 dia akan mengumumkan pilihannya. Alasan yang disebut, perlu istikharah dulu.

Tapi saya kira alasan tersembunyinya sangat jelas, kalkulasi politiknya belum cukup meyakinkan.

Yang jelas sebagai warga Jawa Barat tentu saya berharap Kang Emil bukan hanya bisa mendapat tiket untuk maju pada gelaran Pilpres tapi juga memenangkannya.