Menteri Keuangan Sri Mulyani memupus impian banyak orang “susah” yang berharap bisa membeli mobil baru dengan harga super murah dalam skema penghapusan pajak di saat hampir semua dipaksa tiarap diterpa pandemi.
Buat saya pribadi saru-satunya ungkapan yang bisa saya sampaikan adalah “Terima kasih Bu Sri”.
Ungkapan terima kasih yang tulus, bukan sindiran. Keputusan Bu Sri menolak menghapuskan aneka macam pajak yang dibebankan pada pembelian mobil baru menujukkan sensitivitas beliau pada kondisi ekonomi saat ini sekaligus empati beliau pada situasi masyarakat.
Ada yang tidak setuju? Pastinya. Karena pada setiap keputusan, meskipun baik untuk mayoritas, selalu ada yang merasa dirugikan. Atau setidaknya potensi keuntungan yang sudah di depan mata tidak jadi diperoleh.
Bukankah saat polisi memutuskan untuk menangkap malingpun ada yang merasa dirugikan? Mereka yang dicuri hartanya diuntungkan. Kalaupun hartanya tidak kembali, setidaknya ada rasa lega. Masyarakat diuntungkan karena setidaknya potensi jadi korban jadi berkurang, ada sedikit rasa lebih aman. Tapi setidaknya si maling dan begundal-begundalnya jelas merasa dirugikan. Penadah yang mengambil keuntungan dengan membeli murah hasil jarahan dan menjualnya lagi dengan harga jauh lebih mahal. Bahkan maling-maling yang sudah meringkuk di sel pun mungkin merasa dirugikan, tempat ngasonya yang sudah sempit jadi makin sempit.
Belum lagi kalau itu maling ada bekingnya, yang menerima setoran dari setiap aksi kejahatan yang berhasil dilakukannya. Bisa jadi juga warung remang-remang tempat si maling bersenang-senang menghabiskan hasil jarahannya. Dan masih banyak lagi rangkaiannya.
Jadi kalau keputusan Bu Sri banyak yang mencibiri, nggak heran.
Bukan (untuk) Orang Susah
Usulan kebijakan pemotongan pajak sampai 0% untuk penjualan mobil baru jelas bukan kebijakan yang ditujukan untuk orang susah.
Saat hangat-hangatnya euphoria mobil pajak 0%, banyak yang berandai-andai. Seandainya semua pajak terkait penjualan mobil baru dihapuskan alias dijadikan 0%, harga mobil baru bisa turun sampai 40%. Artinya unit mobil yang biasanya dijual dengab harga 400 juta bisa dibawa pulang dengan membayar 240 juta saja.
Mau?
Kalo soal mau sih saya juga mau lah. Bisa bawa pulang HRV dengan harga Mobilio, siapa yang nggak ngiler? Kalau siap dana seharga HRV, bisa bergaya bawa Camry Hybrid. Kurang asik gimana kan? Yang sanggupnya beli motor sekelas 250cc pun bisa naik kelas beli mobil.
Tapi tetap saja kebijakan ini bukan buat orang susah. Mereka yang kehilangan penghasilan seperti para guide dan sopir freelance di Bali misalnya. Atau mereka yang dirumahkan dengan gaji alakadarnya, bahkan diberhentikan. Mau turun 40% bahkan turun lebih banyak lagipun tetep gak kepikir mereka beli mobil. Jangankan harga turun karena pajaknya dihapuskan. Dikasih gratispun belum tentu mereka sanggup beliin bensinnya.
Mereka yang kehilangan penghasilan, meskipun misalnya Avanza tanpa pajak bisa dibeli dengan harga di bawah 100 juta, tetep nggak sanggup beli. Lha buat makan aja susah koq. Malah jual mobil untuk sekedar bertahan hidup kalau mereka punya.
Golongan yang punya tapi terpaksa jual mobil ini malah terpukul dua kali kalau sampai kebijakan ini diluluskan Bu Sri. Setelah terpuruk akibat pandemi sehingga terpaksa menjual mobil untuk bertahan hidup, harga mobil bekas pasti jatuh sangat dalam kalau harga barunya turun drastis.
Salah Keberpihakan (akibat) Minim Empati
Sebetulnya tadinya kita adem ayem saja. Berjuang masing-masing untuk bertahan hidup dari deraan pandemi.
Ditengah keheningan itu tiba-tiba tersiar berita kalau seorang menteri mengusulkan untuk menghilanhkan pajak yang dibebankan pada penjualan mobil baru. Redaksinya memang bukan menghilangkan tapi memberikan diskon menjadi 0%. Tapi strategi tata kata model begini buat saya sih omong kosong. Diskon, pengurangan, keringanan, kalau yang tadinya ada jadi nggak ada ya tetap saja, hilang. Meskipun mungkin hanya untuk sementara. Sengaja saya tebalkan kata “mungkin”-nya.
Berita mengenai usulan itu segera disusul dengan analisa, hitung-hitungan, yang menyebut kalau seluruh pajak yang dibebankan pada penjualan mobil baru dibebaskan alias dijadikan 0%, bandrol harga mobil akan terdiskon lebih dari 40%. Angka yang jelas sangat besar.
Ajaibnya, ditengah kelesuan ekonomi yang sangat parah, saat banyak orang kehilangan penghasilan sehingga pemerintah terpaksa menggelontorkan bantuan, saat sebagian orang yang masih punya sedikit kelebihan simpanan dengan sukarela membagikan makanan gratis akibat banyaknya orang yang bahkan untuk sekedar makan saja susah, banyak orang ramai-ramai berharap kebijakan ini segera direalisasikan sehingga bisa memboyong mobil idaman ke garasi.
Sebut sajalah nama menteri yang membuat usulan itu. Menteri Perindustian, Agus Gumiwang Kartasasmita.
Pak Menperin berargumen bahwa diskon pajak bisa menggairahkan industri otomotif tanah air yang mengap-mengap karena badai pandemi membuat penjualan turun drastis.
Menangkis tudingan kalau usulan ini didasari keberpihakan terhadap pengusaha, yang persepsinya kaya raya dan kebal pandemi setidaknya dari sisi isi dompet, disebutkan bahwa industri otomotif ini memberi makan sekian banyak buruh, yang tentunya termasuk golongan ekonomi pas-pasan.
Salah?
Sekilas terdengar benar. Terdengar tidak salah. Bahkan terdengar bagus, karena ternyata dasarnya bukan keberpihakan kepada pengusaha tapi kepada rakyat kecil, buruh pada industri otomotif.
Tapi untuk jabatan sekelas menteri harusnya tidak berfikir parsial. Katakanlah karena beliau Menteri Perindustrian, beliau lupa mempertimbangkan aspek lain, seperti misalnya dana besar yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa mereka yang terinveksi, yang dibiaya dari uang pemerintah, dari pembayaran pajak. Tapi industri juga bukan hanya otomotif. Bagaimana dengan industri-industri lainnya? Apakan mereka tidak mengap-mengap juga? Apakah buruh mereka sudah makmur semua sehingga tidak perlu dikasihani dan dibuatkan usulan diskon pajak juga?
Industri otomotif, baru mengap-mengap. Tapi dalam kemengap-mengapannya itu, saya harus antri hampir setengah hari untuk mendapatkan layanan service rutin di bengkel resmi. Saat sambil menunggu aaya ngobrol dengan salah seroang sales, dia mengatakan kalau dia masih menjual unit, meskipun memang jumlahnya turun drastis. “PNS sekarang sasaran utama Mas”, terangnya.
Lha bagaimana dengan industri pariwisata? Hotel misalnya, banyak yang memilih tutup, yang tetap bukapun nggak dapat tamu.
Bukankah pajak dari sana sini, termasuk penjualan mobil, meskipun mungkin tidak sebesar biasa karena penjualannya juga turun drastis, bisa dipakai untuk membatu penderita Covid-19 tetap bernafas, membantu golongan yang sudah miskin kehilangan penghasilan pula tetap makan.
Tak terfikirkah ini oleh Pak Menteri?
Malah Menjerumuskan
Iming-iming harga murah bisa jadi malah menjerumuskan rakyat kecil. Mereka yang sebetulnya daya belinya rendah lalu diperparah badai pandemi, mungkin masih punya sedikit tabungan untuk bertahan hidup meskipun tanpa penghasilan. Lalu karena tergiur harga murah, memutuskan untuk menggunakan sebagian simpanannya untuk DP mobil baru.
Sudah simpanan berkurang, dibebani cicilan kredit pula. Lalu bagaimana mereka bertahan hidup? Bukankah lebih baik simpanannya tetap disimpan untuk dijadikan modal saat kondisi sudah memungkinkan untuk berusaha lagi?
PNS yang masih tetap mendapat penghasilan, alih-alih membantu kerabat atau tetangga yang kesulitan akibat pandemi, alih-alih menabung untuk pendidikan anak-anaknya kelak, malah tiba-tiba menghabiskan uangnya untuk membayar cicilan mobil baru.
Sungguh usulan “cerdas” dari Pak Menteri.