Gubernur DKI, Anies Basweden, baru-baru ini bicara mengenai banjir di wilayah yang dipimpinnya dengan membuat analogi. Menurutnya banjir di Jakarta itu ibarat gelas yang kalau dituangi air satu liter bakalan tumpah. Sungguh analogi absurd yang menggambarkan logika amburadul.
Kemacetan dan banjir masih tetap menjadi masalah klasik ibu kota yang berperiode-periode gubernur belum juga terselesaikan. Bahkan hasil kerja trio Jokowi – Ahok – Djarot yang sanggup membawa perubahan signifikan dalam mengatasi kedua persoalan yang seolah sudah menyatu dengab image Jakarta itupun sepertinya kembali memburuk seiring pergantian kepemimpinan ke tangan Anies Baswedan.
Kepada para pendukung Anies, yang pastinya tidak setuju dengan pernyataan di atas, mohon agar tidak baper. Itu pendapat pribadi saya yang bebas saya kemukakan dengan cara yang saya pilih. Kalau kalian punya pendapat berbeda, silahkan dikemukakan dengan cara kalian sendiri.
Jika gubernur dan jajarannya diharapkan konsisten memberi perhatian dan bekerja keras untuk menyelesaikannya, perhatian masyarakat selalu naik turun. Sorotan publik menguat saat musim hujan dimana Jakarta tidak pernah absen dari banjir, dan genangan banjir yang menutup sebagian jalan membuat kemacetan semakin parah.
Kali ini, tidak ada pengecualian. Saat trio Jokowi -Ahok – Djarot menjabat saja masyarakat masih tetap banyak yang mengeluh bahkan mencaci, padahal setiap musim hujan datang intensitas banjir selalu menunjukkan penurunan yang signifikan. Sekarang saat masyarakat justru melihat situasi setiap tahun semakin parah sejak Anies mulai memimpin pada bulan Oktober 2017, jelas keluhan dan teriakan caci maki juga semakin parah.
Sialnya jika trio Jokowi – Ahok – Djarot menanggapi keluhan dengan hadir di tengah masyarakat yang terdampak dan menjawab cacian dengan kerja nyata yang menghasilkan perbaikan, Anies lebih memilih untuk berkelit-kelit dengan bermain kata-kata sementara permasalahan bukannya membaik malah terus memburuk. Tidak terlalu mengherankan kalau kemudian tersemat istilah “Ahli Tata Kata” untuk Anies dari mereka yang membandingkannya dengan Wali Kota Surabaya yang sering diaebut-sebut sebagai “Ahli Tata Kota”.
Mengawali musim hujan tahun ini dimana Jakarta mulai disapa banjir, Anies kembali mengeluarkan jurus baru dari keahlian tata katanya.
Dikutip bebeberapa portal, Anies menganalogikan banjir di Jakarta seperti air di dalam gelas. “Kalau dituangi air satu liter, itu tumpah”, ucapnya.
Setelah ngakak guling-guling beberapa saat, saya mulai berfikir, koq ya bisa seorang Gubernur yang juga cendekiawan, sekolah di luar negeri, pernah jadi rektor, bahkan pernah jadi menteri pendidikan, koq bisa membuat analogi yang menurut saya yang pastinya tidak seterpelajar beliau, absurd. Logikanya sama sekali nggak masuk akal. Tapi mungkin karena beliau punya sederet atribut yang mengkonfirmasi kecerdasannya, bisa jadi sebetulnya saya yang goblok, yang akalnya terlalu sempit sehingga argumen beliau yang demikian cerdas itu nggak bisa masuk ke akal saya.
Rasa-rasanya semua orang waras tahu yang namanya gelaa. Gelas itu mengurung air tanpa saluran pembuangan. Satu-satunya jalan air masuk dan keluar adalah mulutnya yang di atas itu. Untuk mengeluarkan air yang ada di dalam gelas, tidak ada jalan laib selain diminum atau ditumpahkan. Kalau dituangi air lebih dari daya tampungnya, akan meluber. Begitulah fitrahnya gelas.
Dasar gelas tidak punya firah menyerap air.
Karena itu sebuah wilayah, dalam hal ini Kota Jakarta, tidak bisa dianalogikan dengan gelas. Air yang tumpah dan tidak terserap ke dalam tanah seperti fitrah yang pernah disebut Pak Anies, dialirkan keluar. Harusnya ke tempat yang lebih rendah. Karena memang demikianlah fitrahnya. Tapi kalau tidak, terpaksa dibuang ke tempat yang lebih tinggi, dengan pompa-pompa raksasa berkapasitas besar. Jangan dibandingkan dengan jet pump Sanyo buat nyedot air sumur apalagi pompa Dragon.
Jakarta, baik wilayahnya maupun saluran-saluran airnya, harus memiliki kapasitas cukup untuk mengalirkan air yang masuk dan tidak terserap agar langsung keluar tanpa sempat menggenang.
Pemerintah pasti punya ahli yang bisa memperhitungkan potensi maksimal air masuk sehingga bisa mrancang jalur untuk mengeluarkannya dengan kecepatan yang memadai, tanpa sempat menggenang dulu. Kalau Pemda DKI tidak punya ahli seperti itu, atau orang yang seharusnya memiliki keahlian seperti itu tapi ternyata tidak bisa menghitung dengan tepat, bubarkan saja TGUPP gambot yang boros anggaran itu.
Di telinga saya, pernyataan Anies itu lebih terdengar seperti kibaran bendera putih. Seperti mengatakan “Keadaanya udah begitu, air banyak, gak bisa keluar, ya banjir”, emang iya sih, kalo cuma segitu orang begok juga tau. Makanya ujung-ujungnya rasanya memang nggak ada harapan lagi. “Selama gw jadi gubernur jangan harap deh banjir berkurang apalagi ilang”, kurang lebih begitu. Kalau iya memang begitu maksudnya, ya beneran kibarkan bendera putih, mundur.
Jika di masa-masa kepemimpinan Jokowi – Ahok – Djarot dari waktu ke waktu kita terus mendengar berita berbagai macam pembangunan yang ujung-ujungnya untuk mengurangi banjir, di masa kepemimpinan Anies berita-berita seperti itu memang tidak pernah lagi terdengar. Pengerukan waduk, pelebaran sungai, pembanginan turap untuk memperkuat dinding tepian sungai, membangun rusun untuk menampung mereka yang tergusur normalisasi, tak pernah terdengar lagi.
Yang ada malah pembangunan fisik yang sudah dijamin akan dikerjakan Pemerintah Pusat-pun justru terhenti karena bagian yang menjadi tugas Pemda DKI belum diselesaikan. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menagih komitmen Pemda DKI membebaskan lahan bantaran Sungai Ciliwung untuk pelebaran yang pembangunannya akan dikerjakan Pemerintah Pusat. Konon dari lahan yang harus dibebaskan seluas lebih daru 40 hektar, baru 16 hektar saja yang sudah diselesaikan. Padahal komitmennya sudah disepakati sejak tahun 2015. Bisa baca sendiri detailnya di berita ini.
Konon alasannya prosesnya perlu waktu. Komitmen itu sudah disepakati sejak 2015. Kalaupun perlu waktu, apa iya perlu sedemikian lama kalau benar-benar dikerjakan? Ajaibnya, tanggapan Wagub DKI atas tagihan Pemerintah Pusat mengenai penyelesaian komitmen itu ternyata setali tiga uang dengan Gubernurnya, bermain kata-kata. Muter-muter malah bawa-bawa lagi debat kusir antara normalisasi dan naturalisasi.
Saya bukan penduduk DKI. Saya tidak punya hak suara untuk memilih Gubernur maupun anggota DPRD DKI. meakipun begitu, Jakarta itu beda dengan propinsi-propinsi lainnya, karena statusnya merupakan Ibu Kota Negara. Karena itu semua warga negara Indonesia punya kepentingan.