Ada sejenak waktu untuk rehat, baru buka aplikasi berita online lewat handphone, dan yang muncul di awal salah satunya adalah berita tentang kekayaan Mark Zuckerberg.

Bukan baru sekarang sih. Dari pagi lewat berbagai sumber saya membaca berita tentang kenaikan drastis nilai kekayaan bos sekaligus pendiri jejaring sosial paling populer di muka bumi, Facebook, yang konon disebabkan oleh meroketnya harga saham perusahaan tersebut. Tentunya sebagai pendiri sekaligus CEO, Mark Zuck menguasai saham Facebook dalam jumlah sangat besar. Tidak heran kalau saat harga saham perusahaan itu meningkat pesat, nilai kekayaannya meningkat pesat pula.

Tidak tanggung-tanggung, kenaikan jumlah kekayaan tersebut memasukkan Mark Zuck ke dalam kelompok super elite yang hanya diisi segelintir orang. Kelompok mereka yang nilai kekayaannya ditenggarai melampaui angka 100 milyar dolar yang saat ini hanya diisi oleh pendiri situs belanja Amazon, Jeff Bezos, dan filantrofis terkemuka sekaligus pendiri raksasa perangkat lunak Microsoft, Bill Gates.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya. Salip menyalip nilai kekayaan pribadi milyuner-milyuner papan atas dunia rasa-rasanya sudah menjadi berita yang sangat biasa dan tidak begitu menarik lagi. Bahkan konon untuk orang-orang yang ditenggarai kekayaan bernilai raksasanya entah naik entah turun itupun tidak terlalu memperhatikannya. Jadi kalau kitapun, atau mungkin sayapun, tidak memperhatikannya, ya nggak aneh-aneh amat. Gak bakal bisa ngejar juga. Gak bakal kecipratan juga.

Tapi yang menarik bagi saya, berita yang muncul di portal berita detik.com dengan judul “Duitnya Rp 1.400 Trilyun, Zuckerberg Gabung Bill Gates dan Jeff Bezos”. Yang menarik perhatian saya bukan isinya, seperti sudah saya sebut tadi. Yang menarik perhatian saya justru judulnya. Kata pertama pada judul itu, “Duitnya …”

Nampak sederhana, sangat mudah terlewatkan, karena mungkin banyak orang akan tertarik dengan “wow factor”-nya. Dalam hal ini kekayaan Mark Zuck. Tapi menurut saya itu kesalahannya sangat telak. Perlu digarisbawahi bahwa yang meningkat drastis itu harga saham Facebook. Karena Mark Zuck memiliki saham perusahaan tersebut dalam jumlah yang sangat banyak, perkalian kenaikan nilai per lembar saham terhadap jumlah lembar saham yang dikuasai membuat nilai keseluruhan saham yang dimiliki Mark Zuck turut terdongkrak naik.

Sekali lagi, itu bukan DUIT. Kalau saja si jurnalis memilih kata “Kekayaannya …” alih-alih “Duitnya …” tentu saya tidak akan melihatnya sebagai suatu kesalahan.

Saham, meskipun memiliki nilai uang, tetap saja bukan uang. Seperti harta dalam bentuk lain, properti atau logam mulia misalnya, nilai uang dari saham juga bisa berubah, bahkan terus berubah, setiap detik berubah. Jadi menyamakan kekayaan dalam bentuk saham dengan DUIT itu jelas salah, kalau tidak mau disebut menyesatkan.

Saya tidak berfikir apalagi menuding jurnalis yang membuat laporan itu sengaja membuat kesalahan, meskipun kenyataanya memang missleading. Saya menduga kata “Duitnya …” sengaja dipilih untuk mendongkrak wow-factor, menarik orang untuk meng-click dan membaca, sesuatu yang sangat bernilai di era sekarang ini. Tapi dari sisi etika seharusnya usaha wow-factor tidak dilakukan dengan mengorbankan akurasi, termasuk pemilihan kata yang tepat.

Sisi lain, bisa jadi ada masalah dalam literasi si jurnalis dengan bidang di sekitar topik berita yang ditulisnya. Bisa jadi dia memang tidak cukup memahami arti saham, sehingga di mata dia “kekayaan” bisa serta merta disejajarkan dengan “duit”. Kalau ini yang terjadi, artinya media tempat si jurnalis ini bernaung punya pekerjaan rumah besar, memastikan para jurnalisnya benar-benar paham apa yang dia tulis.

By the way … bukankah seharusnya pekerjaan jurnalis itu juga ada cek and ricek-nya ya? Bukankah seharusnya ada editor yang memastikan kualitas berita yang ditulis jurnalis sebelum lolos tayang? Bukankah itu yang membedakan portal-portal berita resmi terkemuka dari para privateer yang mendulang rupiah dari berita yang mereka tayanggkan melalui blog?