Hari ini berita mengenai Bali diramaikan oleh berita tampilnya musisi Jerinx, drummer group Superman is Dead alias SID, dalam demo menolak rapid dan swab test, dua metode yang digunakan untuk screening dan diagnosa Covid-19. Bukan hanya media lokal yang meliput, media nasionalpun banyak yang memberitakannya. Salah satunya detik.com.

Jerinx dalam banyak kesempatan dengan keras menyuarakan keyakinannya bahwa Covid-19 hanyalah sebuah bentuk konspirasi. Bahkan untuk membuktikan kebenarannya dia pernah menantang untuk disuntik virus Covid-19 atau masuk ke dalam ruang isolasi dimana pasien yang dinyatakan positif mengidap virus itu dirawat, tanpa mengenakan pelindung. Sosok musisi yang satu ini memang cenderung berani keras dan konsisten dalam menyuarakan hal-hal yang dipandang salah. Tidak heran kalau Jerinx menjadi salah satu sosok yang berdiri paling depan dalam demo yang berlangsung di kawasan Monumen Bajra Sandhi itu.

Yang menarik perhatian saya adalah melalui akun media sosial miliknya Jerinx menayangkan fotonya saat berdiri si barisan depan para pendemo tanpa mengenakan masker. Banyak peserta demo lain yang terjepret di foto itu juga tidak mengenakan masker. Mereka juga berdiri berdekatan seperti biasanya aktivitas demo.

Jelas mereka ingin menunjukkan keyakinannya bahwa tanpa physical distancing dan tanpa masker mereka tidak akan terinveksi virus Covid-19. Kenapa? Karena mereka yakin Covid-19 hanya konspirasi semata.

Banyak yang Menangguk Untung dari Covid-19

Saya sependapat dengan mereka yang menyuarakan banyaknya fihak yang menangguk keuntungan dari bencana global ini. Dari yang murah seperti masker dan hand sanitizer sampai yang jauh lebih mahal seperti rapid test. Pelakunya bukan hanya perorangan yang berusaha mengumpulkan receh berdagang masker secara online. Banyak rumah sakit menawarkan rapid test dengan harga mencengangkan. 350 ribu, 750 ribu, bahkan lebih dari sejuta rupiah, sementara di portal marketplace saja harga kit untuk rapid test hanya berkisar di harga 100 ribuan saja.

Kita belum tahu berapa banyak perusahaan-perusahaan besar akan menangguk untung jika nantinya mereka berhasil memproduksi vaksin untuk mencegah Covid-19 atau obat untuk menyembuhkannya. Tapi yang jelas pastilah jumlahnya tidak akan sedikit. Bayangkan saja kalau vaksin yang ditemukan dan diproduksi, lalu pemerintah seluruh dunia memborong untuk melindungi seluruh rakyatnya. Sekian milyar penduduk dunia kalo entah berapa harga yang mereka patok.

Tidak heran kalau bahkan filantropis global kaya raya sekelas Bill Gates saja banyak dicurigai berusaha menangguk utung besar dari upayanya mendanai riset untuk menciptakan vaksin Covid-19.

Tapi Apakah Artinya Covid-19 Hanya Isapan Jempol Belaka?

Itu pertanyaannya. Kalau memang banyak yang mencari untung dari Covid-19 artinya Covid-19 itu tidak ada?

Saya meyakini Covid-19 itu benar-benar ada. Bahwa banyak yang mencari keuntungan dari bencana itu, mereka memanfaatkan keadaan saja. Bukan sikap yang pantas memang. Melihat bencana seharusnya kita berusaha membantu, bukan malah memanfaatkan kesengsaraan orang. Tapi memang begitulah sifat jahat yang ada di dalam diri sebagian manusia. Nggak ada bedanya dengan dukun cabul. Ada orang sakit bukannya ditolong malah dinikmati.

Itu dia. Mereka yang menangguk untung dari pandemi Covid-19 itu adalah golongan yang mengidap mentalitas dukun cabul.

Tapi apakah karena ada dukun cabul beraksi lalu penyakit yang diderita si pasien, si korban, serta merta bisa dikatakan tidak ada? Hanya isapan jempol belaka? Lha dukun cabulnya itu aja yang dia isap bukan jempol koq.

Mungkinkah Covid-19 Sengaja Dibuat?

Bisa iya bisa nggak. Siapa yang bisa membuktikan? Jangankan orang-orang biasa seperti kita. Amerika Serikat yang menuduh China sengaja menciptakan virus berbahaya itu saja belum bisa membuktikan tuduhannya. Kurang apa Amerika? Punya teknologi paling canggih di dunia, punya tim intelijen terbaik di dunia, punya uang paling banyak di dunia.

Lalu apakah kalau Covid-19 itu sengaja dibuat lalu bisa kita bilang isapan jempol?

Ini pandemi global. Yang tertimpa bukan hanya Indonesia. Sejumlah negara yang sangat maju kehilangan ribuan nyawa rakyatnya akibat Covid-19. Siapa yang bisa menciptakan isapan jempol dengan korban semasif itu?

Tapi kalaupun mau percaya Covid-19 itu sengaja dibuat bahkan sengaja disebarkan, itu urusan belakang. Yang paling penting adalah mencegah jatuhnya korban, menghentikan penyebaran. Sama dengan saat terjadi rumah kebakaran. Prioritasnya mencegah api melalap bangunan-bangunan lain, lalu memadamkan apinya dan menyelamatkan korban. Konyol kalau kita sibuk mencari penyebab kebakaran itu sementara masih ada orang berteriak-teriak terjebak di dalam bangunan yang terbakar itu.

Hapus Rapid dan Swab Test?

Selama ini diagnosa medis untuk memastikan seseorang terinveksi Covid-19 adalah dengan prosedur yang dikenal dengan sebutan swab test, dimana sampel lendir diambil dari saluran pernafasan untuk kemudian dilihat apakah ada virus Covid-19 disitu. Tapi swab test ini mahal dan lama. Karena itu digunakanlah rapid test yang jauh lebih murah dan cepat untuk screening awal, untuk mendeteksi adanya virus di dalam tubuh, entah virus apa. Kalau hasil rapid testnya negatif artinya aman. Kalau hasil rapid testnya positif, harus dilanjutkan dengan swab test untuk memastikan kalau virus yang ada dalam tubuh itu memang virus Covid-19.

Mengapa harus dideteksi? Pertama untuk menyelamatkan dia, biar segera bisa diobati. Kedua untuk menyelamatkan orang lain, supaya tidak tertulari.

Lalu prosedur deteksinya itu harus distop? Logikanya dimana?

Bahkan penyakit yang obatnya sudah tersedia luas saja perlu didiagnosa dulu. Contoh saja typhus. Bukankah saat gejalanya terdeteksi diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penderita memang benar menderita typhus sehingga bisa mendapatkan pengobatan yang tepat.

Saya tidak setuju rapid test dan swab test dihapus.

Setidaknya selama masa pandemi ini. Justru harus diintensifkan. Diperbanyak. Diperluas. Hanya … biayanya jangan dibuat mencekik leher dong. Jangan biarkan orang menangguk untung dari penderitaan orang lain. Kalau bisa bahkan digratiskan.