Berita otomotif yang dilansir media digital detik.com menggelitik pikiran saya untuk ngeluyur sampai kemudian terhenti pada keprihatinan atas kenyataan bahwa sebagian kita, termasuk mereka yang memegang kekuasaan untuk mengambil keputusan strategis di tingkat nasional, lebih memilih untuk membiarkan negeri yang sudah merdeka ini untuk tetap terjajah.

Mungkin memang tidak dalam arti harafiah dimana penjajahan dimaknai sebagai dikuasainya kedaulatan negara oleh bangsa lain. Tapi ketergantungan dalam aspek-aspek tertentu terhadap negara lain yang membuat kedaulatan kita dalam aspek itu dikuasai negara lain bisa juga dilihat sebagai bentuk penjajahan.

Berita berjudul Indonesia Belum Bisa Produksi Mobil Listrik Sendiri Karena Tekanan Jepang ini menyoroti pernyataan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, yang baru-baru ini memperkenalkan motor listrik karya anak bangsa yang diproduksi perusahaan miliknya. “Inovasi mobil listrik yang harusnya kita lebih mudah memproduksinya secara massal. Sebagai anak bangsa, kita jangan kalah dengan tekanan Jepang. Saya yakin dan percaya, kita lambat untuk menjadi produsen mobil listrik itu karena tekanan negara-negara besar yang selama ini mengeruk untung banyak di Indonesia,” ucap Pak Bamsoet kepada wartawan seperti dikutip dalam berita itu.

Memang sejak negara ini merdeka pasar otomotif negeri ini terus dikuasai raksasa-raksasa otomotif dari berbagai belahan dunia, Eropa dan Amerika pada awal-awal kemerdekaan, disusul Jepang, lalu Korea, dan belakangan Tiongkok.

Kijang yang konon dirancang dan diproduksi anak-anak bangsa tidak bisa kita anggap sebagai mobil nasional karena inisiatif itu digagas dan dilaksanakan dalam naungan merk Toyota asal Jepang. Timor dan Bimantara yang menempelkan merk beraroma Indonesia pada mobil yang didatangkan bulet-bulet dari Korea Selatan apalagi.

Saat Malaysia sukses membangun industri otomotifnya sendiri bahkan sempat turut meramaikan pasar otomotif tanah air lewat merk Proton, kita sepertinya sudah kehilangan asa.

Lalu seorang menteri yang diangkat Presiden SBY lewat reshuffle tiba-tiba menyentak kesadaran kita akan kebanggaan memiliki produk otomotif sendiri, mobil nasional, kendaraan yang dirancang dan diproduksi anak-anak bangsa di tanah air, oleh perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan orang Indonesia. Adalah Dahlan Iskan yang mengajak pulang anak muda super cerdas yang saat itu tinggal dan bekerja di Jepang untuk merancang mobil listrik nasional.

Kisah Ricky Elson, anak muda yang didaulat Pak DI ini, terasa memutar ulang kisah BJ Habibie, anak muda super cerdas yang diajak pulang Pak Harto untuk membangun kemandirian Indonesia di bidang teknologi khususnya teknologi kedirgantaraan.

Demikian bersemangatnya duet Dahlan Iskan – Ricky Elson sampai-sampai keduanya terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang cukup dramatis saat menguji purwarupa mobil yang dinamai Tucuxi itu, meskipun untungnya tidak sampai memakan korban. Inisiatif Pak DI mewujudkan impian akan kemandirian industri otomotif tanah air juga digulirkan melalui pembuatan kendaraan listrik komersial berwujud bis yang sempat dipamerkan bahkan digunakan dalam salah satu acara internasional yang digelar di Bali.

Sayangnya Pak DI hanya seorang menteri. Kalau BJ Habibie didukung penuh Presiden Soeharto dengan menyediakan segala fasilitas baik dalam bentuk fisik, pendanaan, maupun peraturan untuk melancarkan langkahnya, nampaknya Pak DI tidak bisa membuat Presiden SBY memberikah dukungan yang sama untuk Ricky Elson.

Alih-alih memberikan dukungan pada inisiatif yang digulirkan duet Dahkan Iskan – Ricky Elson, pemerintah SBY justru memberikan insentif yang memungkinkan produsen-produsen otomotif untuk mengguyur pasar dengan mobil berharga murah lewat program yang dinamai LCGC, Low Cost Geeen Car.

Alih-alih melihat mobil listrik karya anak bangsa mulai melenggang di jalanan, kita justru melihat jejalan mobil murah Toyota Agya dan Daihatsu Ayla yang kemudian disusul Datsun Panca, Suzuki Karimun Wagon-R, dan Honda Brio Satya membanjiri ruas-ruas jalan yang sejatinya sudah sesak dengan kemacetan.

Saya yakin raksasa-raksasa otomotif dunia yang menikmati untung besar dengan menguasai pasar otomotif tanah air menyadari ancaman besar dari inisiatif yang digulirkan duet Dahlan Iskan – Ricky Elson ini. Kalau Pak Bamsoet bicara “tekanan Jepang”, saya kira memang benar adanya. Kenyataanya merekalah yang menangguk untung lebih besar lagi lewat LCGC. Tidak ada satupun merk non-Jepang yang bermain di LCGC.

Lalu kemana mobil listrik made in Indonesia yang dibidani duet Dahlan Iskan – Ricky Elson ini sekarang? Terkubur. Hilang bak ditelan bumi. Kisah yang hampir sama dengan pesawat N250-nya BJ Habibie yang akhirnya juga terkubur saat Presiden Soeharto terpaksa tunduk pada keinginan lembaga-lembaga donor internasional.

Memilih untuk Dijajah

Indonesia sempat menjadi bangsa terjajah. Sejarah mencatat 350 tahun Indonesia dijajah Belanda lalu 3,5 tahun dijajah Jepang sebelum akhirnya merdeka. Invasi militer memaksa raja-raja nusantara bertekuk lutut menyerahkan kedaulatannya dirampas penjajah. Tak terhitung berapa banyak nyawa, termasuk nyawa para raja dan keluarganya, melayang dalam perlawanan mengusir penjajah sebelum akhirnya kita kembali hidup dalam kemerdekaan.

Saat itu, kita dijajah karena terpaksa. Meskipun bertaruh nyawa dalam pertempuran, kita kalah perang. Tapi asa tak pernah padam. Perlawanan terus bergelora.

Saat penghentian program N250 menjadi salah satu tuntutan para donor internasional, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto “kalah perang”. Indonesia terpaksa meminjam uang dalam jumlah sangat besar untuk menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan akibat krisis moneter parah. Saya yakin di dalam benak Pak Harto saat itu tersimpan asa untuk melanjutkan program itu kembali setelah kondisi perekonomian membalik. Mundur untuk melompat. Mengalah untuk menang.

Lalu apa yang memaksa kita mengubur Tucuxi dan pada saat yang bersamaan memberi kesempatan raksasa-raksasa otomotif Jepang untuk menjual lebih banyak mobil dengan memberikan insentif pajak yang membuat harga jualnya jadi lebih murah?

Entahlah. Mungkin karena kita dengan penuh kesadaran memilih untuk dijajah.