Pandemi corona yang virus penyebabnya memiliki nama resmi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Eskalasinya justru sepertinya semakin mengkhawatirkan. Tidak mengherankan kalau sejumlah kalangan menginginkan pemerintah mengambil tindakan yang lebih ekstrim. Beberapa hari terakhir ini baik portal-portal berita maupun linimasa media sosial ramai membahas pro dan kontra lockdown, dimana negara benar-benar “dikunci”, tidak ada yang bisa masuk.maupun keluar, dan masyarakat diharuskan untuk tinggal di rumah dan menghentikan semua aktivitas di luar.
Salah satu negara yang menerapkan langkah ini adalah Italia. Tentunya negara ini juga sering dijadikan salah satu referensi oleh mereka yang menginginkan opsi lockdown untuk Indonesia.
Setelah sebelumnya – mulai 21 Februari – pemerintah mengisolasi sebagian wilayah negaranya, hanya propinsi-propinsi terjangkit di kawasan bagian utara negara itu, Italia pada tanggal 10 Maret kemudian memutuskan untuk mengisolasi seluruh negeri. Sebtulnya sih kenyataan bahwa isolasi sebagian wilayah yang akhirnya diperluas menjadi seluruh negara sudah merupakan indikasi jelas kegagalan strategi lockdown.
Per 28 Maret, disebutkan kematian akibat corona di Italia sudah menembus angka 10 ribu. Dalam satu hari, jumlah kasus positif mencapai 6 ribu sehingga totalnya mencapai angka 92 ribu lebih. Dengan kematian dalam satu hari sebanyak hampir 900. Situasi itu membuat pemerintah Italia disebutkan sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang lockdown yang seharusnya berakhir pada tanggal 3 April yang akan datang. Mestinya ini merupakan indikasi lain yang memperkuat fakta kegagalan lockdown.
Meskipun demikian, mereka yang menginginkan opsi lockdown sepertinya memilih menafikkan fakta itu. Salah satu argumen yang mereka pakai adalah kegagalan lockdown di Italia disebabkan karena mereka terlambat menerapkannya. Agak melenceng dari logika rasanya. Kalau Italia yang sudah hampir 3 minggu lockdown total dikatakan terlambat sehingga gagal, lalu bagaimana kalau Indonesia baru menerapkannya sekarang?
Mereka yang mendukung keputusan pemerintah yang tetap berpegang pada physical distance, work from home, dan menghindari kerumunan melihat kemungkinan rusuh sebagai salah satu alasan menentang lockdown. Argumen yang oleh kelompok pro-lockdown dimentahkan dengan menyudutkan pemerintah yang dianggap tidak becus kalau sampai lockdown gagal atau setidaknya membawa kekacauan.
Hari ini koran dan portal berita dipenuhi kabar mengenai penjarahan yang mulai merebak di Italia sebagai dampak dari lockdown berkepanjangan yang membuat sebagian masyarakat kehabisan pasokan kebutuhan pokok dan tidak lagi memiliki uang untuk membeli. Salah satunya yang dilansir Kompas ini.
Masih yakin kalau pemerintah seharusnya mampu mengendalikan dampak buruk lockdown?
Saya lebih memilih melihat dari sisi logika sederhana. Italia itu negara Eropa yang sudah masuk kategori negara maju sejak jaman saya belum lahir. Kemampuan finansial negaranya jelas lebih baik dari Indonesia. Tingkat pendidikan masyarakatnya jelas lebih tinggi dari Indonesia. Kepatuhan masyarakat dan penegakan hukum dan peraturan di negara itu jelas lebih tertata dari Indonesia. Dan nyatanya itulah yang terjadi.
Kurang perbandingannya?
Luas wilayah Italia itu hanya 300an ribu kilometer persegi. Wilayah Indonesia berlipat-lipat lebih luas, lebih dari 1,9 juta kilometer persegi. Italia bagian besar wilayahnya merupakan daratan, bagian dari benua Eropa, ditambah sekitar 450 pulau. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.500 pulau lebih. Bayangkan kesulitan koordinasi dan distribusi logistiknya kalau seluruh kegiatan masyarakat dihentikan. Masyarakat Italia juga lebih mampu dari sisi daya beli untuk menopang kehidupan tanpa penghasilan. Pendapatan per kapita mereka $33.156, sedangkan Indonesia hanya sekitar $3.800, itupun dibulatkan ke atas.
Yakin masih mau lockdown? Ingat jarah-jarahan 1998? Bisa jadi malah korbannya lebih banyak dari korban corona.