Rasa-rasanya saya bukan tipikal orang yang malas dengan perubahan. Dari pindah tempat tinggal entah hanya pindah rumah, kota, bahkan negara, pindah pekerjaan, berganti profesi, mengadopsi platform teknologi baru, dan perubahan-perubahan lainnya, alih-alih malas saya justru excited.
Tapi perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan kecil justru saya sering kali males banget. Bahkan sering kali bela-belain untuk mempertahankan kebiasaan lama. Contoh misalnya untuk catat-mencatat sampai sekarang saya lebih memilih block note daripada aplikasi digital seperti Evernote, Samsung Notes, dan sejenisnya. Saya bela-belain cari model block note spiral bergaris yang sekarang sangat sulit didapat, Gramedia sudah gak jual, yang memang biasa saya pakai sejak lebih dari 20 tahun lalu. Ballpoint BIC 4 warna yang dulu pernah sangat populer dan sekarang sudah susah dicari di toko-toko alat tulis, masih saya pakai sampai sekarang, itu dari jaman SMA sudah saya pakai.
Si Kutu Buku
Begitulah sebagian orang yang mengenal dekat menyebut salah satu kebiasaan saya. Membaca tidak pernah lepas dari kehidupan saya sejak kanak-kanak. Dari belum sekolah, begitu mulai bisa membaca, tempat yang paling saya sukai adalah perpustakaan. Kebetulan di desa tempat tinggal saya ada perpustakaan pemerintah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Terasa jauh buat ukuran anak kecil sih, tapi benernya nggak. Setelah dewasa, saya menyiapkan anggaran khusus untuk buku yang besarnya lumayan untuk rata-rata orang. UMR lah.
Kalau kebetulan ke luar negeri, saya nggak terlalu tertarik keluyuran di mal, shopping avenue, dan sejenisnya. Dekat-dekat, Singapura, Kuala Lumpur Bangkok, pasti ada beberapa jam disediakan untuk mampit di Kinokuniya.
Sekarang saya bukan bicara mengubah kebiasaan membaca. Rasa-rasanya itu agak mustahil. Karena buat saya membaca bukan sesuatu yang serius. Saya nggak punya keharusan meluangkan waktu untuk membaca. Jadi buat saya kesibukan sehari-hari yang modelnya berubah-rubah misalnya, tidak membuat kebiasaan membaca saya terganggu. Saya nggak lagi punya sopir dan jarang naik kendaraan umum. Lampu merah, macet, bisa jadi slot membaca.
Say No to Ebook
Soal cara membaca itu yang jadi cerita. Dunia sudah cukup lama mengenal yang namanya ebook, format buku digital yang bisa dibaca melalu perangkat digital pula, komputer, laptop, atau perangkat bergerak seperti tablet dan smartphone. Bahkan ada perangkat digital khusus yang ditujukan untuk membaca ebook, seperti Kindle dari raksasa buku Amazon. Sebagai kutu buku, tentu saya bukannya tidak pernah membaca ebook. Saya mencoba membaca ebook sejak awal-awal kemunculannya. Melihat sisi-sisi positif ebook dibandingkan buku biasa, saya juga berusaha menyesuaikan diri, membaca ebook alih-alih buku konvensional.
Saya sempat membeli Kindle. Saat Apple meluncurkan iPad, saya membeli iPad jauh sebelum perangkat itu dijual di Indonesia. Saat itu iPad generasi pertama baru diluncurkan dan saya membelinya di Hong Kong. Hanya untuk satu tujuan, membaca. Karena hal lain dari tablet – seperti berbain game atau menonton video – bukanlah sesuatu yang menarik buat saya.
Sayangnya semua gagal total. Saya tidak bisa merasa nyaman membaca buku di layar perangkat digital. Saya lebih memilih buku konvensional, dicetak dengan tinta di atas kertas. Kalau saya merasa perlu membaca artikel, jurnal, dll. yang hanya tersedia dalam format digital, ya terpaksa saya print dulu. Di dalam tas saya, berat buku biasanya lebih dari berat laptop. Saya sengaja memilih laptop yang setipis mungkin, seringan mungkin, supaya tas bisa mengakomodasi buku.
Say No … No More
Tapi akhir-akhir ini sepertinya saya mulai mengalah. Saya mulai lebih banyak membaca lewat smartphone daripada buku. Belum beneran merasa nyaman sih, tapi ya begitu deh. Kembali ke soal manajemen kebiasaan, konon seorang pakar menyebut hanya perlu 66 hari berturut-turut memaksa diri untuk mengubah kebiasaan.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya:
Yang pertama adalah mobilitas. Sehari-hari saya tidak lagi rumah kantor rumah kantor dengan mobil sendiri yang tetap. Saya muter-muter kemana-mana semaunya dan sering kali menggunakan sepeda motor. Kalaupun bermobil, nggak selalu mobil yang sama. Jadi tas yang bisa memuat buku, bahkan sekedar sebiji pun, sering terasa terlalu mengganggu.
Yang kedua perangkat. Saya tadinya merasa nyaman dengan smartphone berukuran kecil. Entah berapa lama saya diejekin karena konsisten dengan handphone jadul iPhone 5SE yang sudah lewat masa bergenerasi-generasi, hanya karena satu alasan, ukurannya yang mungil enak di tangan. Sekarang saya sudah lebih dari setahun mengunakan Samsung seri S berembel-embel plus yang artinya ukuran layarnya lumayan besar. Hanya terpaut sedikit dari tablet kecil, lumayan enaklah untuk membaca.
Tapi yang ketiga ini sebenarnya yang paling penting. Di Tokopedia ada banyak pedagang yang menjual ebook dengan harga yang luar biasa murah. 5 ribu rupiah, bahkan ada yang hanya 3 ribu rupiah saja. Buku? Buku-buku baru apalagi buku bisnis bisa 300-500 ribu. Apalagi penerbit biasanya awal-awal hanya menjual buku dalam versi hard cover yang selain lebih besar dan berat juga jauh lebih mahal. Baru beberapa bulan berikutnya muncul versi soft covernya yang lebih murah, itupun biasanya mainnya di 200-300 ribuan harganya. Versi ebooknya? Nggak selalu ada. Kalaupun ada munculnya belakangan. Dan harganya juga nggak murah-murah amat. 150 ribu lah setidaknya.
Jadilah sekarang saya lebih banyak membaca ebook daripada buku konvensinal. Buku biasa biasanya hanya saya baca menjelang tidur. Karena konon layar perangkat digital bikin kita susah tidur.