Baru-baru ini saya mengunjungi sebuah website yang seharusnya fungsinya sangat sederhana, menyusun itinerary wisata, kemudian membooking elemen-elemen di dalam itinerary tersebut – seperti pesawat, hotel, aktivitas wisata, dll. – melalui website itu juga.
Sayangnya proses tersebut ternyata sangat rumit. Ada banyak bagian di dalam website tersebut yang diberi hyperlink supaya kita bisa membaca petunjuknya, bahkan ada “How To” yang berfungsi seperti manual, petunjuk untuk menggunakan fungsi-fungsi tertentu di dalam website itu.
Di website itu dengan jelas disebutkan adanya tim support yang setiap saat siap memberi bantuan seandainya ada pengguna yang mengalami kesulitan.
Karena males nyari-nyari dan baca-baca, akhirnya saya memilh untuk bertanya saja. Biasa lah … bagaimanapun kan saya orang Indonesia asli. Jadi bagaimanapun sifat asli penduduk +62 tetap punya. Dari sejak kecil kita dicekoki pepatah “malu bertanya, sesat di jalan”. Bukan mikir, nyari referensi, baca, atau kalau mau sangat relevan dengan frasa “sesat di jalan” mungkin buka peta. Yang mengajarkan kebiasaan buka peta alih-alih bertanya itu Dora, yang jelas-jelas bukan orang Indonesia.
Ternyata eh ternyata. Bertanyapun bukan hal yang mudah. Karena sebelum mendapatkan link untuk chat, kita dipaksa muter-muter dulu untuk memastikan bahwa pertanyaan kita memang belum ada sama sekali di dalam petunjuk yang mereka sediakan.
Vangke benerrr … dan akhirnya saya memilih untuk mencatat di note dan booking hal-hal yang diperlukan melalui portal booking yang biasa saya pakai.
Meskipun mereka orang-orang yang canggih dan berkecimpung di dunia teknologi, seeprtinya pikiran mereka benar-benar benar bertolak belakang dengan salah satu tokoh teknologi paling terkemuka abad ini, Steve Jobs, yang sangat getol menyuarakan kesederhanaan.
Kecerdasan itu bukan menguasai hal-hal rumit, tapi membuat hal yang rumit menjadi sederhana.
Website Bukan Software
Belasan tahun lalu, kita harus belajar, membaca buku, bahkan ikut kursus, hanya untuk bisa menggunakan aplikasi untuk mengetik. WordStar saat itu menjadi bintang sebelum Bill Gates melibasnya dengan MS Word yang jauh lebih kaya fungsi tapi justru jauh lebih mudah digunakan. Bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih kompleks dengan cara yang lebih sederhana.
Sekarang kita bahkan tidak perlu membaca buku apalagi mengikuti kursus hanya untuk menyusun dan menyunting dokumen dengan tampilan yang cukup profesional. Aplikasi-aplikasi untuk pekerjaan yang benar-benar kompleks saja yang masih memerlukannya.
Kalau software mungkin masih okelah kita harus baca manual. Tapi website cerita lain. Bagaimana mungkin kita harus membaca manual hanya untuk mencari informasi di perpustakaan (Googling), berbelanja di mall (e-commerce), atau mengunjungi biro perjalanan untuk mengatur perjalanan wisata (portal travel)?
Don’t Make Me Think
Meskipun saya berkarir di dunia teknologi informasi sejak akhir 1980an, saya membuat website komersial untuk pertama kalinya pada tahun 2001. Perkembangan teknologi internet sudah lumayan maju saat itu, meskipun belum secanggih sekarang. Website yang saya bangun sudah tidak lagi sekedar halaman-halaman informasi statis tetapi sudah berinteraksi secara dinamis, menampilkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pengunjung.
Dari sekian banyak buku yang saya baca saat itu, yang paling menginspirasi adalah sebuah buku yang relatif tipis berjudul Don’t Make Me Think. Sebagai orang IT saya sangat terbiasa dengan buku-buku super tebal, jadi buku 200an halaman terasa sangat tipis.
Dalam buku itu, Steve Krug si penulis menyajikan berbagai argumen untuk mendukung pendapatnya bahwa sebuah website harus sangat intuitif. Pengunjung harus dapat menggunakan semua fungsi yang tersedia dengan pede tanpa harus berfikir apalagi bertanya. Tentu bukan hanya argumen, Steve Krug juga memberikan banyak petunjuk dan solusi untuk melakukannya.
Pada saat itu, saya fikir buku ini sangat penting untuk memberikan semacam penyadaran karena pada masa transisi menuju teknologi intetnet, para pembuat website umumnya adalah programmer ysng terbiasa membangun aplikasi. Saya sendiri tadinya lebih banyak menggeluti MIS, perancangan database, dan pemrograman aplikasi online.
Ternyata setelah 20 tahun, Don’t Make Me Think diterbitkan pertama kali pada tahun 2000, konsepnya masih sangat relevan. Karena mirisnya, masih ada yang tidak memahaminya.