Saya tidak bermaksud merendahkan sosok Fahri Hamzah, politisi yang berkali-kali terpilih menjadi wakil rakyat di Senayan, bahkan sempat menjadi Wakil Ketua DPR itu. Meskipun baru-baru ini tergusur, bukan karena tidak dipilih rakyat tapi akibat konstelasi sikut-menyikut di dalam partainya sendiri. Tapi kalau dibandingkan dengan sosok Nadiem Makarim yang lulusan salah satu universitas paling bergengsi di muka bumi, pendiri perusahaan startup yang menjadi decacorn pertama di tanah air, dan sekarang didaulat menjadi Menteri Pendidikan, setidaknya dari akademis, bolehlah disebut kalau Mas Nadiem lebih mumpuni.

Selain urusan kesehatan dan ekonomi, salah satu masalah yang tidak kalah rumit akibat pandemi Covid-19 ini adalah soal pendidikan, khususnya mengenai keberlangsungan proses belajar-mengajar.

Sekolah dan lembaga pendidikan lain yang jelas-jelas menjadi tempat banyak orang – dalam hal ini murid – berkumpul dan beraktivitas bersama selama masa pandemi ini terpaksa ditutup. Berkumpulnya orang dalam jumlah besar diyakini dapat meningkatkan resiko penularan. Meskipun begitu pemerintah berusaha agar proses belajar mengajar tidak berhenti. Solusi yang diambil saat ini adalah dengan melakukan proses belajar-mengajar secara online. Dengan meggunakan jaringan intetnet, peoses belajar-mengajar dilaksanakan dengan posisi guru berada di sekolah atau di rumahnya sendiri sementara murid-murid berada di rumahnya masing-masing.

Sayangnya solusi ini ternyata banyak mengalami kendala. Salah satu yang sering dikeluhkan diantaranya kualitas dan ketersediaan jaringan internet tidak merata di semua tempat, di seluruh wilayah tanah air. Tidak heran kalau akhir-akhir ini banyak beredar foto anak-anak yang harus berjalan jauh, belajar di pinggir jalan, naik ke puncak bukit, bahkan belajar di atas pohon, hanya sekedar untuk mendapatkan koneksi yang cukup baik untuk mengikuti pelajaran.

Hal lain, belajar online tidak cukup dengan buku dan pensil. Perlu perangkat untuk bisa mengakses internet, laptop, tablet, atau setidaknya smartphone. Tidak semua punya, dan tidak semua sanggup beli. Wajar saja. Kalau buku bisa dibeli dengan harga beberapa ribu rupiah saja, smartphone urusan lain. Untuk membeli smartphone murah peloduk-peloduk negara tirai Bambu saja setidaknya sejuta. Produk negeri ginseng apalagi produk negeri paman jambul lebih mencekik leher lagi. Laptop apalagi.

Bagaikan punya mobil nggak sanggup beli bensin, masalah lain lagi yang juga dikeluhkan adalah biaya koneksi. Jangan salah, belajar online hampir identik dengan video, jelaslah boros kuota. Kalau kuota banya kesedot buat belajar, nanti kehabisan lah buat nonton Yutub dan Tiktokan. Keluar dari sarkasme, banyak orang yang tadinya punya penghasilan cukup sehingga sanggup beli smartphone sekarang nganggur. Smartphone masih ada, buat beli kuota sudah nggak ada lagi. Lha buat makan aja udah jadi Senen-Kemis.

Tiba-tiba munculah solusi. Pemerintah Siapkan Kuota Internet untuk Siswa Belajar Jarak Jauh. Konon melalui anggaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan disiapkan dana sebesar 7,2 trilyun untuk membelikan paket data bagi pelajar, mahasiswa, guru, dosen, semua yang terlibat dalam proses belajar-mengajar. Nggak salah kalau sejak awal pandemi dan masyarakat dihimbau untuk tidak keluar rumah, industri telekomunikasi menjada satu dari segelintir bidang usaha yang pendapatannya justru meningkat.

Sementara itu ada daerah sudah mulai membagikan tablet untuk siswa sekolah. Misalnya tanggal 31 Agustus 2020 terbit berita 38.323 Siswa SMA di Jabar Dapat Gawai Pinjaman untuk Belajar Online. Meskipun dalam berita itu ada disebut kalau gadget dimaksud bukan pengadaan baru tapi sudah dimiliki sekolah untuk kegiatan belajar normal tapi tidak terpakai karena pandemi, agak aneh juga buat praktek apa sekolah-sekolah punya gadget sebanyak itu. Sementara hari ini 10 September 2020 diberitakan bahwa Selain Pulsa Pemerintah Mau Sebar Tablet Murah ke Masyarakat.

Tentunya proses belajar jarak jauh sebetulnya bukan sesuatu yang salah apalagi buruk. Pemanfaatan teknologi dalam segala bidang memang sudah seharusnya dimaksimalkan. Bahwa ketika dilaksanakan secara masif akibat pandemi seperti saat ini kemudian terjadi banyak kendala, adalah sesuatu yang wajar. Solusinya yang sekarang malah terkesan aneh-aneh.

Setelah sepi cukup lama, tokoh yang konsisten vokal mengkritisi pemerintah, Fahri Hamzah kembali melemparkan kritikannya. Pedas dan cerdas seperti biasanya. Dilansir detik.com dalam berita berjudul Fahri Usul ke Nadiem: 50% Acara TV untuk Pendidikan, Cerdas Dikit Napa Bang Fahri menyoroti kebijakan Mas Nadiem yang memilih solusi yang cenderung boros biaya sementara ada banyak cara lain yang dinilainya lebih efektif justru seperti tidak disentuh sama sekali.

Di satu sisi saya sependapat dengan Bang Fahri. Acara TV lokal yang cenderung sampah (hampir) semua dan sangat tidak layak konsumsi itu akan lebih bermanfaat jika setidaknya sebagian digunakan untuk menyiarkan program belajar untuk siswa yang belum bisa kembali belajar di sekolah. TV yang dikelola pemerintah juga seharusnya dimobilisasi untuk keperluan ini. Bukankah memang lebih banyak keluarga punya TV daripada punya laptop, tablet, atau smartphone, terutama di kalangan menengah ke bawah, apalagi di pedesaan. Jangkauan siaran televisi, terutama TVRI juga lebih luas daripada jaringan komunikasi data seluler.

Tapi perlu dilihat lebih jauh juga. Kalau kita bicara televisi, tentu itu bukan domainnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Disinilah peranan Menteri Koordinator dan Presiden untuk tidak membiarkan masalah yang bisa diselesaikan lebih efektif secara lintas sektoral justru dicarikan solusinya dalam spektrum sempit satu kementrian saja.

Saya justru melihat Mas Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dibiarkan mencari solusi sendiri dalam ruang kewenangan yang dimilikinya. Kalau kita bicara televisi, memang Menteri Komunikasi dan Informatika kita sejak menjabat rasanya tidak kedengaran ngapa-nyapain. Masuk masa pandemi ketidakngapa-ngapainnya koq seperti semakin menjadi-jadi.

Saya yakin Bang Fahri sangat memahami itu. Saya yakin sebetulnya yang disentil Bang Fahri itu bukan hanya Mas Nadiem.

Pak Jokowi yang sudah memberi penghargaan pada Bang Fahri, tolong ini diperhatikan Pak. Kritik Bang Fahri ini sangat relevan dan implikasinya sangat luas. Tapi sebelum apa-apa Pak, kalau boleh menteri-menteri nggak berguna segeralah diganti Pak.

Ayo Pak. Masa kalah cerdas sama Bang Fahri.