Saat bulan puasa kita sering mendengar kalimat “Tidak terasa puasa hanya tinggal sekian hari lagi …” Tidak ada salahnya kalau kita pinjam kata-kata pembuka kalimat itu sekarang. Tidak terasa pandemi Covid-19 sudah lebih dari setengah tahun berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan berakhir sampai vaksin yang efektif tersedia dalam skala luas.
Di seluruh dunia sudah 27 juta orang terinveksi dan masih terus bertambah. Angka kematian terus meningkat mendekati satu juta jiwa. Di Indonesia sendiri jumlah yang terkonfirmasi positif mendekati angka 200 ribu, lebih dari 8000 diantaranya meninggal.
Terlepas diari sekian banyak teori konspirasi diberitakan di jagat maya dan kita belum pernah melihat wujudnya dengan mata kepala sendiri, kenyataannya Covid-19 memang nyata. Sesak nafas yang diderita memang nyata. Kematian yang diakibatkannya juga nyata. Begitu juga keterpurukan perekonomian yang membuat banyak orang terjebak ke dalam jurang kebokekan meskipun negara belum lagi jurang resesi.
Konon selain virus Covid-19 itu sendiri bisa membunuh penderita dengan melumpuhkan sistem pernafasannya. Konon ada sejumlah penyakit penyerta yang sudah diidap si korban sebelum terinveksi meningkatkan resiko fatalitas Covid-19. Diantara penyakit-penyakit itu ada disebut-sebut diabetes, jantung, dan sarah tinggi.
Beberapa hari lalu, entah bagaimana obrolannya berawal, tiba-tiba Si Bapak pemilik kios laundry langganan saya bercerita kalau dia sakit. Katanya penyakit yang dideritanya itu tekanan darah tinggi dan diabetes. Dalam ceritanya dia juga menyebut kalau tekanan darahnya itu tidak turun setelah 3 hari mengkonsumsi obat yang diberikan seorang dokter yang bertugas di klinik dekat rumahnya sehingga dia disarankan untuk ke rumah sakit saja.
Sayapun menanggapi ceritanya dengan sejumlah teori yang pada intinya adalah saran untuk memperbaiki gaya hidup menjaga pola makan. Saya cukup fasih urusan kayak begini karena ibu saya menjadi penderita tekanan darah tinggi dan diabetes dengan tingkat yang parah, yang akhirnya menjadi penyebab kematiannya.
Obrolanpun terus berlanjut dengan kebiasan makannya yang memang nggak kenal rem. Misalnya dia menyebut kalau dia minum kopi bisa 5 sampai 6 kali sehari, dengan banyak gula. Begitu juga dengan nasi padang kegemarannya, yang kadang dia nikmati malam hari sesaat sebelum tidur. Bagian lain dia bercerita mengenai pekerjaanya. Pekerjaanya sehari-hari memang kedengaran sarat dengan aktivitas fisik. Dab kamipun kemudian menyimpulkan aktivitas fisik dengan intensitas tinggi sepertinya membuat semua kalori yang dia serap dari makanan dan minuman yang dikonsumsinya terbakar semua dengan aktivitasnya.
Lalu entah dari mana mulainya tiba-tiba saya nyeletuk bertanya “Mulai kapan itu terasa gangguannya Pak?”
“Baru Pak, baru beberapa bulan terakhir ini”, cetusnya spontan. “Kalo nggak salah bulan Maret atau mungkin Pebruari gitu”, sambungnya.
Lah kalo ini sih kayaknya gara-gara Covid-19. Di Indonesia kasus pertama Covid-19 dikonfirmasi pemerintah tanggal 2 Maret 2020. Tapi di tempat asalnya yang merupakan salah satu kota besar di Tiongkok, pandemi Covid-19 sudah lebih dahulu terjadi. Bali perekonomiannya sangat tergantung pada sektor pariwisata, dan Tiongkok merupakan salah satu sumber wisatawan terbesar ke Bali. Jadi bulan-bulan Pebruari -Maret itu para pelaku industri pariwisata Bali sudah mulai kesulitan.
Untungnya dia ini punya usaha sampingan yang tadinya dikelola istrinya. Meskipun usaha itu juga ikut terdampak, lebih sepi, tapi masih lumayan untuk menyambung hidup. Tapi bagaimanapun gabut pasti bikin stress, apalagi gabut-nya disertai bokek pula. Lengkap sudah penderitaan. Selain stress secara psikologis, pekerjaan dia menuntut aktivitas fisik dalam intensitas tinggi. Tiba-tiba diam, sepertinya asupan kalori tidak lagi terbakar maksimal dan tertumpuk di dalam tubuh. Akhirnya jadi penyakit.
Kita mungkin sering mendengar penjelasan bahwa tingkat keparahan penderita Covid-19 itu dipengaruhi penyakit yang sudah diderita sebelum terinveksi virus. Penderita Covid-19 yang tidak tertolong umumnya adalah mereka yang memiliki masalah itu. Bahkan sering disebut kalau yang “membunuh” bukan Covid-nya tapi justru penyakit penyertanya. Diantara penyakit penyerta yang sering disebut memperparah kasus Covid-19 adalah diabetes dan tekanan daeah tinggi.
Lucu kalau ternyata kedua penyakit itu bukan hanya bisa menyadi penyebab tapi justru merupakan akibat. Akibat pandemi Covid-19 orang jadi kena tekanan darah tinggi dan diabetes.
Apa kemudian kita bisa bilang kalau untuk beberapa kasus, seperti kasusnya dia ini, tekanan darah tinggi dan diabetes akan sembuh kalau vaksin Covid-19 ditemukan?
Anyway, cepet sembuh ya Pak.