Setelah lebih dari dua tahun kita dipaksa untuk membiasakan diri hidup dengang masker, akhirnya Presiden Jokowi mengizinkan masyarakat untuk tidak lagi menggunakan masker dengan beberapa catatan yang tentu saja meskipun sangat penting tapi dengan mudah terlupakan.

Luapan kegembiraan membuat catatan-catatan tambahan yang menjadi prasyarat terasa sperti tidak terbaca, tidak terdengar, tidak terlihat.

Padahal sebetulnya rentetan catatannya itu juga nggak gampang-gampang amat lho. Misalnya saja hanya berlaku di luar ruangan dan tidak sedang berada dalam kerumunan. Artinya kemana-mana kita tetap harus siap dengan masker kan. Naik kendaraan umum kita tetap harus pake masker. Masuk stasiun, terminal, pasar, mall, kita harus tetap pakai masker. Bahkan kalaupun sedang berada di ruangan terbuka, kalau kita tiba-tiba perlu berjalan melewati kerumunan banyak orang, kita tetap harus pakai masker.

Ada pula prasyarat-prasyarat lainnya. Misalnya harus memastikan diri dalam kondisi sehat. Vaksin lengkap yang juga menjadi prasyarat sepertinya juga masih banyak orang yang belum bisa memenuhinya.

Tapi bahkan yang belum memenuhi syarat untuk ikut lepas maskerpun tetap senang. Malah banyak diantara mereka memiliki sejumlah argumen yang membuat mereka merasa berhak untuk ikut mulai lepas masker. Entahlah.

Padahal sejumlah pakar masi tetap mengingatkan kalau bahaya Covid-19 belum hilang sama sekali.

Euphoria

Memakai masker itu bukan hanya soal keribetan, ketidak-nyamanan, biaya, dan alasan-alasan sejenis lainnya. Memang alasan-alasan itu benar adanya. Siapa yang bisa membantah kalau aturan pake masker itu bikin ribet? Apalagi ada masa dimana pengawasan atas pelanggaran aturan memakai masker itu disertai sanksi tegas diterapkan secara konsisten. Razia. Yang tertangkap nggak pakai masker dijatuhi sanksi saat itu juga. Dari denda sampai push-up.

Nggak nyaman, iya juga. Sesak. Itu ketidaknyamanan paling banyak dikeluhkan soal penggunaan masker ini. Apalagi saat kemudian kita disarankan menggunakannya dua lapis. Jelas rasa sesaknya itu bukan sekedar isapan jempol. Apalagi kalau kita terpaksa harus melakukan aktivitas fisik yang membuat kita membutuhkan lebih banyak oksigen seperti berolah-raga, berlari, bahkan sekedar berjalan kaki sekalipun.

Selain sesak, ada waktunya juga gerah. Kulit wajah yang tertutup saat kita berada di udara yang panas atau di bawah terik matahari membuat uap keringat yang keluar dari pori-pori tertahan masker sehingga permukaan kulit yang tertutup masker terasa panas.

Keharusan memakai masker setiap hari juga lumayan menguras kantong. Jangankan di awal-awal pandemi saat harga masker gila-gilaan. Sekarangpun setelah harga masker semakin murah, tetap saja lumayan. Karena kita harus memakainya terus menerus dan menggantinya dalam frekuensi yang cukup tinggi.

Masker stndar medis disarankan untuk diganti setiap 4 jam penggunaan. Kalau kita berada di luar rumah 12 jam per hari, artinya kita perlu 3 masker per hari, 90 masker per bulan. Kalau kita memiliki keluarga beranggotakan 4 oarang saka biaya yang diperlukan sudah sangat lumayan.

Tetapi yang paling esensial dari memakai masker adalah keterpaksaan kita untuk pasrah dalam belengu yang disebabkan rebakan pandemi. Sehingga ijin melapas masker terasa seperti sebuah kemerdekaan. Kemenangan kita keluar sebagai survivor pandemi yang konon telah merenggut jutaan jiwa di seluruh dunia, banyak diantaranya orang-orang yang kita kenali bahkan sayangi.

Lepas masker jadi terasa seperti proklamasi kemerdekaan. Merdeka dari teror, ketakutan, yang disebabkan virus yang bagi sebagian orang bisa menimbulkan kematian itu.

Enakan Pake Masker

Tetapi kenyataannya dua hari setelah ijin lepas masker itu diumumkan Presiden Jokowi, di jalanan orang-orang yang mengendarai sepeda motor hampir semua tetap pake masker. Hanya satu-dua saja yang nampak meluncur di jalanan tanpa masker.

Dalam obrolan santai, malah terungkap bahwa sebagian orang “nggak merasa pede” tampil di ruang publik tanpa masker.

Selain melindungi kita dari virus, debu, bakteri, dan sejenisnya yang melayang-layang di udara tanpa bisa kita lihat dan kita hindari, masker juga membuat ekspresi wajah kita tidak mudah dilihat orang.

Saat mood kita lagi jelek dan pengen manyun, kita bisa bebas manyun tanpa menebar pengaruh buruk pada mereka yang berada di sekitar kita. Kalau lagi kesel di rumah, saat di kantor kita nggak boleh cemberut karena teman, atasan, bawahan, client, konsumen, meginginkan kita bersikap ramah dengan menebar senyum, dengan masker tidak akan ada orang yang melihat kalau kita sedang cemberut atau tersenyum.

Kadang kita terpaksa harus ramah dan melempar senyum pada orang-orang yang tidak kita sukai atau malah kita benci. Tanpa masker, nggak apa-apa. Toh kalaupun kita senyum dia juga nggak akan liat.

Kenyamanan ekstra saat memakai masker terutama dinikmati mereka yang tergolong introvert.

“Ya kalo pake masker kan kita nggak harus lipstikan, kalau lepas masker, nggak pake lipstik kan nggak enak, keliatan pucet kayak yang nggak dandan”, ucap seorang teman.

Sepertinya kalau dicungkilin satu-per-satu kita akan mendapatkan lebih banyak lagi alasan lain – yang tidak ada hubungannya dengan Covid-19 atau kesehatan – yang membuat kita merasa lebih nyaman memakai masker.

Mengubah Kebiasaan

Sepertinya memang mengubah kebiasaan itu bukan hanya tidak mudah tapi susah. Mungkin malah susahnya pake banget. Ini terlihat jelas saat pemerintah terpaksa memberlakukan kewajiban memakai masker.

Masyarakat menolak. Melawan.

Memang kebanyakan penolakan dan perlawanan itu tidak terekspresikan secara terbuka.

Terutama karena pemerintah demi melindungi masyarakat dari paparan virus mematikan itu cenderung represesif memaksakan penggunaan masker ini. Menggunakan masker bukan lagi himbauan tapi kewajiban. Dimana-mana pemerintah menggelar razia. Mereka yang tertangkap berada di ruang publik dan tidak menggunakan masker dijatuhi sanksi saat itu juga.

Satu-dua ada yang berani melawan petugas dengan marah-marah, memaki-maki, dan sebagainya. Tapi yang lain paling banter hanya ngedumel di media sosial. Toh mereka yang melawan itupun hampir semua ujung-ujungnya meminta maaf.

Mengubah kebiasaan dari tidak memakai masker menjadi memakai masker terbukti luar biasa sulitnya. Ancaman paparan virus mematikan bukan alasan yang cukup kuat bagi sebagian orang untuk bersedia beradaptasi pada kebiasaan baru. Kebiasaan menggunakan masker. Bahkan ketika pemerintah memaksa agar masyarakat patuh pada aturan penggunaan masker, yang nyolong-nyolong bukan main banyaknya.

Saya fikir tadinya karena mereka dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai makanya mereka malas, enggan, bahkan melawan.

Tapi sekarang setelah dua atau mungkin tiga hari ijin melepas masker diumumkan Presiden Jokowi, jumlah anggota masyarakat yang memakai masker saat beraktivitas ternyata masih jauh lebih banyak daripada yang tidak. Sepertinya mereka sudah terlanjur terbiasa memakai masker sehingga saat ijin melepas masker itu sudah diberikan sekalipun mereka enggan beranjak dari zona nyaman baru yang sudah mereka jalani selama lebih dari dua tahun terakhir itu.