Saya tergelitik pemberitaan mengenai reaksi negatif terhadap aktivitas “blusukan” Ketum PPP, Suharso Monoarfa, yang disebut menggunakan pesawat jet pribadi. Nggak habis fikir saya. Masalahnya apa?
Saya koq melihatnya sepertinya masalahnya bukan pada Pak Suharso tapi justru pada yang mengkritik. Kalau saya jadi Pak Suharso, saya kira reaksi saya akan sangat pendek saja. “Sirik aja Lu!”, dah gitu aja cukup.
Suharaso Monoarfa saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan diketahui berencana maju dalam pemilihan Ketua Umum definitif yang akan segera digelar dalam muktamar partai itu. Kabarnya muktamar itu akan digelar pada tanggal 19 Desember yang akan datang di Makasar.
Dalam rangka konsolidasi untuk memuluskan langkahnya di ajang muktamar itulah konon Pak Suharso mengintensifkan “blusukan” alias berkunjung ke daerah-daerah. Adapun kunjungan yang disoal karena moda transportasi yang dipakainya itu dianggap sebagai cerminan gaya hidup bermewah-mewah adalah kunjungannya ke Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam pada tanggal 29 Oktober kemarin.
Saya bukan simpatisan apalagi kader PPP. Karena itu saya sama sekali tidak punya kepentingan baik dengan Pak Suharso ataupun dengan sosok yang mengkritiknya. Kalau saya berkomentar, murni hanya sebatas komentar terhadap sesuatu yang buat saya terasa janggal.
Dalam berita yang dilansir merdeka.com disebutkan bahwa yang melontarkan kritik itu ternyata sama-sama petinggi PPP. Adalah Anggota Majelis Pakar PPP, Nizar Dahlan yang disebut mengatakan “Ini Ketua umum PPP menyewa Pesawat Ke Medan dan Aceh urusan Partai, dari mana uangnya. Harus dijelaskan”, saat dihubungi jurnalis.
Setahu saya Pak Suharso ini pengusaha kaya. Mungkin bukan golongan yang demikian kayanya sampai masuk daftar orang kaya lansiran Forbes. Tapi kalau untuk sekedar menyewa bahkan memiliki pesawat pribadi sih rasa-rasanya mampu lah. Lha “inces” yang belakangan dipersunting pengusaha tajir itu saja biasa koq kesana kemari menyewa pesawat pribadi.
Lha sekarang kenapa Pak Nizar itu koq seolah-olah tahu persis itu pesawat disewa? Bisa saja kan itu milik pribadi Pak Suharso. Atau milik orang lain yang dipinjamkan untuk membantu mobilitasnya.
Anggaplah Pak Nizar benar, itu pesawat disewa. Pak Suharso kan memegang banyak jabatan. Selain pengusaha, beliau juga petinggi partai politik. Bahkan di pemerintahan pun beliau menduduki jabatan tinggi, Ketua Bappenas, yang tingkatannya sekelas menteri. Kalau bicara bisa saja, ya bisa saja dari dompetnya sendiri alias uang pribadi atau dari kas perusahaan miliknya. Meskipun memang bisa jadi juga dibiayai oleh kas partai bahkan anggaran instansi yang dipimpinnya.
Tapi apa iya kemudian beliau jadi punya kewajiban untuk menjelaskan uang yang dipakai untuk menyewa pesawat itu dari mana?
Kalau ternyata itu dari kas partai, ya seharusnya mekanisme internal partailah yang mendeteksi. Kalau ada pengeluaran dari kas partai untuk itu dan itu dianggap menyimpang, bisa diproses internal. Kalau BPK menemukan itu dibiayai anggaran Bappenas, mekanisme formalnya sudah jelas juga. Tapi tanpa ada indikasi, dari mana mulainya pengeluaran untuk kebutuhan pribadi koq harus dijelaskan.
Kalau Pak Suharso beli mobil baru atau mendirikan perusahaan baru misalnya, apa juga harus dijelaskan dari mana duitnya?
Lebih lanjut dalam berita itu disebut kalau Pak Nizar juga menyatakan kalau penggunaan pesawat pribadi itu tidak patut, apalagi dalam kondisi krisis Covid-19.
Saya kira pernyataan itu juga tendensius karena tidak bisa serta-merta relevan dengan kondisi Pak Suharso. Sebagai pengusaha sekaligus petinggi partai dan pejabat negara, pastinya beliau sangat sibuk. Bagi kesibukan beliau, waktu yang terbuang kalau menggunakan pesawat komersial mungkin malah lebih berharga dari biaya sewa pesawat. Tidak semata-mata soal kenyamanan, juga soal efisiensi.
Kalau mau dihubungkan dengan kondisi krisis akibat Covid-19, lebih tendensius lagi. Saya faham Pak Nizar ingin menggambarkan kalau penggunaan pesawat pribadi oleh Pak Suharso sebagai cerminan perilaku hedonis yang tidak pantas dilakukan dalam kondisi mayoritas masyarakat sedang terpuruk akibat krisis. Tapi kalau bicara efisiensi, justru lebih relevan lagi. Akibat Covid-19, frekuensi penerbangan berkurang drastis. Mengikat diri dengan jadwal penerbangan komersial tentu akan membuang waktu lebih banyak lagi. Sementara sebagai pejabat negara, tentu beliau juga harus meminimalkan waktu yang terbuang dalam perjalanan untuk mengurus kepentingan dalam jabatannya di partai politik.
Saya justru melihat kalau pilihan Pak Suharso menggunakan pesawat pribadi adalah pilihan tepat. Kalau itu dibiayai dari dompetnya sendiri, bukan hanya menilai tepat, saya justru sangat menghargai.
Jelas bahwa Pak Nizar ini sebetulnya “orang dalam” partai yang saat ini dipimpin Pak Suharso. Dari lanjutan beritanya, sangat mudah disimpulkan kalau Pak Nizar ini berseberangan dengan Pak Suharso dalan hal kontestasi menuju kursi Ketum PPP definitif. Tentunya sebagai kader PPP, sah-sah saja kalau Pak Nizar menginginkan tokoh lain untuk menjadi Ketum PPP terpilih dalam muktamar yang akan datang.
Tetapi secara subyektif melontarkan kritik yang secara implisit menempelkan stigma negatif pada karakter pribadi salah satu bakal calon di ruang publik bagi saya lebih terdengar sebagai upaya pembunuhan karakter yang jelas-jelas tidak etis.