Tempat kos masa kini sungguh jauh berbeda dengan tempat kos jaman saya kuliah dulu. Kalau dulu tempat kos identik dengan keprihatinan anak rantau lengkap dengan segala atributnya, sekarang banyak tempat kos menawarkan kemewahan sekelas hotel yang berpotensi mendistorsi pasar.
Saya sangat fasih dengan kondisi tempat-tempat kos yang berjejer di sepanjang gang-gang sempit di sisi barat Jalan Tamansari, Bandung, dimana para mahasiswa perantauan menimba ilmu di sejumlah perguruan tinggi terkemuka kota kembang yang berjejer di sepanjang sisi jalan raya.
Rata-rata tempat kos bentuknya seragam, jejeran kamar di depan, jejeran kamar mandi di belakang. Tempat kos yang punya kamar mandi pribadi di dalam rasa-rasanya kebayangpun nggak.
Kontras sekali dengan tempat-tempat kos masa kini yang jauh lebih nyaman. Kamar mandi di dalam seolah sudah menjadi keharusan.
Masuk tinggal bawa koper saja. Nggak ada cerita harus pusing membeli tetek bengek dari kasur sampe gayung mandi. Kasur springbed lengkap dengan bantal empuk, sprei bersih, bahkan bedcover sudah tersedia. Ada juga lemari, AC, bahkan TV.
Jangan membayangkan kamar mandi jadul dengan gayung dan bak mandi. Shower, closet duduk, bahkan air panas lengkap tersedia.
Kos2an Jadi Hotel
Di Bali yang merupakan pusat pariwisata terbesar tanah air, tempat-tempat kos seperti ini bukan hanya melayani para karyawan perantau yang kebanyakan datang untuk turut mengais rejeki dari gemerlapnya industri pariwisata. Karyawan hotel dan sejenisnya.
Layaknya hotel, mereka juga melayani wisatawan. Caranya nggak susah-susah amat, tinggal siapkan saja harga untuk sewa harian, selain harga bulanan ala kos2an.
Jadilah kemudian bertaburan tempat-tempat kos yang bukan bersaing antar tempat kos memperebutkan penyewa menjadi pesaing hotel dalam berebut irisan kue dari pasar akomodasi wisata.
Saat mulai rame branding-brandingan hotel menengah bawah dengan aneka gaya dan warna sepeti Oyo dan Airy misalnya, mereka seolah bermain di dua kaki, antara hotel melati dan kostel, kos2an bergaya hotel.
Tapi sebelum pandemi, saat industri pariwisata dunia, Indonesia, apalagi Bali sedang moncer-moncernya, persaingan itu tidak terlalu terasa. Kuenya cukup besar untuk membuat semua pemain kenyang. Nggak harus bersaing apalagi berebut.
Semua kebagian, banyak.
Hotel Jadi Kos2an
Kini saat pandemi merebak, situasi jadi berbali 180 derajat. Kos2an kehilangan banyak penghuni. Baik karyawan yang kos bulan-bulanan maupun wisatawan yang menyewa harian sama-sama menghilang.
Tapi tempat-tempat kos ini konsisten dengan bisnisnya. Tetap menawarkan layanan yang sama, kos bulanan, kostel harian, cuma penghuninya sedikit.
Untuk menjaga penghuni nggak pindah, banyak yang menawarkan diskon. Untuk menambah penghuni, banyak yang banting harga. Tapi nggak semua. Ada juga yang realistis berargumen “Memang orangnya pada nggak ada, mau semurah apa dikasih juga tetep nggak ada”, kira-kira begitulah.
Sekarang giliran hotel yang “turun kelas” ikut bermain di pasar kos2an dengan menawarkan harga bulanan. Coba saja masuk ke gang-gang kecil di sekitar Jl. Raya Legian dan Jl. Kartika Plaza di Kuta, kawasan yang dulu menjadi ibu kota pariwisata Bali. Primadonanya primadona yang kini sepi bak kota mati.
Banyak hotel melati bahkan yang menyandang bintang menawarkan harga bulanan.
Kenapa nggak tetap di jalur hotel saja? Melayani wisatawan, mungkin dengan memberikan diskon atau insentif lainnya misalnya. “Wisatawannya nggak ada Bos, mau didiskon berapa juga tetep aja gak ada yang dateng”, kira-kira begitu rata-rata argumen mereka.
Hotel-hotel ini memang punya potensi besar memenangkan persaingan melawan kostel. Bicara fasilitas mungkin bisa saja seimbang. Tapi jumlah kamar hotel rata-rata lebih banyak daripada kos2an, alhasil efisiensi operasional membuat mereka lebih mampu menekan harga.
Lokasi strategis menjadi daya tarik lainnya. Kalau soal kemana-mana dekat mungkin saat ini tidak terlalu berpengaruh karena kebanyakan toko, restoran, cafe, dan sejenisnya sekarang lebih banyak yang tutup. Tapi untuk tingkat yang lebih rendah, minimarket untuk kebutuhan sehari-hari atau tempat makan sederhana sekelas warung tenda, masih banyak yang buka.
Tapi yang paling penting dari aspek lokasi ini adalah dekat pantai. Susah lho nyari kos-kosan yang deket banget sehingga cuma perlu beberapa menit jalan kaki ke pantai.
Dan yang terakhir tapi nggak kalah penting, last but not least, soal gengsi. Bagaimanapun kalau kita bilang tinggal di hotel kan lebih berkelas lah daripada bilang ngekos. Meskipun harganya mungkin sama bahkan lebih murah.
Bagaimana Pemerintah
Bagaimanapun dalam kondisi pasar yang terkontraksi sangat dalam, supply sangat jauh di bawah demand, ini jelas persaingan yang tidak sehat, dan kalau dibiarkan bisa saja menimbulkan potensi konflik.
Entah bagaimana pemerintah akan bersikap, karena saya fikir meskipun sama-sama menawarkan kasur untuk tidur, mereka ini sebetulnya barang yang benar-benar berbeda.
Misalnya, apakah kos2an membayar pajak hotel dan restoran?