Bertolak belakang dengan pertumbuhannya, mata uang kripto juga banyak batu sandungannya. Di banyak negara, tidak hanya lembaga-lembaga negara memiliki kewenangan yang relevan saja, tapi bahkan ada pemimpin pemerintahan yang secara eksplisit mengambil posisi berseberangan. Misalnya Presiden China

Di Indonesia sepertinya pemerintah cenderung lebih akomodatif.

Meskipun belum ada tanda-tanda pemerintah akan secara resmi mengadopsi mata uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah, sejumlah broker kripto beroperasi secara resmi di tanah air. Artinya perdagangan mata uang kripto bukan sesuatu yang terlarang.

Kalau pemerintah keliatan cenderung akomodatif, lembaga-lembaga keagamaan semakin menunjukkan resistensi.

Setelah beberapa waktu lalu Pengurus Wilaya Nahdatul Ulama Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram untuk mata uang kripto, baru-baru ini lembaga keagamaan Islam dengan tingkat otoritas lebih tinggi mengambil langkah yang sama.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengharamkan mata uang kripto.

“Penggunaan cryprocurrency sebagai mata uang hukumnya haram”, ucap Ketua Fatwa MUI, Asrorum Niam Saleh, seperti dikutip media detik.com pada tanggal 11 November 2021 lalu.

Apakah karena disebut haram sebagai mata uang kemudian artinya aktivitas perdagangan mata uang kripto seperti yang marak dilakukan akhir-akhir ini tidak termasuk sesuatu yang diharamkan?

Ternyata tidak juga.

Pernyataan MUI tidak berhenti pada satu kalimat di atas.

Cryptocurrency sebagai komoditas atau aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar, dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i”, lanjut pernyataan itu.

Dalam bagian lain pernyataannya MUI juga tidak hanya menggunakan dasar agama sebagai landasan pernyataanya tetapi juga regulasi pemerintah. Disebutkan bahwa selain gharar, dharar, dan qimar, dalam Forum Ijtima Ulama yang digelarnya MUI juga berpendapat bahwa cryptocurrency bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia No. 17 Tahun 2015.

Bagaimana Sikap Pemerintah?

Entah karena pernyataan MUI ini juga masih sangat baru atau pemerintah memang memiliki sikap yang berbeda, sejauh ini belim ada pemberitaan mengenai sikap pemerintah atas pernyataan MUI itu.

Hanya saja dari kalangan para wakil rakyat di Senayan, di hari yang sama, Ketua Komisi VIII yang berasal dari PAN, Yandri Susanto menyatakan mendukung sikap MUI tersebut.

“Kalau MUI kan sudah mengkaji dari berbagai aspek, sudah melakukan kajian hukum, baik hukum negara maupun hukum Islam jadi kalau MUI sudah berkesimpulan begitu ya kita dukung sebagai lembaga yang kita anggap kredibel di Indonesia, sebagai perkumpulan ulama ya kita apresiasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak jadi kita dukung,” ungkap Yandri seperti dikutip detik.com

Apa Itu Ggarar, Dharar, dan Qimar?

Dikutip dari Wikipedia, gharar adalah “adalah istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Gharar dapat berupa suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, mahupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad tersebut” sehingga dinyatakan terlarang dalam agama Islam.

Sementara itu dharar didefinisikan sebagai “transaksi yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, ataupun ada unsur penganiayaan, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya pemindahan hak kepemilikan secara batil” sehingga juga dilarang dalam Agama Islam.

Terakhir qimar adalah “perjanjian antara pemain yang didasarkan pada bujukan berbuat kejahatan yang diada-adakan oleh harapan yang sepenuhnya angan-angan dalam pikiran para pemain bahwa mereka akan mendapatkan keberuntungan hanya dengan bertaruh nasib belaka, tanpa pertimbangan untuk kemungkinan kerugian” yang juga dilarang dalam Agama Islam.

Trading Kripto Jalan Terus?

Kalau saya menggaris bawahi dari masing- masing unsuk itu seperti ini:

  • Gharar: … tindakan yang bertujuan merugikan orang lain …
  • Dharar: … memindahkan kepemilikan secara batil.
  • Qimar: … harapan akan mendapat keberuntungan hanya dengan bertaruh nasib belaka.

Kalau saya pribadi memang tidak melihat adanya unsur-unsur itu. Misalnya kita lihat gharar. Apakah mereka yang memperdagangkan mata uabg kripto itu punya tujuan untuk merugikan orang lain? Nyatanya seperti berdagang pada umumnya, ada yang untung ada yang rugi. Dari sisi perdagangannya, apa bedanya dengan perdagangan Forex?

Forex ada underlying assernya sementara kripto nggak ada. Ok. Tapi apakah dengan begitu jadi serta merta bisa disimpulkan kalau bertujuan merugikan orang lain?

Sekarang kita lihat dharar. Memindahkan kepemilikan secara batil. Memindahkan kepemilikan secara batil itu definisinya apa? Atau contoh kasusnya apa? Mencuri? Menipu? Merampok? Korupsi? Ada unsur-unsut itu dalam.cryptocurrency?

Kita menyetor rupiah ditukar menjadi USDT. Dari USDT kita tukar jadi koin, katakanlah SHIB yang beken misalnya. Dipegang beberapa hari, harga SHIB naik. Lalu kita tukar balik jadi USDT. Untung. Untungnya kita tukar dari USDT balik ke rupiah, kita tarik ke rekening kita. Kita pakai buat beli bensin.

Batilnya dimana?

Lalu yang terakhir qimar. Harapan mendapat keberuntungan hanya dengan bertaruh nasib belaka.

Buat saya sih ini tergantung orangnya. Ada yang serius menggunakan analisa teknikal untuk mengambil keputusan. Ada juga yang memang merem berharap keberuntungan doang. Yang pertama apa bisa dibilang qimar? Itu ilmiah lho. Dasarnya statistik. Yang kedua ini mungkin bisa masuk kategori qimar.

Nah kalo udah begini ya tergantung orangnya dong. Dia yang memilih mau qimar atau nggak. Jadinya kan seperti orang pinjem uang ke bank. Kalo pilih bank syariah aman. Kalau pilih bank konvensional riba. Lalu apa mau digeneralisir jadi semua pinjaman bank itu haram?

Tapi kalo sudah urusan agama, itu kan soal keyakinan. Kalo yakin salah, atau kalo tidak yakin benar, ya memang sebaiknya dihindari.

Tapi kalau memang yakin tidak perlu dihindari, selama tidak dilarang pemerintah ya boleh-boleh saja lanjut dong. Toh yang secara agama jelas-jelas dosapun selama tidak melanggar hukum negara kan nggak ada yang ribut.

Mereka yang wajib puasa ternyata makan saat puasa apa diciduk polisi? Kan nggak.

Artinya kan puasa nggak puasa itu semau-maunya kita sesuai dengan keyakinan kita sendiri atas apa yang diatur oleh agama yang kita anut. Selama tidak melanggar hukum, pahala dan dosa itu urusan langsung antara kita dengan Yang Di Atas.

Persoalannya adalah apakah pemerintah kemudian akan “mengikuti” rambu yang ditetapkan MUI itu.