Beberapa bulan terakhir ini, every now and then, muncul pemberitaan mengenai nyawa yang melayang akibat kekerasan yang dilakukan kelompok yang oleh pemerintah ditempeli label Kelompok Kriminal Bersenjata alias KKB. Tidak hanya aparat keamanan yang jadi sasaran tapi juga rakyat biasa, karyawan perusahaan tambang, pekerja proyek pembangunan infrastruktur, petani, tukang ojek, sampai pemuka agama.

Meskipun sudah beberapa tahun berlalu, pastinya masih lekat dalam ingatan kita peristiwa berdarah yang merenggut nyawa 31 orang pekerja proyek pembangunan jalan Trans Papua. Diberitakan bahwa para pelaku yang merupakan salah satu kelompok berlabel KKB sempat menyatakan kalau yang mereka inginkan bukan pembangunan tapi kemerdekaan.

Sejak itu nyawa demi nyawa melayang di tangan KKB dalam sejumlah insiden seolah sudah menjadi berita biasa. Jangankan rakyat biasa yang tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mempertahankan diri, terbunuhnya aparat keamanan yang dilengkapi senjata api pun biasa terdengar. Saking seringnya bahkan ungkapan “biasa terdengar” itu jadi terbalik, jadi “terdengar biasa”.

Yang membuat peristiwa beberapa hari lalu terasa menyentak adalah korbannya yang seorang perwira tinggi TNI berpangkat Birgadir Jendral yang memegang jabatan strategis, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk Wilayah Papua. Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha gugur dalam sebuah kontak senjata melawan KKB di kawasan pegunungan Papua.

Semoga Bukan Lip Service Belaka

Rupanya bukan hanya kita anggota masyarakat biasa yang merasa miris dengan keganasan KKB ini. Presiden Jokowi.dalam pernyataan di depan awak media selain mengungkapkan keprihatinan juga memerintahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengejar dan menangkap gerombolan KKB Papua.

Sayangnya di telinga saya pernyataan keras Presiden Jokowi itu tidak lebih dari sekedar basa basi yang basi. Demikian sering kita mendengar berita mengenai ulah KKB menebar kekerasan yang menelan korban jiwa dan reaksi pemerintah selalu sama. Jatuh korban, menyatakan prihatin, memerintahkan penangkapan, dan alih-alih berita penangkapan yang kita dengar berikutnya justru berulangnya peristiwa yang sama.

Jatuh korban, pernyataan keprihatinan, perintah penangkapan, REPEAT.

Seriuskah Negara Menumpas KKB?

Lalu mana berita pengejarannya? Berita penangkapannya? Berita penumpasannya? Yang ada malah berita KKB menembaki pasukan yang sedang berpatroli bahkan menyeerbu pos aparat keamanan. Kalau pasukan bersenjata saja berani mereka serang, bagaimana nasib rakyat biasa?

Kita juga lama-lama terbiasa dengan argumen pemerintah dan pejabat-pejabat terkait yang mereka kemukakan terkait dengan minimnya keberhasilan usaha menumpas KKB yang saking minimnya saya justru bertanya-tanya dalam hati “Benernya seriusan ada usaha nggak sih?” Apa lagi argumennya kalau bukan medan di Papua yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari pegunungan yang masih diselimuti hutan belantara?

Buat saya argumen seperti itu justru terasa melecehkan kemampuan aparat keamanan negeri ini. Apa iya TNI yang merupakan salah satu pasukan militer terkuat dunia itu bisa terus-terusan diasapi KKB yang hanya mengandalkan beberapa pucuk senjata rampasan dan selundupan selain kemampuannya menyelinap bersembunyi di hutan.

Bukankah kemampuan bertempur dan bertahan hidup di alam liar merupakan salah satu bagian dari kerasnya latihan pasukan-pasukan elite TNI yang dikagumi pasukan dari negara-negara lain, bahkan yang memiliki kekuatan militer lebih dari kita?

Wajar dong kalau saya mempertanyakan keseriusan aparat keamanan kita menumpas KKB?

Labelnya Saja Sudah Meragukan

Buat saya, dari label yang ditempelkan pemerintah kepada mereka saja sudah menujukkan lemahnya komitmen untuk menumpas habis kekuatan mereka.

Coba resapi pilihan kata-kata yang digunakan. Kelompok Kriminal Bersenjata. Kita bisa obrak abrik banyak referensi dan hasilnya akan sama, kriminal itu merujuk pada kejahatan “biasa”. Sementara meskipun mereka sering merampok rakyat untuk sekedar mengisi perut, tujuan dari kejahatan yang mereka lakukan adalah ingin merdeka, ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan label “kriminal”, pendekatan penyelesaiannya dengan model keamanan, oleh polisi. Sama dengan maling, rampok, pembunuhan, pemerkosaan, tabrak lari, dan sejenisnya. Kalaupun TNI dilibatkan posisinya hanya sekedar membantu.

Padahal kalau tujuannya ingin merdeka, melepaskan diri dari NKRI, itu sudah jelas namanya separatisme. Artinya mereka itu gerombolan separatis. Kalau mereka mencuri, merampok, merampas, ya memang itu termasuk tindakan kriminal. Tapi itu kan “side product”. Karena dalam gerakan gerilyanya mereka perlu makan.

Kalau mereka membunuh, membunuh aparat, membunuh rakyat, membunuh pendeta, membunuh pekerja proyek, itu bukan kriminal seperti orang membunuh pacar yang nuntut dinikahi karena hamil duluan. Pembunuhan itu mereka lakukan untuk menakut-nakuti. Menunjukkan eksistensi. Menekan pemerintah yang sah. Itu namanya teror. Pelakunya disebut teroris.

Mereka juga menyerang aparat keamanan. Menyerbu pos keamanan, mencegat patroli, dan sebagainya. Itu sudah bukan kriminal lagi, itu namanya perang melawan negara.

Lha koq pemerintah masih tetap saja “ngotot” menggunakan istilah kriminal maksudnya apa?

Lempar-Lemparan Bola Panas

Yang lucu, setelah seorang jenderal terbunuh dalam sebuah insiden penyerangan, mereka yang menyerang aparat keamanan lho ya, bukan sebaliknya, lalu seperti sudah menjadi SOP, Presiden Jokowi berpidato dengan raut sedih, mengungkapkan dukacita sembari memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengejar KKB.

Sejurus kemudian seorang pejabat TNI menyatakan mereka sanggup menghabisi KKB, tapi menunggu perintah Presiden.

Speechless sumpah!

Tumpas KKB Papua!

Bagaimanapun saya setuju dengan BIN yang sekarang menempeli KKB dengan label teroris. Meskipun Komnas HAM justru bereaksi seolah-olah membela KKB dengan mengingatkan BIN untuk “berhati-hati”. Apapun makna yang disiratkan peringatkan Komnas HAM, buat saya sih hanya sekali lagi mempertontonkan watak aslinya yang sibuk membela HAM para pelaku tindak kekerasan seolah-olah di mata Komnas HAM ini para korban tidak punya hak asasi manusia.

Saya juga mendukung pernyataan Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo, yang menyerukan agar pemerintah dan aparat keamanan menumpas KKB Papua. Saya suka pilihan diksinya Pak BamSoet, TUMPAS! Pernyataan Ketua MPR ini juga langsung menuai reaksi negatif.

Kelompok yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua yang entah muncul dari mana mendesak Ketua MPR untuk menarik pernyataanya bahkan meminta beliau untuk meminta maaf secara terbuka kepada publik. Untungnya Pak BamSoet bukan sosok bermental tempe yang mudah diintimidasi. Dengan tegas beliau menolak untuk mencabut pernyataannya apalagi meminta maaf.

“Saya tidak akan mencabut pernyataan saya”, tegas Pak Bamsoet di depan awak media hari inin 29April 2021. ‘Tugas saya memberi semangat. Bukan menjadi pengkhianat. Negara tidak boleh tunduk”, lanjutnya.

Luar biasa Pak BamSoet! Semoga semangat patriotisme yang Bapak tunjukkan bisa menular pada para pejabat yang bermwenang membuat keputusan maupub seluruh Bangsa Indonesia.