Kita abaikan aspek-aspek lain, kita bicara ekonomi saja. Perekonomian seluruh dunia terpukul akibat dampak buruk pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak akhir 2019 itu. Tidak ada pengecualian, artinya Indonesia juga mengalami dampak ekonomi yang sangat parah akibat pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia.
Negara mana yang mendapatkan dampak lebih buruk dari yang lain mungkin agak susah dianalisa. Pada akhirnya tergantung dari banyak sekali faktor, dan faktor yang paling dominan tentu kemampuan negara itu untuk menyelamatkan jiwa rakyatnya sembari menahan tekanan ekonomi supaya dampaknya meskipun buruk tapi nggak buruk-buruk amat.
Tapi kalau kita mempertajam pandangan pada kondisi dalam negeri, dibandingkan dengan semua propinsi lain di Indonesia, Bali merupakan propinsi yang mengalami dampak ekonomi paling parah.
Sepanjang tahun 2020 dimana setahun penuh kita berada dalam situasi pandemi, perekonomian hampir semua propinsi mengalami kontraksi. Tercatat hanya 3 propinsi yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua. Propisi lain semua negatif.
Sumber data untuk Laju Pertumbuhan Ekonomi ini sangat valid, langsung dari Bappenas. Bisa lihat sendiri disini.
Perekonomian Bali Berdarah-Darah
Tapi perlu dicatat bahwa diantara semua propinsi yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif sepanjang tahun 2020, Bali tampil sebagai juara. Jika propinsi-propinsi lain kebanyakan mencatatkan kontraksi antara nol koma sampai dua koma, perekonomian Bali terkoreksi sebesar -9,31%. Jauh lebih tinggi dari Banten yang dengan catatan kontraksi ekonomi sebesar -3,38% menduduki “posisi runner-up”.
Kecenderungan yang sama juga terjadi pada tahun 2021 yang merupakan tahun kedua pandemi. Keberhasilan pemerintah menekan laju pandemi membuat sejumlah pembatasan dapat dilonggarkan dan roda perekonomian mulai bergerak kembali. Data sampai triwulan ke-3 tahun 2021 menunjukkan bahwa hampir semua propinsi di Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Hanya dua propinsi saja yang masih negatif.
Dan diantara dua propinsi di Indonesia yang masih mencatatkan kontraksi ekonomi pada tahin 2021 itu, boleh ditebak siapa juaranya, Bali lagi.
Angkanya memang menunjukkan perbaikan yang signifikan. Jika pada tahun 2020 Bali mencatatkan kontraksi ekonomi sebesar -9,31%, pada triwulan ke-2 tahun 2021 kontraksi ekonomi Bali menurun menjadi -2,91% saja. Tapi jangan seneng dulu ya. Kalau dijumlahkan kita bisa dengan mudah melihat bahwa selama masa pandemi ini perekonomian Bali menyusut lebih dari 12 persen.
Kalaupun angka kontraksinya turun, kita juga tidak bisa serta-merta menyimpulkan kalau kondisi perekonomian Bali sudah membaik. Mungkin karena bensinya sudah habis. Tidak bisa terkontraksi lebih tinggi lagi.
Ketergantungan Terhadap Pariwisata
Tidak perlu kepakaran di bidang ekonomi untuk bisa memahami mengapa perekonomian Bali demikian parah terdampak pandemi.
Perekonomian Bali sangat tergantung dengan sektor pariwisata.
Dikutip dari salah satu media lokal Bali Post, seorang pengamat menyebut bahwa 70% perekonomian Bali berganting pada sektor pariwisata. Kita memang tidak hanya berbicara mengenai usaha-usaha yang secara langsung bergerak pada industri pariwisata saja. Usaha-usaha lain di luar sektor itupun sebagian besar volume usahanya datang dari mereka yang bergerak di sektor pariwisata.
Contoh kecil saja, para petani sayur di kawasan pegunungan Bedugul turut terpukul meskipun mereka tidak secara langsung bergerak di sektor pariwisata. Kenapa? Karena mayoritas produknya disalurkan untuk memasok hotel dan restoran. Saat kebanyakan hotel dan restoran tutup, yang berusaha tetap bertahan volume usahanya mendekati nol, kemana mereka mau menjual hasil panennya?
Sementara disisi lain salah satu langkah global pengendalian pandemi adalah menghentikan pergerakan manusia. Perjalanan untuk kepentingan apapun dilarang, apalagi untuk alasan wisata yang jelas dianggap tidak esensial. Foto-foto jejeran pesawat terparkir nganggur di sejumlah Bandara sempat ramai di jagat maya. Demikian juga kisah-kisah para kru pesawat yang terpaksa banting setir kepada pekerjaan-pekerjaan lain hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Konsekuensinya usaha apapun yang terkait dengan sektor perjalanan dan pariwisata turut terdampak. Mayoritas hotel tutup, dengan konsekuensi turunan jutaan orang yang mengandalkan hidup dengan berkarir di industri itu kehilangan pekerjaan. Demikian juga restoran, cafe, dan tempat-tempat hiburan terutama yang berada di pusat-pusat pariwisata.
Pariwisata Dunia Memang Ambruk
Sebetulnya ini bukan hanya persoalan Bali saja, tetapi persoalan global secara sektoral. Data yang dilansir salah satu lembaga internasional di bawah naungan PBB, ILO, menyebutkan bahwa kontraksi di sektor pariwisata berada di kisaran antara 45% sampai 70%. Industri perjalanan dan pariwisata di seluruh dunia merupakan sektor yang menderita dampak paling buruk dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Datanya bisa dilihat disini.
Salah satu industri yang sangat terkait dengan pariwisata adalah industri penerbangan. Di Indonesia kita melihat bagaimana maskapai “flag carrier” kebanggaan Indonesia sedang berada diujung tanduk karena tidak mampu membayar hutangnya yang segunung. Jumlah utangnya jauh lebih besar dari aset yang dimilikinya sehingga bahkan kalaupun dipailitkan dan asetnya dilelang, hanya sepersekian saja uang yang bisa dikembalikan kepada para krediturnya. Itupun kalau ada. Setelah dipotong ini itu.
Okelah konon kondisi Garuda juga dipengaruhi oleh persoalan keuangan yang berbau korupsi.
Tapi Garuda tidak nyungsep sendirian. Analis penerbangan dan perjalanan, Curium, menyebut bahwa di tahun 2020 saja ada 43 maskapai penerbangan bangkrut.
Tidak hanya yang kecil-kecil. Sejumlah maskapai raksasa bersatus flag carrier lain juga mengap-mengap bahhan sudah lebih dahulu game over. Sudah sejak Februari 2021 lalu, flag carrier negeri gajah putih Thai Airways dinyatakan bangkrut. Sementara di belahan dunia lain, flag carrier Italia, Alitalia, dinyatakan bangkrut pada bulan Oktober lalu setelah 74 tahun beroperasi.
Masalah utamanya semua sama. Tidak ada penumpang karena orang dilarang bepergian. Wisata menjadi alasan bepergian paling tidak penting sehingga semakin banyak proporsi wisatawan dalam pasar sebuah maskapai, semakin berat dia terpukul.
Jadi tidak heran kalau Thai Airways rontok duluan.
Bali Banyak Saingan
Persaingan antar destinasi wisata kian panas. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki karakter hampir sama, alam indah bersuasana tropis dan warisan budaya yang luar biasa, sama-sama berlomba-lomba menggaet wisatawan dengan berbagai cara. Kalau dulu persaingan ketat hanya terjadi antara Indonesia dan Thailand, antara Bali dan Phuket, antara Pattaya dan Kuta, antara Bangkok dan Ubud, kini negara-negara lain turut meramaikan. Sebut saja Cambodia, Vietnam, dan Philippines misalnya.
Di dalam negeri sendiri Bali yang selama ini menjadi primadona pariwisata Indonesia mulai mendapatkan banyak saingan.
Saingan-saingan baru ini sengaja diciptakan oleh pemerintah pusat dalam berbagai program. Sebut saja program “Destinasi Wisata Super Prioritas” misalnya. Atau “10 New Bali” yang bahkan dari namanya saja sudah jelas-jelas diplot untuk menjadi pesaing Bali.
Mungkin memang niatan awal pemerintah tidak begitu. Mungkin maunya kalau dulu Bali mendapat kunjungan wisatawan 1.000.000 per tahun, dengan ada 10 new Bali maka Indonesia akan mendapat 11.000.000 kunjungan wisaawan per tahun.
Tapi saya kira matematikanya tidak sesederhana itu. Jumlah wisatawan itu juga bukan sesuatu yang tidak terbatas. Mungkin dari tahun-ke-tahun orang yang berwisata bertambah. Tapi pertambahannya tidak akan sesignifikan itu dan itu diperebutkan banyak negara. Saya justru khawatir ujung-ujungnya bukan Indonesia yang mendapat 11.000.000 kunjungan wisatawan setelah program 10 New Bali sukses, malah dapetnya tetep 1.000.000 dibagi 11 destinasi.
Nah lho!
Mungkin Bali sudah over-capacity. Daya dukung Bali baik dari sisi lingkungan maupun ekses sosial budaya sudah maksimal. Wajar kalau Bali kemudian diarahkan untuk tidak lagi menggenjot kualitas tapi kuantitas. Kita tidak lagi bicara kenaikan jumlah wisatawan tapi kenaikan jumlah uang yang mereka belanjakan disini.
Tapi sekarang setelah dihajar pandemi situasi berbeda. Bali tidak lagi over-capacity. Bali kosong melompong. Kalau ibarat pesawat, jumlah kursi 180 penumpang yang naik baru 5.
Tapi persaingan sudah terlanjur ada.
Kalau dulu mungkin skenarionya karena Bali over-capacity maka luberannya bisa “dikirim” ke destinasi-destinasi lain, sekarang Bali sendiri boro-boro ada luberan, kosong melompong.
Tapi destinasi-destinasi lain juga sudah terlanjur dipersiapkan. Lihat bagaimana masifnya pembangunan infrastruktur pariwisata di Labuan Bajo. Di kawasan sekitar Danau Toba. Likupang yang sekarang aksesnya akan semakin mudah karena jalan tol sedang dibangun. Dan tentu yang terdekat, Mandalika, berapa saja hotel papan atas yang hampir selesai dan mau tidak mau akan masuk pasar.
Tidak mugkin pemerintah pusat setidaknya untuk sementara waktu menyetop dukungannya kesana hanya agar Bali kembali mendekati kapasitas maksimalnya kan?
Bali Harus Bangkit Sendiri
Jadi tidak ada pilihan lain bagi Bali selain harus bangkit dengan kekuatannya sendiri. Bangkit untuk bersaing dengan destinasi-destinasi populer di negara-negara lain. Bangkit untuk bersaing dengan destinasi-destinasi lain di tanah air.
Meskipun sisa-sisa kekuatan itu mungkin hanya tinggal beberapa persen saja setelah dua tahun didera pandemi.
Idealnya tentu kebangkitan Bali ini dimotori Pemda. Baik Pemda tingkat propinsi maupun Pemda-Pemda di tingkat kabupaten dan kota. Sayangnya sejauh ini saya koq tidak melihat adanya gerakan ke arah sana. Sepertinya kita semua hanya menyabarkan diri dalam penantian, menunggu.
Menunggu sebaran Covid-19 menurun. Menunggu pintu pariwisata dibuka kembali. Menunggu wisatawan diijinkan untuk melakukan perjalanan wisata keluar dari negaranya lagi.
Menunggu … entah sampai kapan.
Sementara perut sudah lama kosong.
Sementara dompet sudah lama melompoong.
Masihkah kita akan tetap diajak untuk hanya menunggu? Menuggu dengan dompet berisi 2 sertifikat vaksin. Menunggu dengan mulut dan hidung ditutup masker. Menuggu dengan perut berisik karena isinya lebih banyak angin daripada makanan.
Tapi tidak berbuat apa-apa selain menunggu dalam diam.