Orang-orang yang kenal dekat saya rata-rata hafal kalau saya nggak makan daging. Semua hewan berkategori ternak yang biasa dimakan, apalagi yang bukan. Sapi, kambing, ayam, bebek, dan teman-teman sejenis mereka. Jadi sering kali kalau ada yang mengajak makan, sering kali mereka kemudian pusing memilih mau makan dimana. Mereka berusaha mencari tempat yang menyediakan menu yang bisa saya makan. Kadang saya juga denger bisik-bisik, atau obrolan di belakang yang ujung-ujungnya muter ke kuping saya. Yang beraahabat misalnya “Ya kita gak bisa makan di A, B, C kalo sama dia, tempat yang lain aja”. Tapi ada juga yang seperti “Mendingan jangan ajak dia deh dari pada ribet”. Ada juga yang ngajak kalo mau makan di tempat aman, tapi kalo mau ‘nglathak’ ya nggak.

Tapi lingkungan kecil yang lebih dekat sebetulnya tahu kalo saya juga pantang mengganggu. Saya selalu bisa menemukan menu yang bisa saya makan hampir dimanapun. Di tukang bebek goreng, tukang sate sekalipun saya bisa menemukan sesuatu untuk saya nikmati. Kadang sepertinya orang justru jadi agak canggung, bahkan bilang kasian. Tapi sebetulnya saya sama sekali tidak merasa menderita apalagi tersiksa. Saya menikmati makanan saya. Bahkan jauh di dalam hati kecil saya justru kasian sama mereka, dengan alasan yang saya simpan sendiri.

Malam ini saja barusan saya makan berdua istri di Gourmet Sate House di bilangan Kuta, sepelemparan batu dari rumah. Tiba-tiba dia pengen sate ayam. Saya ya nemu aja tuh makanan yang bisa saya makan. Kenyang dan enak juga.

Dalam situasi seperti ini, biasanya buat saya sih kebersamaannya itu lebih esensial dari makanannya. Jadi kalau saya diajak makan di tempat dimana menu utamanya tidak bisa saya makan lalu saya nggak mau, percayalah itu bukan soal makanannya. Hehehe.

Sebetulnya bukan hanya soal makan sih. Dalam hal apapun, saya memang cenderung konsisten dengan pilihan saya. Tapi saya juga punya komitmen pribadi untuk memastikan pilihan saya nggak mengganggu orang lain.

Di sisi lain saya juga nggak suka pilihan saya direcokin. Berusaha mengemukakan argumen yang menunjukkan sisi negatif dari pilihan yang saya jalani paling saya tanggapi dengan cengiran, at best. Saya nggak tertarik buat nyautin juga sih. Lalu bagaimana kalau bertanya pada saya sisi positif dari pilihan yang saya ambil? Biasanya saya juga nggak tertarik menjelaskan. Untuk orang-orang yang saya anggap perlu saya hadapi dengan santun biasanya saya menjelaskan normatif-normatif saja. Jawaban mainstream yang bisa dengan mudah dicari di Google. Sementara untuk teman-teman dekat paling banter saya sautin “Kepo amat sih!” atau “Mau tau aja apa mau tau banget?” ya sejenis begitu-begitu lah.

Soal nggak makan daging, biasanya pertanyaan yang sering muncul terutama dari mereka yang baru kenal, atau setidaknya baru pertama kali makan sama-sama, itu “Oooh … kamu vegetarian ya?” Jawaban standar saya biasanya “Nggak juga sih …” Sebuah jawaban yang biasanya mengundang rentetan pertanyaan lanjutan yang makin banyak makin males saya sautin.

Mungkin mestinya saya jawab “Iya bener.” dan urusan selesai cepat. Tapi rasanya nggak bener juga sih ngasih jawaban yang saya sendiri nggak merasa itu benar. Lagian saya pernah juga sih cobain. Dan hasilnya aneka pertanyaan tentang vegetarian, dari jenis-jenis vegetarian, alasan orang menjadi vegetarian, filosofi, manfaat, aturan, dan masih banyak lagi. Saya memang tidak tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bukan hanya karena saya malesan, tapi karena saya benar-benar nggak tau jawabannya. Bisa saja saya cari tau. Nggak bakal susah-susah amat. Cuman saya sendiripun nggak tertarik untuk tau.

Ini jawaban dari hati nurani saya. Jawaban paling benar versi saya. Versi orang yang melakukan. Jadi tidak seharusnya dibantah. Salah, bener, baik, buruk, orang nggak berhak menilai. Tapi kalaupun mau menilai ya silahkan saja sih.

Saya bukan vegetarian.

Saya cuma nggak makan daging. Itu saja. Kenapa? Karena saya nggak pengen. Kalau orang menyebut mereka yang nggak makan daging itu vegetarian dan mau menempelkan label itu pada saya, terserah. Silahkan saja. Tapi jangan juga ribetin dengan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti “Koq vegetarian, nggak makan daging, tapi makan telor, bukannya nggak boleh?” Nah itu kan meneketehe. Saya nggak makan daging. Kenapa? Karena nggak pengen. Tapi koq saya makan telor. Kenapa? Ya karena saya pengen. Kalo itu melanggar aturan vegetarianisme, ya egepe, bodo amat. Aturannya aja saya nggak tau. Kenapa? Ya karena saya bukan vegetarian.

Apalagi kalo bilangnya “Lho vegetarian itu bukannya tradisi Buddha?” Yang nanya begitu jelas tahu kalau saya pemeluk Agama Islam. Kalo udah mulai mengadrun begitu biasanya saya melipir aja. Ribet nggak berguna. Emang ada orang kayak gitu? Banyak. Hitung jari mah udah lewat saya ngadepin sendiri.