Sekarang jamannya orang belanja online. Kalaupun ada produk yang kebanyakan orang lebih pede membeli secara online, biasanya mereka riset secara online terlebih dahulu, dari memahami fitur-fiturnya sampai membandingkan harga dan mencari tempat untuk membeli yang paling mudah dijangkau.
Untuk mencari produk maupun informasi seputar produk secara online, biasanya orang menggunakan mesin pencari alias search engine. Karena di hampir seluruh belahan dunia Google merupakan search engine yang paling banyak dipakai, aktivitas melakukan pencarian melalui search engine sering disebut Googling, apapun search engine yang dipakainya.
Data yang dilansir statcounter menyebut bahwa per Juli 2020, secara global Google menguasai 92,17% pangsa pasar search engine. Demikian besarnya pangsa pasar yang dikuasai Google memang membuat pemain-pemain lain terlalu kecil bahkan sekedar untuk diperhitungkan. Sebut saja misalnya Bing yang berada di tempat kedua, hanya mendapat pangsa pasar 2,78% saja. Penguasaan pasar Yahoo yang sempat berjaya pada masanya malah lebih kecil lagi, hanya 1,6%.
Untuk melakukan transaksi jual beli secara online memang sekarang ada banyak kanal yang bisa dipakai selain dengan menggunakan website sendiri, kanal sosial media seperti Facebook dan Instagram, portal marketplace seperti Tokopedia atau Shopee, bahkan aplikasi pesan seperti Whatsapp. Banyaknya fasilitas online ini memang pada akhirnya membuat banyak pelaku usaha melupakan website untuk berjualan.
Mereka yang sadar dengan pentinya menggunakan website sendiri sebagai tempat bertransaksi biasanya menggunakan kanal-kanal eksternal di atas dengan cara yang berbeda, menarik calon pembeli melalui portal-portal tersebut, lalu menggiringnya untuk bertransaksi di website sendiri. Dengan pendekatan ini kanal-kanal yang menjadi sumber aliran pengunjung ke website kita jadi beragam.
Data menunjukkan bahwa meskipun ada banyak kanal yang bisa kita pergunakan untuk mendapatkan pengunjung website, biasa disebut traffic, ternyata search engine, atau praktisnya sebut saja Google, masih merupakan sumber traffic terbesar.
Studi yang diplublikasikan melalui searchengineland.com menyebut bahwa Google mendominasi penyaluran traffic menuju website dengan prosentase yang sangat besar, 68%. Lebih lanjut studi yang sama juga menujuikkan bahwa sebagian besar traffic dari Google terjaring melalui ranking organik. Dari angka 68% tadi, 53% diantaranya adalah hasil ranking organik sementara 15% sisanya melalui ranking berbayar yang biasa disebut Pay-per-Click alias PPC. Google menamakan program PPC-nya AdWords.
Cara mendapatkan traffic website dari Google melalui ranking organik itu kita kenal sebagai Search Engine Optimization. Orang lebih sering menyebutnya dalam bentuk singkatan, yaitu SEO.
Sayangnya banyak yang meyakini kalau SEO sudah bukan lagi cara yang dapat diharapkan untuk mengalirkan traffic yang jika sebagian diantaranya bertransaksi artinya juga mendatangkan potensi penjualan. Mereka yang mempercayai hipotesa ini sering mengangkat jargon singkat “SEO is Dead”, SEO sudah mati.
Benarkah SEO is Dead?
Menyatakan SEO sudah mati hanya karena kita gagal mendapatkan hasil yang diinginkan itu sebetulnya tidak lebih dari sekedar ekspresi putus asa saja. Karena kenyataannya ada banyak praktisi yang berhasil mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit melalui SEO. Mendapatkan ranking yang tinggi untuk keyword yang relevan lalu mendapatkan traffic berkualitas tinggi yang sebagian besar diantaranya terkonversi menjadi penjualan.
Lalu mengapa ada yang sukses dengan SEO tetapi banyak juga yang gagal?
Sebetulnya sih itulah hidup. Kita bisa saja gagal meraih sesuatu padahal ada banyak orang lain yang berhasil mendapatkannya. Tetapi spesifik mengenai SEO, biasanya kegagalan mendapatkan hasil yang diinginkan disebabkan karena kegagalan kita untuk konsisten melakukan apa yang harus kita lakukan. Strategi dan teknik SEO itu sendiri bukanlah sesuatu yang terlalu sulit. Sumber-sumber untuk mempelajarinyapun banyak tersedia di jagat maya, gratis, nggak perlu bayar. Tinggal Googling saja. Melakukannya terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama sampai akhirnya hasil yang kita inginkan benar-benar terwujud, itulah yang sulit.
Praktisi Black-Hat Gagal Move-On
Black-hat merujuk pada praktek SEO yang bertentangan dengan rambu-rambu yang ditetapkan Google. Pada masanya, praktek-praktek mencurangi Google ini banyak dilakukan praktisi SEO dan ternyata meskipun rambu-rambu yang ditetapkannya dilanggar, Google anteng-anteng saja. Banyak website yang di-SEO dengan teknik-teknik black-hat sukses mendapat ranking tinggi plus semua keuntungan yang didapat dari ranking tinggi itu.
Makin maraknya praktek-praktek curang ala black-hat ini membuat Google terus mengembangkan cara untuk memberantasnya. Pada saat Google mengimplementasikan peningkatan terus-menerus dalam kemampuannya menangkal praktek-praktek black-hat, banyak website yang di-SEO dengan teknik black-hat bertumbangan. Umumnya mereka dijatuhi hukuman yang membuat website-websitenya tidak hanya turun ranking, banyak yang sama sekali disingkirkan dari SERP.
Google cenderung galak dalam menerapkan hukuman bagi pelaku aksi tipu-tipu ala black-hat SEO ini. Ada website-website yang rankingnya kembali membaik setelah jejak praktek-praktek terlarang dibersihkan dari lingkungan website. Tapi banyak juga yang meskipun sudah jungkir balik berusaha, situasi tidak membaik juga.
Ada kecenderungan mereka yang teriak-teriak ‘SEO is Dead’ adalah praktisi black-hat yang gagal keluar dari hukuman. Kalau sudah begini, sebetulnya yang benar itu bukan SEO is dead karena kenyataanya mereka sendirilah yang are dead.